Jumat, 05 November 2010

Library 2.0, Pustakawan dan Miopia Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Miopia. Rabun dekat.
Ketidakmampuan memusatkan pandangan pada obyek yang jauh.
Banyak di antara kita yang menderita karenanya.

Di perempatan Gladag Solo, 12 Juli 2008, demo aksi diam yang mengangkat istilah miopia itu telah kami lakukan. Hari itu adalah tepat 8 tahun pencetusan Hari Suporter Nasional.

Kami, sebagian pentolan kelompok suporter sepakbola Pasoepati Solo, melakukan demo (foto di bawah) sebagai perwujudan otokritik terhadap diri kami sendiri : komunitas suporter sepakbola Indonesia.

"Suporter Indonesia = Useful Idiots !"
"Suporter Indonesia, suporter myopia !"

Karena kami selama ini memang menderita miopia, cadok, rabun jauh. Kami hanya mampu melihat hal-hal yang dekat, misalnya bersemangat mengobarkan fanatisme sempit terhadap klub berdasarkan primodialisme yang berlebihan, bahkan rela dibela dengan nyawa. Dengan bekal yang sama kami siap berkonflik, bertarung secara fisik melawan suporter kota lain.

Tidak pula merasa bersalah ketika konflik itu membuat kerusuhan, keonaran dan ketidaktertiban. Lalu merasa dengan kecadokan semacam itu kami sudah merasa cukup. Merasa sehat. Merasa dunia sepakbola Indonesia sudah beres-beres saja adanya.

Kami tidak menyadari terancam hanya menjadi useful idiot, orang-orang yang bagai kerbau dicocok hidung, karena tidak berani memiliki fikiran atau pendirian yang mandiri. Termasuk tidak menyadari bahwa konflik-konflik antarsuporter itu mungkin sengaja "dipelihara," seperti halnya pelbagai konflik di tanah air, sehingga dapat memberikan keuntungan kepada sekelompok aktor intelektual tertentu.

Misalnya, konflik antarsuporter itu dapat dibisniskan dalam bentuk ajang pertemuan antarsuporter, membuat deklarasi ini dan itu, dan ketika waktu berjalan semua hal itu mudah terlupakan. Ingat, bangsa kita adalah bangsa yang pelupa. Lalu ketika muncul konflik antarsuporter lagi, terlebih lagi dengan munculnya korban jiwa, maka siklus bisnis itu berjalan kembali. Kecadokan kronis kami telah dipelihara untuk meraih keuntungan bagi sebagian orang, dengan kami yang bebal ini sebagai tumbalnya.

Ritus dari siklus-siklus semacam sudah juga membuat kami kebal, sehingga mungkin sudah kami tidurkan apa itu yang namanya hati nurani. Akibatnya kemudian, kami menjadi tidak hirau dengan apa yang terjadi di Senayan, tempat Nurdin Halid dan kroninya bercokol di kantor PSSI selama ini. Tidak hirau pula terhadap prestasi tim nasional yang terseyok-seyok, bahkan pernah bonyok oleh tim Laos, dan kini statusnya tidak lagi terhormat di tingkat Asia Tenggara sekali pun.

bambang haryanto,suporter sepakbola,pencetus hari suporter nasional 12 juli (2000),rekor muri

Presiden yang miopia. Syukurlah, kecadokan tidak hanya monopoli komunitas suporter belaka. Ia juga menulari calon presiden dan presiden. Menjelang kampanye presiden di tahun 2004, saya telah menulis artikel berjudul "Internet Sebagai Senjata Kampanye Presiden," yang dimuat di Harian Kompas, Senin, 8 Maret 2004.

Saat itu saya membandingkan eksekusi situs kampanyenya kandidat Partai Demokrat AS, John Kerry, dengan situs salah satu calon presiden kita, Amien Rais yang dikelola oleh think tank-nya, The Amien Rais Center (ARC). Hemat saya, situs ini tidak ubahnya baru mengalihkan media cetak ke dalam bentuk digital. Pemahaman terhadap Internet yang mendasari eksekusinya ini baru mengolah isi (content), tetapi belum mengeksplorasi pentingnya konteks (context) media berbasis Internet.

Pengelola situs ARC nampak berasumsi bahwa peselancar datang ke situsnya semata-mata untuk membaca-baca berita terbaru mengenai diri Amien Rais. Eksekusi situs web hanya sebagai koran digital itu mengakibatkan peluang simpatisan untuk ikut menjadi bagian integral isi situs secara signifikan, serius terkendala.

Paling-paling hanya boleh memberi komentar untuk sesuatu berita, atau ikut jajak pendapat, yang tidak ubahnya seperti pembaca menulis di kolom surat pembaca di media cetak. Tidak ada pula tautan untuk beragam situs tak resmi PAN atau Amien Rais, tak ada pula blog para pendukungnya.

Bandingkan dengan situs John Kerry. "Selamat datang di situs saya, tetapi ini bukan milik saya pribadi. Ini juga situs milik Anda, yang membukakan peluang untuk melakukan perubahan bagi tanah air kita demi menjadikan Amerika kembali pada jalurnya, dengan memensiunkan George W. Bush, serta memilih arah benar untuk negara yang sama-sama kita cintai ini !" Itulah salam John F. Kerry, senator Partai Demokrat dari Massachusetts, yang kandidat presiden di Pemilu 2004, dalam situs web resminya [www.johnkerry.com].

Sungguh kampanye politik yang hebat, sekaligus menunjukkan pemahaman terhadap Internet yang juga tepat. Situs web John Kerry oleh pengamat strategi kampanye memakai Internet didaulat sebagai nomor dua di belakang situs web kandidat lainnya, Howard Dean. Ucapan bahwa situsnya bukan hanya miliknya semata, ditunjukkkan dengan tersajinya tautan untuk situs web tak resminya, fasilitas chat dan puluhan blog milik para pendukungnya di Internet.

Riuhnya para blogger mengisi situs Kerry itu memicu interaksi unik dan kreatif ketika dukungannya tidak hanya sekedar kata-kata di dunia maya. Dua orang blogger setianya, Tom AZ (Arizona) dan Mark (Iowa) memutuskan berlomba saat mendukung tim baseball favoritnya dan sekaligus mendukung gerakan pengumpulan dana "Satu Juta Dollar Melalui Internet Bagi John Kerry" yang ditutup akhir September 2003.

Caranya : ketika tim baseball Arizona State Sun Devils dukungan Tom AZ bertanding melawan tim Hawkeyes dari Iowa yang didukung Mark, keduanya sepakat mendonasikan dua dollar untuk setiap angka yang dihasilkan tim yang didukungnya dalam pertandingan tersebut untuk John Kerry.

Ilustrasi tadi menunjukkan John Kerry membuka peluang dan akses agar konstituennya saling berinteraksi dalam mendukung kampanyenya di Internet. Tim sukses Kerry menyadari bahwa kampanye bermedia Internet jauh lebih efektif apabila tidak dijalankan secara monolitis, terpusat, top-down, melainkan justru digerakkan menurut norma Internet sebagai media yang egaliter, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Di sinilah kedigdayaan Internet menyelipkan pesan politik yang luhur, bahwa keberhasilan kandidat dalam memanfaatkannya untuk kampanye justru harus memberi peluang dan mendorong konstituennya buka suara, sementara para kandidat itu pun harus pula membuka lebar-lebar telinganya guna menyerap aspirasi dan suara rakyatnya.

Bagaimana di Indonesia ? Silakan periksa saja situs [http://www.presidensby.info], situs resmi presiden SBY kita Tidak ada fasilitas bagi peselancar untuk menulis sesuatu komentar atau umpan balik di sana. Dengan merujuk panduan Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun dalam Rules of The Net (1996) bahwa "If a website has no feedback mechanism, forget it," maka sebaiknya keberadaan situs Pak Beye yang tidak interaktif itu, mau tak mau, kita lupakan saja ?

"The power of the masses.
A new figure emerges : the prosumer, a producer and consumer of information.
Anyone can be a prosumer."

Miopia dan pustakawan kita. Itulah sepotong narasi dari video berjudul "Prometeus - The Media Revolution" yang diputar pada helat pertemuan aktivis media akar rumput di Jagongan Media Rakyat (JMR) 2010 di Jogja National Museum Yogyakarta, 24 Juli 2010.

Penampilnya adalah rekan yang saya kenal melalui Internet, pegiat budaya Internet Sehat, Donny Budi Utoyo, dari ICT Watch Jakarta. Mungkin saya satu-satunya penonton yang memiliki DNA ilmu perpustakaan yang hadir untuk menyerap pengetahuan dari Mas Donny ini.

Sementara di ruang yang lain, pada saat yang sama, berkumpul para pustakawan dari Yogyakarta dan sekitarnya sedang asyik mengikuti presentasi tentang Senayan Library Management Systems (SLiMS) yang dilakukan langsung oleh Hendro Wicaksono, head developer SLiMS yang juga alumnus Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Angkatan 1992.

Kalau saja waktu bisa diputar balik, betapa makin menariknya bila komunitas pustakawan dan pegiat SLiMS di Yogya saat itu dapat pula menyerap wawasan dari sajian video di atas. Dan juga video lainnya dari YouTube yang berkisah mengenai "Social Media Revolution" yang sedang menggelegak. Aksentuasinya terasa semakin menegas melalui hentakan lagu hip-hop Fat Boy Slim sebagai ilustrasinya : "Right here, right now ; right here, right now ; right here, right now !".

Revolusi media sosial memang telah terjadi sekarang ini. Juga sebenarnya deras melanda dunia perpustakaan. Itulah badai yang disebut Library 2.0, di mana gelombang besar baru kaum prosumer sedang menanti di depan pintu-pintu perpustakaan. Untuk menjadi semakin terbuka lebar bagi aspirasi mereka.

Adalah John Blyberg dalam artikelnya 11 Reasons Why Library 2.0 Exists and Matters antara lain mengutip pendapat Michael Stephens.

Katanya,"Library 2.0 sederhananya merupakan upaya membuat perpustakaan, baik fisik atau maya, lebih interaktif, kolaboratif dan digerakkan oleh kebutuhan komunitas yang mendukungnya. Contohnya dengan memasukkan fasilitas blog, arena bermain di malam hari bagi remaja, sampai situs kolaborasi untuk pemajangan foto-foto mereka.

Daya dorong utamanya adalah membuat pembaca bisa mengunjungi perpustakaan kembali dengan membuat perpustakaan relevan bagi kebutuhan dan keinginan mereka dalam kehidupannya sehari-hari…membuat perpustakaan sebagai tujuan dan bukan sebagai hal yang difikirkan belakangan."

Artikel John Blyberg itu saya baca melalui akses Internet di Perpustakaan Umum Wonogiri, hari Jumat pagi (5/11). Sebelum nongkrong pada salah satu dari 6 komputer yang ada, saya menemui Pak Budi Prasetyo. Beliau kemudian bercerita tentang dua putranya yang menjadi relawan di Mentawai dan Merapi. Sosok lain yang saya temui adalah Muhammad Julianto.

Yang pertama adalah pensiunan guru SMP dan yang kedua adalah pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Solo. Saya salami rada hangat karena artikelnya mengenai perombakan budaya birokrasi di Wonogiri seiring terpilihnya bupati baru dimuat di harian Solopos beberapa hari yang lalu.

Kami bertiga ini, selain pengunjung tetap, kami secara tidak resmi atau bahkan resmi merupakan anggota "dewan perpustakaan" dari perpustakaan umum ini. Tidak resmi karena tidak ada SK-nya. Tetapi juga resmi karena secara "tiban" pernah menandatangani surat-surat resmi mereka.

Karena ketika perpustakaan ini beberapa bulan lalu mendapatkan anggaran secara "tiba-tiba" dari Provinsi Jawa Tengah untuk menambah koleksi, 78 juta rupiah (kalau tak salah ingat), kami bertiga diminta untuk ikut tanda tangan dalam berkas-berkas proposalnya. Dengan senang hati, kami membubuhkan tanda tangan. Entah apa kemudian kelanjutannya.

Merujuk momen spesial itu, mungkinkah aksi kami bertiga ini sudah menjadi bagian dari pelaksanaan mazhab Library 2.0 di Wonogiri ini ? Boleh jadi. Karena sebagai orang luar kami telah ikut sedikit dalam menentukan kebijakan pengembangan perpustakaan. Tetapi kalau hanya melibatkan kami bertiga, betapa elitis diri kami, sekaligus betapa masih kurang kolaboratifnya perpustakaan bersangkutan untuk bisa melayani khalayak yang lebih banyak.

Bagaimana isu Library 2.0 menderu di kota lain ? Siang harinya saya mencoba mencari tahu. Saya mengirimkan SMS ke Ahmad Subhan di Yogyakarta :

"Gimana Merapi ? Wah, acrku jd nr sumber di Ykt, 6-7/11 ditunda. Btw, di komunitas SLiMS apa prnah ada isu2 obrolan ttg katalogisasi sosial ? Jg Library 2.0 ? Salam." (Jumat, 5 November 2010 : 13.22.34).

"Merapi bikin repot lg pak :D. Kayaknya komunitas SLiMS blom pernah mengadakan diskusi dua topik itu." (Jumat, 5 November 2010 : 14.55.58).

Terima kasih, Subhan.

Apakah jawaban dari Subhan ini dapat didaulat sebagai cerminan bahwa komunitas pustakawan kita, yang melek teknologi informasi pun, masih mengidap miopia terhadap sosok Library 2.0 yang mengetuk-etuk pintu kita ?

Sebagai pencinta sepakbola sekaligus pencetus hari Suporter Nasional 12 Juli (2000) saya telah berdemo, menggugat kaum saya sendiri, di perempatan Gladag Solo dua tahun yang lalu. Kini, sebagai seseorang yang masih memiliki rasa cinta terhadap ilmu perpustakaan dan kepustakawanan, ijinkanlah saya kembali berdemo untuk kawan-kawan, kaum saya sendiri.

Saya akan mengacung-acungkan banner dengan tulisan berisi pertanyaan :

"Pustakawan Indonesia,
pustakawan miopia ?"


Wonogiri, 6 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar