Sabtu, 20 November 2010

Ipit, Sri Mulungsih, dan Otak Mubazir di Perpustakaan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Tak hanya mBah Maridjan.
Candi Borobudur ikut pula kena getahnya.
Menjadi korban amukan Gunung Merapi.

Koran-koran mewartakan upaya pembersihan lapisan abu volkanik yang menyelimuti candi megah di Magelang itu. Abu asal Merapi diketahui memiliki kandungan belerang yang bila dibiarkan akan mampu merusak batu patung dan ukiran di candi terkenal tersebut.

Dalam pemberitaaan itu disertakan pula foto patung yang masih utuh, dengan kepala berisi ukiran rambut yang khas.

Pada hari Kamis 25 Juni 1981, sosok patung semacam itu menjadi bahan obrolan mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI Angkatan 1980.

Ketika itu kami sedang melakoni karya wisata dengan menjelajahi perpustakaan-perpustakaan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.Rekreasinya, mengunjungi candi sohor tersebut.

Merujuk salah satu patung yang torsonya lengkap tetapi kepalanya sudah tidak ada di tempat, Gemuru Ritonga, teman kami, nyeletuk yang bikin kita terbahak. Mahasiswa yang suka guyon dan kami terkadang aktif mengerjakan proyek "microfiche" bersama untuk mata-mata kuliah sulit di luar mata kuliah jurusan itu :-(, tinggalnya di daerah Kayuputih, Rawamangun.

Ia bermotor Honda dengan plat merah dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN). Menunjuk kepala patung yang hilang itu Gemuru Ritonga mengatakan : "Sedang dibawa ke salon."

Canda yang terasa masih elegan.

Pasalnya, ada juga canda yang radikal saat itu. Dilakukan teman mahasiswa lain, yang juga berkuliah dengan naik motor berplat merah. Ia memperlakukan khasanah candi dengan canda yang tidak terduga-duga.

Lokasinya di stupa Kuntobimo.

Ketika merasa tangannya tidak mampu menyentuh sosok patung yang terlindung dalam stupa, ia berganti strategi. Kali ini dengan memasukkan kakinya.

Ia berhasil.

Entah cita-cita besar apa yang ingin ia raih dengan upaya nakal itu. Tetapi 29 tahun kemudian pada kartu namanya tercantum berderet gelar akademis yang menghias dan menjepit, dari depan dan dari belakang namanya.

Kalau saja saya tahu khasiat magis Kuntobimo sehebat seperti itu, saya pasti akan ikut-ikutan bergaya melakukan "tendangan kung-fu" terukur lewat lubang, guna menyentuh sosok patung yang selalu menjadi buah bibir para wisatawan itu.


Dua pasang matabola. Tanggal 27 Juni 1981 pagi, rombongan wisatawan mahasiswa itu tiba kembali di kampus Rawamangun.

Tetapi dua hari kemudian, the three musketeers yang terdiri A.C. Sungkana Hadi, Hartadi Wibowo dan saya, harus kembali melakukan "serangan oemoem" ke Yogya lagi.

Berangkatnya dari terminal bis Pulogadung, sore hari. Bahkan sempat diantar, aku tulis di buku harian sebagai dengan "hangat," oleh Arlima "Ipit" Mulyono dan Sri Mulungsih yang berulang tahun 22 November (foto, Juni 1981).

Tidak ada kencan sebelumnya ("jaman itu belum ada HP"), tiba-tiba di terminal yang sama kami kepergok dengan Bakhuri Jamaluddin.

Kami berempat ini dapat dikatakan ramai-ramai sedang pulang kampung. Rombongan yang menuju Yogya memiliki cerita pribadi dan kaitan emosional masing-masing dengan kota pelajar tersebut.

A.C. Sungkana Hadi adalah priyayi Yoja kelahiran Gunung Kidul. Berkuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Kini kepala perpustakaan Universitas Cenderawasih di Jayapura. Hartadi Wibowo yang asal Cilacap, lama berkuliah di Yogyakarta. Kini eksekutif di Bank Mandiri, Jakarta. Lebih detilnya, silakan wawancara beliau sendiri.

Saya sendiri, sejak SD klas 3 (1964), ayah saya Kastanto Hendrowiharso, bekerja di Yogya. Sampai tahun 1976. Walau keluarganya masih di Wonogiri. Saat liburan, saya selalu "pulang" ke Yogya pula. Bahkan pada tahun 1970-1972 saya bersekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta, di Jetis.

Sementara itu Bakhuri Jamaluddin juga pulang kampung. Menuju kotanya Roy Marten, di mana ada desa bernama Suruh, yang merupakan tempat kelahirannya. Salatiga.

Kami berempat meninggalkan Jakarta memiliki tujuan sama : melakukan praktek kerja perpustakaan. A.C. Sungkana Hadi dan saya di IKIP Yogyakarta (kini UNY). Hartadi Wibowo di Perpustakaan Umum Yogyakarta. Sementara Bakhuri Jamaluddin di Universtas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Mengenal pribadi. Di Perpustakaan IKIP Yogyakarta kami dapat bimbingan dari Ibu Suatminah, kepala perpustakaan. Ibu Suatminah belajar kursus ilmu perpustakaan satu angkatan dengan Ibu Soenarti Soebadio di tahun 1950-an. Pembimbing lainnya, Pak Sri Marnodi, alumnus JIP-FSUI.

Dalam berinteraksi dengan mereka, bahkan saya sempat pula nunut mobil Honda Civic-nya Bu Suatminah, ketika pulang dan diturunkan di sekitar komplek UGM di Bulaksumur. Saya tinggal di kos adik saya,Mayor Haristanto, di Babarsari.Di dekat komplek kampus UGM pula. Ia lagi libur kuliahnya di Fisipol UGM dan tempat kosnya saya pakai sebagai markas.

Ketika saling kontak via surat dengan Bakhuri, ia mengatakan jadi minder membaca nama "Mayor" itu. Bahkan ia sempat menguatirkan tas ransel militernya ketika hendak main ke Yogya. Padahal "mayor" itu bukan nama pangkat, tetapi nama paraban belaka yang terpakai sampai saat ini.

Bakhuri datang Sabtu, 11 Juli 1981. Kembali ke Salatiga, esok harinya. Saat itu saya juga menerima surat dari Arlima Mulyono, Jakarta. Kabar darinya membikin cemas. Saya tulis di buku harian : "siap-siap wae akan dimarahi bu Narti : bab Perancis."

Sekadar kilas balik : Arlima, Sri Mulungsih, Zulherman dan saya, mengikuti kuliah bahasa sumber 1 dan 2, Bahasa Perancis. Tetapi, kecuali Sri Mulungsih, ketika menjalani separo semester kedua kami bertiga berkomplot. Untuk mogok, mangkir, desersi di tengah jalan. Tanpa melapor ke Ibu Narti, sekretaris jurusan. Itulah sumber kecemasan saya gara-gara surat Ipit tadi.

Tanggal 7 Juli 1981. Saya sempat jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Di. Jl. Jenderal Sudirman. Pada tahun 1970, tempat ini adalah tempat prakteknya dokter gigi Sudomo. Di tempat ini gigi saya dicabut.

Mungkin ini "hukuman," gara-gara saya tergiur membeli undian dengan hadiah sepeda Phoenix, walau dengan tujuan agar bisa bersekolah dari Kotabaru menuju Jetis lebih menyenangkan ketimbang jalan kaki semata.

Mengejutkan, di toko buku itu saya ketemu Nusantoro. Ia saya kenal saat bersekolah di SMA St. Yosef, Solo, sebagai aktivis drama. Kami berinteraksi di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT), Sasonomulyo, Baluwarti. Sebagai aktivis kesenian saya menjadi "kepala sekolah" Workshop Melukis Anak-anak Gallery Mandungan, Muka Kraton Surakarta.

Nusantoro yang bekerja di toko buku Gramedia itu segera membantu saya. Ketika saya memutuskan membeli buku karya Robert O'Brien dan Joanne Soderman (ed.), The Basic Guide to Research Sources (1975), saya memperoleh potongan harga. Terima kasih, Nunus.

Buku ini cocok sebagai bahan mata kuliah Bahan Referensi Umum (BRU) yang diampu Ibu Soenarti Soebadio dan mBak Siti "Ining" Sumarningsih. Sebagai penulis dan blogger, inti ajaran dari mata kuliah satu ini terus saja saya praktekkan hingga saat ini.

Tanggal 14 Juli 1981, ketika Perancis merayakan hari kemerdekaan, saya mendapat surat dari Zulherman, Jakarta. Isinya : tawaran ikatan dinas dari Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional (PDIN, kini PDII-LIPI) telah menanti. "P-4 juga menanti," begitu saya tulis di buku harian.

Zulherman dan saya sebelumnya memang pernah menghadap Ibu Mimi D. Aman dari PDIN. Kami mencari informasi mengenai peluang ikatan dinas di lembaganya. Naik bis Mayasari 300 dari Rawamangun sampai Gatot Subroto, dibayari Zul dengan karcisnya. Zul kemudian, ketika lulus, mengambil peluang tersebut. Sedang saya saat itu, ketika mendengar ada kata "P-4," malah memunculkan rasa ragu untuk melaju.

Dalam faham saya, ikut P-4 yang wajib bagi pegawai negeri yang baru terekrut tidak lain mengikuti program sterilisasi. Upaya indoktrinasi yang membuat para pegawai negeri menjadi patuh pada rezim Orde Baru yang sangat kuat cakarnya saat itu.


Konser di kamar. Selama praktek kerja di IKIP Yogyakarta itu, yang saya sukai adalah ketika bertugas di bagian sirkulasi.

Walau pun demikian, ketika mengerjakan katalogisasi dan klasifikasi,juga bisa kami buat menarik.

Saat itu saya dan Pak Sungkana (foto : paling kiri bersama Yan Husardi di ruang pengolahan pustaka, Perpustakaan IKIP Yogyakarta, 25 Juni 1981) segera mengunci kamar kerja kita ketika mulai bekerja.

Untuk menghalau rasa bosan, kami ngerumpi tentang banyak hal. Termasuk tentang gaya pria gagah yang reporter berita TVRI asal Manado, yang saat itu tampil begitu "barat dan keren." Namanya Willy Karamoy. Kami pun segera menirukannya. Juga menirukan suasana upacara kenegaraan 17 Agustus seperti dilaporkan di televisi. Termasuk nyanyi-nyanyinya.

Aksi kita ini pernah dikomentari oleh Ibu Suatminah sebagai "menunjukkan perasaan bahagia kami berdua ketika bekerja di perpustakaan."

Saat itu saya ketularan salah satu kebiasaan dari Pak Sungkono yang membekas.Sayangnya, bukan ketularan kecerdasan beliau dalam menyerap mata kuliah. Tetapi tentang aksi meraih sehat dengan ulah menendang-nendang udara.

Aksi itu dia peragakan bila kita sama-sama turun tangga. Sambil turun, kaki kiri dan kaki kanan bergantian menendang udara. "Untuk melancarkan aliran darah kembali di kaki-kaki kita," nasehatnya. Setelah lama hanya duduk-duduk saja, rasanya nasehat beliau itu benar adanya.

Bersibuk-ria di bagian layanan itu menyenangkan karena, bagi saya, bisa ketemu banyak orang. Macam-macam orang. Bisa melihat mahasiswi-mahasiswi cantik. Saya senang melihat Ida Prastini, dari bahasa Inggris.

Pada tanggal 11 Agustus 1981 ia nampak chic dengan dres warna kuning dengan syal merah. Kami bisa sedikit mengobrolkan isi buku dramanya Arthur Miller, Death of Salesman (1951), buku yang saat itu hendak ia pinjam.

Tetapi sayang, saya tidak sempat menemui Siti Rubiyati Latifa asal Ponorogo. Mahasiswi Ekonomi Perusahaan Angkatan 1978 itu di foto nampak cantik sekali.

Tanggal 10 Agustus 1981. Senin. Di rumah familinya Pak Sungkana Hadi, di barat THR, malam itu kami mengobrolkan isi surat yang dikirimkan Sri Mulungsih. Saya tulis di buku harian bahwa, "surat Sri dramatis."

Ceritanya tentang empat teman dekat kami yang terpaksa harus drop out. Malam itu Teddy juga ikut bergabung, akhirnya saya malah tidur di sini. Saya menutup cerita malam itu dengan kalimat : Berhimpunnya 3 Sekawan Pemalas ! Malas mencicil dalam mengerjakan laporan praktek kerja di Yogya tersebut.

Pustakawan tidak mendengarkan. Praktek kerja lapangan (PKL) bagi mahasiswa ilmu perpustakaan telah kami lakoni. Materinya benar-benar klop.

Tetapi saya sering memergoki, ketika sesuatu perpustakaan menjadi tempat PKL untuk pelajar dan bukan mahasiswa ilmu perpustakaan. Anehnya,mereka cenderung memperoleh perlakuan yang sama dengan kami.

Mereka itu nampak selalu dicekoki dengan pemahaman dasar dan bahkan "dipaksa" melakukan praktek-praktek kerja pengelolaan perpustakaan.Tak ada yang salah fatal. Tetapi, hemat saya, kurang pada tempatnya.

Beberapa tahun lalu saya telah menulis surat pembaca di harian Kompas Jawa Tengah untuk mendiskusikan pendekatan miopia kalangan pustakawan selama ini. Dimuat : Selasa, 17 Juli 2007.


Otak Mubazir di Perpustakaan

Musim liburan banyak digunakan para pelajar untuk melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL). Kegiatan yang positif dan bermanfaat. Salah satu tempat mereka melaksanakan PKL adalah perpustakaan.

Ketika mengamati dan menyimaki pelaksanaan PKL selama ini, boleh saya katakan para pelajar itu lebih banyak menganggurkan otak mereka. Karena jenis pekerjaan yang diberikan kepada mereka kebanyakan seputar pekerjaan rutin administratif, yang bahkan lulusan pendidikan yang lebih rendah pun mampu melaksanakannya.

Saya usulkan, para pelajar tersebut juga diajar untuk memanfaatkan secara maksimal khasanah pengetahuan yang dimiliki perpustakaan. Misalnya, mereka didorong memilih buku-buku nonfiksi/ilmu pengetahuan yang menjadi minatnya, kemudian diminta menuliskan pendapatnya. Karya tersebut kemudian dipajang di papan informasi atau dipresentasikan bersama teman lain, guru, juga pustakawan setempat.

Mereka juga bisa diajak berdiskusi mengenai problem aktual seputar minat baca/menulis dan pengelolaan perpustakaan di kotanya. Juga tidak kalah penting, mereka didorong untuk memiliki rasa percaya diri untuk menulis, mengemukakan pendapat, termasuk menulis surat pembaca.

Saya percaya, tantangan mengasah intelektualitas itu akan menjadi pengalaman yang menarik. Karena otak mereka tidak dibiarkan mubazir, sekaligus mereka mendapatkan pengalaman nyata betapa gagasan atau aspirasi mereka dihargai.

Bagi perpustakaan, suara anak-anak muda sebagai konsumennya itu patut didengarkan dan diapresiasi !


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612


Wonogiri, 21 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar