Minggu, 31 Oktober 2010

Peppy, Buku Seks dan Pustakawan Dunia

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Di gunung itu musibah telah terjadi.
Salah satu dari dua pendaki gunung terperosok.
Kecebur jurang.

Pendaki gunung yang selamat segera berteriak di bibir jurang. "Bert ! Bert ! Apakah kamu selamat ?" Tak ada sahutan. Setelah berteriak beberapa kali, hati John bergembira. Temannya ternyata masih hidup.

"OK, John. Aku selamat. Tetapi badanku, kakiku, lenganku, patah semua !"
"Bagaimana kalau kau kutarik ke atas dengan tali ?"
"Agak sulit, John. Satu-satunya cara, tali itu harus aku gigit dengan gigi-gigiku."

Demikianlah John mulai menarik sobat kentalnya itu. Usaha itu nampaknya berjalan baik. Sesekali John berteriak :

"Kau masih OK, Bert ?"
"U-uuh," Bert mendengus.

Begitulah komunikasi aneh itu terus terjadi. Bert selalu menjawab dengan dengusan. Menjelang sepuluh meter, rasa kegembiraan mereka berdua pun memuncak. Saking gembiranya, John berteriak lagi : "Kau masih kuat, kan Bert ?" Karena terpagut oleh rasa gembira, Bert pun segera menjawab dengan teriakan keras : "Yaa! Yaaaaaaaaa…."

Gelombang Ketiga sampai Cinta. Saya sudah lupa judul buku kumpulan lelucon yang memuat kisah lucu dan tragis dari Bert dan John tadi. Tetapi saya ingat, buku itu saya beli dari toko buku Gramedia Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tahun 1980-1981-an.

Ketika masa-masa berkuliah, toko buku ini adalah tempat favorit untuk dikunjungi. Sebetulnya juga ada toko lainnya, di Jl. Gajah Mada. Tetapi untuk menjangkaunya dari Rawamangun lebih ribet dibanding kemudahan nyengklak bis PPD No 38, 39 atau Mayasari 300, untuk sampai di Blok M. Atau gratisan membonceng rekan kuliah, Bakhuri Jamaluddin, yang bertempat tinggal di kawasan Hang Jebat, Kebayoran Baru, tersebut.

Di toko Blok M itu saya pernah membeli buku lainnya. Antara lain, karya Alfin Toffler, The Third Wave (1981). Setelah mendapat honor tulisan berjudul "Ensiklopedia : Jagat Ilmu Pengetahuan Dalam Satu Sajian" di majalah Gadis edisi No.6/10/1983, pada tanggal 6 Oktober 1983, buku idaman itu bisa saya miliki. Buku Toffler sebelumnya, Future Shock, sering disebut-sebut oleh teman saya yang berasal dari Padang, Zulherman.

Buku lainnya adalah karya Mildred Meiers dan Jack Knapp, 5600 Jokes For All Occasions (1980). Saya beli tanggal 25 Oktober 1986, saat memergoki Gus Dur dan sempat bertukar lelucon saat itu. Bahkan momen itu kemudian menjadi ilustrasi cerita dalam artikel saya, "Komedi dan Komedian : Kejujuran Mengolok Diri Sendiri" yang dimuat di kolom Teroka, harian Kompas, 27/1/2007 : h. 14.

Di toko buku yang sama, tahun 1982, terbeli pula buku berbau astrologi, Star Sign for Lovers. Saya tidak tahu di mana kini buku itu berada. Tetapi saat membelinya saya kepergok, tak bisa menghindar, untuk ketemu secara tak terduga dengan Miduk. Ini nama panggilan kesayangan diantara keluarganya di Solo, sosok yang saya sebut sebagai wanita indah dalam hidup saya. Saat itu dia bersama suaminya. Sedang berbadan dua.

Tahun 2005 saya pernah menulis di salah satu blog saya, cerita tentang momen pertemuan tak terduga itu. Termasuk penggalan kisah di tahun 1978 saat Miduk memberi saya teks lagu indah dari The Bee Gees yang bergaya disko, "How Deep Is Your Love."

Di dalam tulisan blog itu sempat saya kutipkan tuturan penjelajah dan kerabat Istana Inggris, Walter Raleigh (1552-1618), bahwa "true love is a durable fire, in the mind ever burning, never sick, never old, never dead". Cinta sejati itu adalah api abadi, selalu membara di hati, tanpa pernah sakit, uzur, atau pun mati.

Saya pikir, dan saya harap, cerita di blog itu baru akan dibaca nanti oleh anak atau cucunya. Tetapi dasar Internet, semua rahasia apa pun yang terpajang di dalamnya akan mudah sampai kepada yang berhak. Kejutan lalu terjadi.

Pada hari Senin siang, 22 Maret 2010 saya mendapatkan telepon surprise. Dari Jakarta. Dari Krisandari, adik terkecilnya Miduk, yang kebetulan murid saya di sanggar melukis anak-anak di tahun 1979-1980 di Solo. Setelah mengobrol, nDari menyimpulkan isi blog itu dalam SMSnya :

"Iya mas..ceritane lucu bngt..menyenangkan..Dan kita jd inget Ibu yg sabare sakpole.Klo hari geneh punya anak perempuan 6 ?? ["Cantik-cantik semuanya !" - BH] Cepet stroke kali ya..hahaha.. Ada salam dari mb Miduk, mb Nina, mb Diah, Agus & tdk lupa sahabat saya Anita barusan sy fax tulisan mas Hari ke Anita. Maklum dia ga bs buka email. Gaptek. Mtrnwn semoga tdk terganggu. Sugeng siang." (22/3/2010 : 12.13.17).

Inter-librarian loan. Kembali ke buku kumpulan lelucon tadi. Isi lainnya yang saya ingat adalah cerita tentang seorang arsitek yang dengan bangga mengajak kliennya untuk memeriksa bagian dalam gedung opera yang baru saja ia rampungkan. Sang arsitek itu bilang dengan rada arogan :

"Akustik gedung ini sangatlah hebat ?"
"Apa ?" sergah sang klien.

Lelucon lainnya, saya sudah lupa. Buku itu juga tidak saya miliki lagi. Pada tahun 1981-1982-an, buku itu saya pinjamkan kepada Peppy Marlianti. Mahasiswi JIP-FSUI Angkatan 1981. Ia seangkatan dengan Ahmad Supanto, Andriaty Selvina, Balqis, Sofie Yusuf, Yohanes Sumaryanto (dosen JIP), dan juga Utami Budi Rahayu Hariyadi (juga dosen JIP kini).

Peppy yang baik hati itu, gantian meminjami saya buku menarik, The Book of Lists susunan Irving Wallace, David Wallechinsky dan Amy Wallace. Halaman yang memuat data tahun terbit, sudah tidak ada. Pada Bab 15 yang memuat daftar yang sepertinya dianggap bermuatan pornografi, halaman 315-336, telah hilang. Pada daftar isi, info untuk halaman itu diblok dengan spidol hitam.

Bila ditelusuri dari indeks ("dasar pustakawan, kan ?") isi yang hilang itu antara lain : berisi daftar tokoh yang meninggal dunia saat berhubungan seks, perilaku seks tokoh-tokoh wanita terkenal sampai cerita perihal perilaku seks menyimpang kaum pria.

Lupakanlah seks. Mohon maaf, mbah Sigmund Freud. Karena masih banyak daftar yang menarik dari buku itu, selain mengurusi arena selangkangan. Bahkan isi-isi menarik itu telah saya jadikan sebagai bahan tulisan untuk surat-surat kabar. Termasuk untuk majalah Klub Perpustakaan Indonesia (KPI), Pembimbing Pembaca, yang dipimpin Ibu Adwityani Soebagjo, dan redaksinya Reno "Errie" Ilham Nasroen.

Misalnya cerita tentang perilaku eksentrik Victor Hugo (1802-1855), pengarang The Hunchback of Notre Dame dan Les Miserables yang tersohor itu. Konon, bila Hugo mentok saat menulis, ia lalu meminta pembantunya untuk mencopoti seluruh pakaiannya. Lalu ia tinggal di kamar, dan karena merasa tak ada hal lain yang ia lakukan, maka Hugo pun kembali menulis !

Daftar menarik lainnya adalah tentang para pustakawan terkenal dunia. Misalnya Mao Tse Tung (1893-1976). Pada tahun 1918 dia menjabat sebagai asisten pustakawan pada Universitas Bejing. Ketika berpandangan bahwa masa depannya tak menjanjikan, Mao banting setir ke bidang politik, yang akhirnya mampu meraih posisi sebagai Ketua Partai Komunis China.

Tokoh pustakawan lainnya adalah Gottfried von Leibniz (1646-1716), filsuf, matematikus, diplomat dan raksasa intelektual Jerman saat itu. Ia menjabat sebagai pustakawan di kota Hanover 1676 dan Wolfenbuttel tahun 1691. Perayu perempuan termashur pernah menjadi pustakawan dari Count von Waldstein di Dux Bohemia selama 13 tahun. Dia adalah Casanova. Nama aslinya : Giovani Giacomo Casanova de Seingalt (1725-1798).

Nama sohor lainnya : David Hume, August Strinberg, John Braine, Paus Pius XI, Sam Walter Foss, Archibald Mac Leish, sampai J. Edgar Hoover (1895-1972), bos FBI yang terkenal sukses menguber-uber bandit kakap karismatis John Dillinger sampai raja Mafia Al Capone. Hoover ketika muda menjadi pesuruh dan kataloger di Perpustakaan Konggres AS.

Di mana kini Peppy ? Berita terbaru terkait Reuni JIP 2008, saat Hartadi Wibowo menelpon saya, ia tidak menyebut nama Peppy. Saya juga belum mencoba mencari-carinya melalui Google atau Facebook. Syukurlah, saya baru menemukannya via Facebook. Silakan klik di sini. Kalau nanti Anda bisa kontak (permintaan saya menjadi teman belum ditanggapi), tolong kabarkan semoga Peppy sudah lupa dengan buku The Book of Lists miliknya itu.

Sebab dengan cara menyimpan bukunya itu, saya masih bisa terus mengingat sosoknya, yang charming, berkacamata, yang menawan dan baik hati itu. Di tasnya, terkadang tersimpan sebungkus rokok :-). Juga bisa mengenang momen saat kami bersama-sama, antara lain Hartadi Wibowo dan lalu ketemu pula dengan Peggy Juanita Umbara, bergulat di Hotel Borobudur. Rabu, 30 Mei 1984.

Siang hari. Bukan di malam hari.
Bukan di kamar. Tetapi di ruang pertemuan.

Walau saya merasa tidak melamar, tetapi hari itu saya ikut dipanggil untuk ikut melaksanakan tes tertulis untuk menjadi karyawan arsip dan pustakawan pada perusahaan minyak terbesar kelima di dunia, asal Perancis : Total Indonesie. Kalau lolos tes, bekerjanya nanti di Balikpapan.

Saat itu saya belum minta maaf kepada Teddy dan Peppy, karena pagi itu saya terlambat bangun. Tentunya membuat mereka jengkel, harus menunggu saya mandi. Sesudah tes, kami mengobrol. Peppy cerita tentang beberapa jebakan pertanyaan dalam tes bahasa Inggris tadi. Tetapi yang rada seru, kami berbagi cerita mengenai besaran gaji yang kami minta, dan diisikan dalam formulir sebelum tes.

Terdengar bunyi riuh : juta, juta dan jutaan !
Harga calon lulusan pendidikan ilmu perpustakaan yang saat itu lagi terbang di awan.

Murtad, kecebur jurang. Beberapa hari sesudah tes itu, di ruang kantor dosen JIP, saya ikut mengobrol dengan ibu-ibu dosen. Antara lain saya bercanda, bahwa sesudah lulus nanti, mungkin saya akan bekerja di Balikpapan.

Entah kenapa, saya kok saat itu tiba-tiba terantuk kepada pandangan Ibu Lily K. Somadikarta, Ketua Jurusan JIP-FSUI. Sepertinya beliau mengirim sinyal ucapan : "Bambang, kau jangan pergi ke sana."

Terima kasih, Ibu Soma.
Begitulah kisah hidupku yang kemudian terjadi.

Saya memang tidak pernah pergi ke Balikpapan. Sampai kini. Tetapi juga tidak ke Depok yang kampus JIP-FSUI.Bahkan malah kecebur jurang gelap, sehingga menjadi "murtad" habis-habisan. Karena selama ini tidak bersetia sekali kepada DNA saya, dunia ilmu perpustakaan dan kepustakawanan.

Mengambil tamsil tentang pendaki gunung tadi, mungkin saya adalah gambaran tokoh Bert yang terperosok masuk jurang. Patah tangan, patah kaki, tetapi syukurlah, masih selamat.

Kini saya sedang mendaki lagi. Mungkin itu upaya saya untuk berusaha menebus dosa-dosa lama saya tersebut. Semoga semuanya belum menjadi sangat terlambat !


Wonogiri, 31 Oktober 2010

The Hunt For Red October 1982

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


September Ceria. Vina Panduwinata.
The Hunt for Red October. Sean Connery.
November Rain. Gun's N Roses.
Badai Bulan Desember. Ucok Harahap.


Pada bulan Oktober 1982, ramuan suasana dari judul-judul di atas ibarat masuk dalam mesin blender. Dan mesin itu menggerung serta berpusaran di dalam dada saya. Dalam hidup saya.

Di dalamnya teraduk badai rasa was-was. Gugup. Suasana ceria setelah semua badai itu lewat. Disambung hujan rasa syukur. Tetapi, sebelum kegembiraan mekar, haruslah melewati momen-momen yang cukup menegangkan.

Itulah momen ketika saya terjun dalam suasana perburuan di bulan Oktober 1982 tersebut. Perburuan untuk lulus ujian lisan sarjana. Ujian komprehensif, begitu sebutan nya yang populer saat itu. Inilah catatan saya tentang sepotong hari mengesankan di masa lalu tersebut :

Jumat, 8 Oktober 1982
09.30 - 10.30

Hari itu, saya bangun pagi, lebih pagi dari biasanya. Di rumah kost ini tak ada jam, patokan hanya radio. Sarapan pagi di warung tegal, mengelem sepatu dengan lem UHU, berangkat ke kampus Rawamangun naik bis kota - padahal biasanya jalan kaki.

Kutulis di pintu sebelum berangkat, "Aku harus lulus !" (8 Okt 1982 - HT).

Sampai di perpustakaan JIP, masih sepi. Sempat membaca UDC vs DDC. Lalu turun ke unit II Kampus FSUI, udah nunggu temen-temen. Pak AC Sungkono Hadi yang maju duluan, ati tentu kebat-kebit. Ia lulus lebih baik daripadaku.

Merokok terus aku, baju putih di saku potret Retno, celana abu-abu. Ia tadi lewat (berbaju) coklat. Aku sukar bersiul, tapi bersenandung lagu Lady-nya Anton Issoedibyo.

Dapat restu kuat dari temen-temen, jam 10.00 WIB aku masuk ruang Dekan, (tempat) ujian itu. Pak Royani, Pak Nurhadi Magetsari (dekan ?), Ibu Soma, Ibu Narti, semua itu dosen-dosenku.

"Aku dibuat senewen oleh pertanyaan Ibu Narti."
Tetapi cerah menjawab pertanyaan Ibu Soma - "bahasa indeks," "storage & information retrieval."

Aku bagai mau nangis, mata berkaca-kaca, menjabat tangan beliau dengan sentimentil ketika didengar berita - "Aku lulus !"

Alhamdullilah !
Tugas masih menghadang, skripsi, dan deg-deg-plas selama bulan Oktober ini tuntas sudah.

Ditulis : 8 Oktober 1982, Jam 19.40 WIB
Kost : Jl. Belimbing 24B, Jl. Balai Pustaka Timur, Rawamangun, Jakarta Timur.

PS : Sampai sore di rumah kost itu, aku ditemani teman akrabku : Bakhuri Jamaluddin.


Wonogiri, 31 Oktober 2010

Kamis, 28 Oktober 2010

Reuni JIP-FSUI 2008, Reuni Tiga Generasi

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at ) gmail.com



"Setiap perpisahan," demikian teolog Amerika, Tryon Edwards (1809-1894), telah bilang, "merupakan bentuk dari kematian." Lalu ia lanjutkan : "Sebagaimana setiap reuni merupakan bentuk dari sorga."

Tahun 2008, suasana sorga itu menyapa.

Setelah hampir sekitar seperempat abad lebih berpisah, suatu berkah bahwa pertemuan keluarga besar sivitas akademika dari Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (JIP-FSUI), telah terjadi. Termasuk dihadiri oleh tiga rekan kuliah kita sesama Angkatan 1980 : Hartadi Wibowo, Rizal Saiful-haq dan Gustina Sofia.

Kini di tahun 2010, kita pantas bersyukur karena Hartadi Wibowo telah berbaik hati membuka-buka album fotonya. Kemudian rela membagikannya, me-reuni-kannya kepada kita semua lewat akun Facebooknya. Silakan simak foto dan cerita yang membahagiakan, juga mengharukan, di bawah ini. Demikian juga simaki pelbagai komentar yang mengiringinya.

hartadi wibowo,liliy k somadikarta,rizal saiful-haq,yaz anggraeni,reuni jip-fsui 2008,ilmu perpustakaan,pertemuan terakhir edngan ibu soma

Bakhuri Jamaluddin. Aduh, sedari dulu kalau menyesal itu belakangan ! Kenapa BJ berhalangan hadir kala itu. Keren banget deh, Hartadi (Si Kumis) dan Rizal (Si Jenggot) bisa mengapit Ibu Lily "Katalog" Somadikarta (dosen Katalogisasi, Klasifikasi, dan "Etsitera") Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI 1970-an hingga 2008-an.

Bambang Haryanto. Tks, mengharukan sekali. Usul : harusnya diberi data 5W+1 H (bukan "HW"), sehingga saya bisa ikut merasakan atmosfir dan suasana hati. Apa gadis cantik beryellow jacket itu putrinya Teddy yang juga mahasiswi JIP ? Kalau benar, saya kok ikut merasakan kebahagiaan reuni sebuah keluarga dengan penuh kesan. Tell me more, Teddy dan juga Rizal. Bukan hanya tentang (nyontek BJ) kumis atau pun jenggot yang menawan dari Anda berdua !

Hartadi Wibowo. Ya, itulah moment terakhir dng almh ibu kita Lily Somadikarta, di bulan Februari 2008 pd waktu acara Reuni Akbar JIP FSUI. Angkt 80 yang datang hanya saya dan bang RSH yang kini menjabat sbg Ketua JIP UIN Jakarta. Yang ber-yellow jacket ada...lah Tyaz, anak saya yang mengikuti jejak bapaknya belajar DDC dng segala facet-facetnya. Saya sempat bercanda dng bu Kalangie dan almh bu Soma, bahwa seharusnya anak saya memanggil "eyang dosen" kepada beliau.

Bu Kalangie juga berkomentar, "Teddy, anak you pintar lho, nilainya bagus-bagus. Saya jawab, " iya bu, nggak spt bapaknya ya,". Maklum, bapaknya dulu tidak ngejar nilai, tapi hanya ngejar lulus. Ketika bu Soma meninggal, saya tdk bisa datang melayad. Namun kenangan ttg almarhumah tdk akan hilang. Saat itu saya hanya bisa mendoakan dan berucap "Selamat jalan eyang dosen".

Sri Rumiati Atmakusumah. Iya, aku menyesal sekali gak bisa datang waktu itu, saya mesti keluar kota rasanya deh... Gak ada lagi deh kesempatan bertemu dan berfoto sama Ibu "Katalog" Somadikarta yang begitu mengesankan ...

Zul Herman. Yah sebagian besar kita tidak sempat hadir pada saat itu. Cuma Teddy dan Pak Rizal saja yang beruntung sempat datang dan mengabadikan momen penting itu.

Subagyo Ramelan. Mungkin karena aku sdh tidak berkecimpung di bidang perpustakaan/perbukuan, aku ketinggalan informasi tentang reuni ini. Yaaah, nanti kalo ada kesempatan lagi...

Hartadi Wibowo. Mbah Yo, sayapun sdh sejak th 1997 tidak lagi ngurusi perpustakaan. Namun rasa kangen ketemu teman-teman seperjuangan dan para kesepuhan (dosen), maka langkah kakipun sampai ke Depok.

Mudah-mudahan nanti kalau ada acara reuni lagi kita bisa kumpul. Mungkin tidak ada jeleknya kalau kita berpikir "siapa tahu ini kesempatan terakhir kita bertemu sahabat lama". Apalagi skrang kita sdh "dipertemukan" di dunia maya, akan lebih mempermudah komunikasi.

Selamat beraktifitas. Wassalam,

Kini sebagian dari dosen-dosen kita itu, juga beberapa teman kuliah, telah melakukan reuni agung dan abadi dengan Sang Pencipta. Seperti Teddy bilang, dan kita semua mengamininya, bahwa : ""Selamat jalan eyang dosen."


Wonogiri, 29/10/2010

P.S. : Saya tunggu cerita dan juga kiriman foto-foto berikutnya dari teman-teman sesama Angkatan 1980. Cerita apa saja yang menarik untuk dibagikan, untuk berbagi kegembiraan, kebahagiaan, dan nilai-nilai kehidupan.

Rabu, 27 Oktober 2010

mBah Maridjan, Pustakawan 2.0. dan Pesta Yogya

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com



Kaliurang.
Adakah sesuatu kenangan Anda pernah tertambat di sana ?

Kalau Tonny Bennet pernah terkenal dengan lagu indah, "I left my heart in San Francisco," mungkin hari-hari mendatang pencipta lagu kita harus menelorkan lagu untuk mengenang mBah Maridjan yang berdomisili di Kaliurang itu pula.

Sosok juru kunci Gunung Merapi, yang kemudian semakin terkenal sebagai bintang iklan minuman suplemen, telah ditemukan meninggal dunia sebagai salah satu di antara puluhan korban amukan gunung karismatis yang secara spiritual telah ia "jaga" selama ini.

Sugeng tindak, selamat jalan, mBah Maridjan.

Kalau orang Jawa punya semboyan sakral "sedumuk bathuk, senyari bumi ," cerminan tekad kukuh untuk mempertahankan tanah miliknya sampai titik darah penghabisan, yang konon membuat ide transmigrasi sulit disosialisasikan untuk penduduk etnis Jawa, mBah Maridjan mungkin menjadi ikon ideal untuk keyakinan itu.

Beliau meninggal dunia, di rumahnya. Dalam posisi bersujud. Posisi pasrah, merendahkan diri, ke hadapan Yang Maha Kuasa. Orang besar telah memilih cara kematian yang juga besar, yang mungkin baru dalam jangka waktu yang lama betapa momen heroik, tetapi juga sekaligus tragis itu, akan bisa kita lupakan.

Presentasi wong cilik. Sebagai penulis surat pembaca, saya pernah menulis tentang dirinya. Judulnya, "mBah Maridjan" yang dimuat di harian Suara Merdeka (Sabtu, 27 Oktober 2007). Isinya :

Seorang mantan gubernur yang pagi-pagi sudah kluruk, berkokok, ingin maju sebagai calon Presiden di Pilpres 2009, telah mengunjungi mBah Maridjan. Bagi saya ini seperti sebuah déjà vu, pemutaran kembali adegan yang mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh pemerintahan Orde Baru.

Mereka-mereka ini paling lihai dalam berpropaganda untuk merebut hati rakyat. Antara lain dengan teknik yang disebut sebagai berpura-pura sebagai orang kecil.

Ada cerita tentang mantan menteri penerangan dan ketua partai pro-pemerintah saat itu, ketika melakukan kampanye terselubung di Solo. Ia melakukan aksi atraktif, yaitu menggendong seorang tukang becak Solo. Dengan aksinya itu dirinya membangun citra bahwa dia merakyat dan dirinya merupakan bagian tak terpisahkan dari rakyat kecil.

Menurut Sunu Wasono, Dosen Sastra Indonesia FIB-UI dalam bukunya Sastra Propaganda (2007), lewat aksi itu ingin ia tunjukkan bahwa program partai bersangkutan adalah juga program rakyat kecil. Partai itu kemudian bisa mengaku berasal dari rakyat, untuk rakyat, siap pula berjuang untuk rakyat. Kita semua tahu akhir dari cerita ini semua.

Bercermin dari teknik propaganda di atas, warga Jawa Tengah kini seyogyanya dapat mulai mengasah ketajaman nalarnya bila kelak terpusar dalam atmosfir kampanye pemilihan Gubernur Jawa Tengah yang mulai menghangat. Juga dalam pilpres mendatang. Intinya, Anda jangan sampai terbeli musang dalam karung ketika menetapkan pilihan Anda kelak.

Bambang Haryanto
Wonogiri 57612

mBah Maridjan di media sosial. Sebagai blogger pustakawan, pagi ini (28/10/2010) mengirim SMS untuk Ahmad Subhan di Yogya :

"Ikut berduka atas wafatnya mBah Maridjan yg heroik. Btw, kira2 adakah perpus/situs perpus yg memajang daftar buku, publikasi, foto2 sd kenangan og2 ttg beliau ?" (Kamis, 28/10/2010 : 07.23.18).

Jawaban Subhan : "Smpe hari ini foto beliau, asli maupun modifikasi, sdh trsebar di fb. Kmaren komentar ttg mb marijan ckp panjang di bwh status Gus Muh, bs jd hari ini lbh rame." (Kamis, 28/10/2010 :07.31.27).

Jawaban saya : "Tks Subhan. Power utk menyebarkan sd mmodifikasi info, kini ditangan user. Power itu hrsnya bs diajak msk perpus ut bikin 'pesta' a la marketspace disana:-)" (Kamis, 28/10/2010 : 07.40.48).

Obrolan masih berlanjut. Hanya pindah kapling
di sini. Atau copy/paste di peramban Anda :http://tinyurl.com/2bvmge5


Terima kasih.


Wonogiri, 28 Oktober 2010

Minggu, 24 Oktober 2010

Ajaran Ibu Soma,Gus Doerr dan Katalog Yang Menari

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Kinokuniya.
Mencari-cari buku di sana saya merasa seperti sedang berlatih karate di dalamnya.

Biang keroknya adalah fasilitas antarmuka dari anjungan elektronik yang disediakan toko buku itu. Dengan alat itu konsumen dibantu untuk menemukan buku-buku yang mereka cari di toko buku bersangkutan.

Layanan serupa bisa kita temui di pelbagai toko buku terkenal di Indonesia, berupa komputer, sementara di Kinokuniya itu wujudnya seperti kios ATM.

Ini bukan toko buku Kinokuniya yang berada di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Ini toko buku jaringan yang sama tetapi luasnya hampir sebesar lapangan sepakbola. Hamparan belukar buku yang menggairahkan itu membuat saya harus mengandalkan anjungan tadi untuk menemukan buku yang saya incar. Buku tentang manajemen ilmu pengetahuan.

Muncul masalah. Keypad-nya kurang begitu ramah. Ketika telunjuk menekan terlalu lemah, huruf tidak muncul. Tetapi ketika tekanan ditingkatkan ekstra, huruf yang muncul menjadi dobel. Saya membayangkan sedang berlatih karate, melakukan exercise guna memperkuat daya tohok jari-jemari saya.

Jadi sungguh perjuangan tersendiri untuk bisa menuliskan lema yang kita cari. Baik nama pengarang, judul atau subjek buku. Sementara pengguna lain dari toko buku megah di bilangan Orchard Road, Singapura itu, sudah pula nampak mengantri.

Buku yang saya cari itu, tidak saya temukan. Saya berandai-andai, alangkah menariknya bila terminal itu bisa agak "bercanda" dengan saya. Misalnya, bila buku itu tidak ada, ia dapat menyarankan saya untuk mengunjungi toko buku terdekat yang masih menyediakannya. Bahkan melalui Internet, sambungan itu bisa bercakupan dunia pula.

Jadi antar toko buku itu data koleksinya tersambung secara elektronik, 24/7. Diperkaya pula sambungannya dengan penerbit buku dan pengarang buku bersangkutan. Bahkan terintegrasi dengan data para pembaca buku tersebut, genap dengan segala komentar yang mereka tuliskan. Mengambil jargon dari ranah ilmu perpustakaan, ijinkanlah saya menyebut gambaran itu sebagai panorama tentang katalog yang menari.

Diagram kambing. Mengilas balik ke tahun 1980, mata kuliah tentang katalog, dengan label katalogisasi dan klasifikasi, bukan mata kuliah yang saya sukai. Pengampunya adalah Ibu Lily K. Somadikarta, yang saat itu adalah juga ketua jurusan Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Beliau telah wafat,Sabtu, 18 April 2009 sekitar pukul 01.00 di RSCM Jakarta Pusat.

Cara mengajar Ibu Soma yang tegas dan direct, membuat kami yang belum mengenal akrab beliau menjadi cepat-cepat ciut nyali. Apalagi ini mata kuliah yang menentukan, apakah di tahun pertama kami langsung drop out atau berlanjut. Kuis atau tes pertama untuk mata kuliah ini saya mendapatkan nilai nyaris mendekati ambang batas kegagalan : 62.

Saat kuis, saya memang tidak menyangka diagram tentang alur proses penyimpanan dan penemuan kembali bahan pustaka itu muncul di kertas ulangan. Rupanya saya telah meremehkan jantung alur kerja perpustakaan ini. Sebab ketika mencatatnya saya telah membingkai diagram tersebut dengan garis kontur berwujud binatang kambing.

Teman sekelas saya, Subagyo Ramelan, tertawa-tawa melihat "diagram kambing" buatan saya itu.Bahkan ia mengomentari, "itu cara mencatat yang jenius." Ia yang kini membuka gerai "Safir Andaru" dan bergerak dalam bisnis batu mulia di Ciledug, Tangerang, ketika menjadi book officer di Asia Foundation pernah membantu saya memperoleh hibah puluhan buku-buku bermutu terbitan manca negara. Terima kasih, Bag.

Saya bayangkan, ke dalam mulut kambing itu masuk satu judul buku. Buku itu dikunyah, untuk diekstraksi. Wujud fisiknya disimpan di rak tertentu. Kalau jumlahnya puluhan atau ratusan, mungkin ingatan kita masih kuat mengingat sampul atau tempatnya untuk bisa ditemukan kembali ketika dibutuhkan. Tetapi ingatan manusia ada batasnya. Bila jumlah buku itu sudah mencapai ribuan, masalah muncul. Menyimpan sih gampang, tetapi saat untuk menemukan kembali, secara cepat dan akurat ?

Solusinya, data buku itu harus dicatat. Secara sistematis. Ada ilmunya. Dalam buku besar, ia dicatat berdasarkan nomor urut, tanggal pembelian/hadiah, dan sumber buku tersebut. Ini untuk administrasi internal. Sedang untuk layanan bagi pemakai perpustakaan, isi buku dianalisis dulu, diklasifikasikan menurut subjek atau perihal, dengan merujuk panduan yang baku, seperti tabel DDC, Dewey Decimal Classification dan sarana bantu lainnya.

Kemudian tergabung di dalamnya pernak-pernik data buku lainnya, yang disajikan secara sistematis dalam bentuk kartu-kartu katalog. Pengunjung dapat mengakses koleksi perpustakaan melalui bantuan katalog tersebut berdasarkan nama abjad pengarang, judul buku, sampai subjek buku.

Tetapi pemahaman publik terhadap katalog sebagai sarana temu kembali bahan pustaka di perpustakaan, bukan hal yang otomatis. Bahkan juga di kalangan intelektual. Di kolom surat pembaca majalah Tempo (16/1/1982), saya pernah mengomentari isi acara "Dunia Pustaka" di TVRI (29/11/1981). Saat itu hadir bintang tamu seperti Harsja W. Bachtiar, Tuti Indra Malaon dan Toeti Adhitama.

Protes saya adalah : mahasiswa dan juga dosen (!) harus dilatih agar mampu memahami fungsi katalog dan mahir memanfaatkannya dalam menemukan informasi yang relevan. Keterampilan serupa sekarang ini yang juga harus dilatih pada mereka, adalah pemanfaatan mesin pencari Google di Internet. Semua orang bisa menggunakan, tetapi tetap ada perbedaan signifikan antara mereka yang tidak terlatih vs mereka yang berpengetahuan tentangnya !

Konsumen adalah matahari. Itulah teori dasar dan praksis pengelolaan bahan pustaka yang jadul, yang saya pelajari di dekade awal 1980-an. Kini katalog-katalog kertas itu semakin banyak digantikan dengan sinyal-sinyal elektronik. Otomasi. Komputerisasi.

Tetapi sebagai seorang renegade, yang terciprat DNA ilmu perpustakaan tetapi tidak pernah bekerja sebagai pustakawan sejak 1985, saya tidak tahu seberapa jauh, juga seberapa sukses otomasi itu telah berjalan di pelbagai perpustakaan dunia dan Indonesia.

Kisah ini akan berlanjut di blog saya yang lainnya. Blog Esai Epistoholica. Antara lain melanjutkan raba-raba saya tentang peranti lunak Senayan Library Automation yang telah memenangkan kategori Open Source System dalam Indonesia ICT Awards 2009 yang baru lalu.

Pengembangnya, Hendro Wicaksono, alumnus JIP-FSUI 1992 (foto : baju kuning). Dalam foto ia bersama Yossy Suparyo dari Combine Resource Institution yang saya potret setelah bisa saling kenal dalam momen tak terduga.Di Jogja National Museum, 23 Juli 2010.

Jangan lupa, simak pula nasehat Gus Doerr dari Lembah Silikon tentang revolusi media sosial yang kini hot terjadi. Juga pengaruhnya terhadap masa depan Anda.

Silakan saja klik di sini atau copy/paste url ini di peramban Anda : http://tinyurl.com/262ztjd.


Terima kasih.


Wonogiri, 24-25 Oktober 2010

Kamis, 21 Oktober 2010

Dosen JIP Gadungan Beraksi di UNDIP Semarang

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Robert T. Kiyosaki sudah berpesan wanti-wanti.
Kalau Anda ingin mempelajari sesuatu, fahamilah dulu istilah-istilahnya.

Sayang, nasehat itu baru saya baca tahun 2001.
Tentu saja dari buku serialnya Rich Dad, Poor Dad yang terkenal itu.

Hemat saya, seharusnya nasehat tersebut sudah saya fahami di tahun 1980, saat memasuki tahun pertama berkuliah di Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (JIP-FSUI). Tanpa bekal acuan itu, jelas membuat tahun awal perkuliahan menjadi perjalanan mendaki yang terasa lebih berat.

Karena memahami istilah-istilah baru itu bukan pula hal mudah. Belum lagi dihantui konsekuensi yang ada : bila nilai-nilai Anda jeblok di tahun pertama, maka pintu drop-out terbuka dan menganga untuk Anda.

Istilah menunjukkan profesi.
Bahasa rahasia.
Juga simbol otoritas.

Saya ingat kata-kata linguis Deborah Tannen dalam bukunya You Just Don't Understand: Men and Women in Conversation (1990). Buku ini saya pinjam dari perpustakaan American Cultural Center, di Wisma Metropolitan 2, Jakarta. Kepala perpustakaannya juga dosen saya untuk mata kuliah Pengolahan Data, Ibu Siti Aisjah Anwar (Ies Prayogo).

Tannen mengatakan bahwa pola komunikasi (utamanya) kaum pria itu cerminan perebutan posisi atas dan menghindari posisi bawah dengan lawan bicara. Maka menurutnya, pemakaian istilah-istilah khusus itu merupakan senjata untuk memperoleh kemenangan dalam kompetisi bersangkutan. Kalau mitra bicara Anda tiba-tiba mengeluarkan istilah yang tidak Anda mengerti, maka dia akan merasa menang, dan Anda di matanya berada pada posisi fihak yang kalah.

Tetapi kemaruk istilah, juga tidak produktif. Itu tanda kesombongan semu yang membendung komunikasi. Dalam ranah komunikasi bisnis, bila penyampaian pesan Anda semata berorientasi kepada diri Anda sendiri dan menegasikan kepentingan konsumen, ibaratnya Anda sedang melakukan bunuh diri.

Hal itu pernah terjadi.
Di restoran masakan Cina, "Yunyam" di Semarang.

Tetapi pelaku aksi "bunuh diri" tersebut bukan sang pemilik restoran. Juga bukan tukang masaknya, misalnya dengan membuat bocor tabung gas elpji. Atau berenang dalam wajan. Pelaku "bunuh diri" itu diri saya. Pasalnya, pencantuman nama-nama asing yang serba Mandarin dalam daftar menunya telah mendorong saya melakukan aksi fatal ketika memesan makanan.

bambang haryanto,jurusan ilmu perpustakaan fsui,undip,28 maret 1984,rusina syahrial-pamoentjak,dosen jip-fsui

Restoran Semarang. Saya bersama mas supir dari Undip sedang bersiap menyantap makanan yang dipilih berdasar intuisi, puitis atau tidaknya nama masakan bersangkutan. Perkara cocok atau tidak dengan lidah asal tidak beracun, semuanya beres adanya.Nampak di latar depan kanan, Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak.

"Kamu pesan masakan apa, mBang ?" demikian tanya mBak Ining. Saya hanya bisa meringis. Angkat bahu. Di meja lain Ibu Lily K. Somadikarta, Ibu Rusina Syahrial Pamoentjak dan Ibu Soenarti Soebadio nampak berdiskusi secara fasih dalam memilih dari daftar menu. mBak Ining yang berbaik hati lalu mengunjungi meja saya. Mungkin saat itu saya nampak kebingungan di matanya.

Saat itu saya, di meja terpisah, hanya ditemani sopir dari Undip. Mas sopir itu, sebelumnya, ketika saya tanya mau pesan masakan apa, ia menyatakan makmum dengan pilihan saya. Undip ikut UI sajalah. Maka saya segera pede memilih masakan Cina berdasarkan kaidah-kaidah "aliran Rawamangun," kaidah-kaidah sastra. Memilih yang judulnya terdengar eksotis dan puitis.

Tetapi kepada mBak Ining itu saya katakan sejujurnya : "Trial and error, mBak."

dosen jip fsui 1980,ilmu perpustakaan,pemotret : bambang haryanto,tahun 1982,universitas indonesia

Trio dosen saya 1980.Dari kiri : Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak, Ibu Soenarti Soebadio dan Ibu Lily K. Somadikarta. Ketiganya saya potret bulan Oktober 1982, menjelang peringatan 30 Tahun Pendidikan Perpustakaan Indonesia di mana foto-foto para pengajar sejak tahun 1950-an dipamerkan.

Flashback : 1984. Kejadian di atas berlangsung hari Senin, 26 Maret 1984, malam. Paginya, sekitar jam 05.00, kami berlima tiba di hotel, Jl. Pemuda 23, Semarang. Empat pengajar JIP-FSUI dan saya yang masih berstatus mahasiswa dengan skripsi tak selesai-selesai, didaulat menjadi nara sumber dalam Lokakarya "Pengintegrasian Program Pengembangan Perpustakaan Dengan Program Pendidikan Universitas" di Perpustakaan Pusat Universitas Diponegoro, 27-28 Maret 1984.

Berangkat naik kereta api, Minggu sore, 25 Maret 1984, dari Stasiun Senen. Di perjalanan saya ditraktir mBak Ining, nasi rames (Rp. 950,00) dan minuman soda gembira (Rp.800,00). Sempat menghabiskan bab pertama buku Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Juga melalui headphone mendengarkan lagunya duo America : "I Need You" dan juga "A Horse With No Name." Harusnya lagu dari Paul, Peter & Mary , "Five Hundred Miles" :

If you miss the train I'm on
You'll know that I'm gone
You can hear the whistle blow
A hundred miles.

"Ini sejarah," tulis saya di buku harian. Antara lain, seperti saya laporkan di majalah KJIP, karena "kami berlima segera menjadi anak buah Prabu Menakjinggo. Hotel yang kami tempati bernama Blambangan." Saya menempati kamar nomor 24. Terdapat 3 tiga tempat tidur.

Acara pertama : menulis surat untuk Bakhuri Jamaluddin. Saya lupa menulis untuk Hartadi Wibowo, teman mengobrol hari-hari sebelum berangkat ke Semarang. Kemudian tidur-tidur ayam sampai jam 08.30.

Untuk sarapan, saya diberi minuman jus dan roti oleh Ibu Soenarti. Lumayan. Terima kasih, Ibu. Lalu keluar hotel, mencari kantor pos, untuk memposkan surat ke priyayi berambut rapi asal Suruh Salatiga, yang pustakawan perpustakaan Akademi Gizi, Hang Jebat, Kebayoran Baru.

Balik dari kantorpos, kembali menulis surat. Untuk Cut Fachmaida Amien. Mahasiswi ASMI Banda Aceh. Juga Niken Chandrawati, putri Jl. Bangka yang mahasiswi ASMI, Pulomas. Siangnya, mengunjungi Perpustakaan UNDIP. Disambut Pak Gunardo dan juga Ibu Kadarsih. Makan siang di "Nglaras Roso," dan dari Ibu Soma yang asli (?) Semarang saya dapat info : "tahun 1965 restoran ini masih berdinding bambu, dan 15 tahun kemudian bergedung megah."

Saat di hotel sempat ada tamu. Ibu Soma mengenalkan tamunya, Bapak Koeshartono. Kakak beliau (info dari mBak Lini Ashdown, putri Ibu Soma,24/1/2012,almarhum Bapak Koeshartono ternyata adalah adik dari Ibu Soma). Setelah istirahat, sorenya mengunjungi Gedung Batu. Ini monumen peringatan datangnya pasukan Laksamana Cheng Ho dari China. Dilanjutkan naik ke Gombel, menikmati panorama lautan lampu kota Semarang yang dilihat menakjubkan dari atas. "San Francisco," komentar Ibu Soma. Perjalanan malam itu dipungkasi di rumah makan "Yunyam" tadi.

Sungguh kebetulan, di meja lain nampak sosok yang familier bagi saya. Pematung dan seniman serba bisa Hajar "Totok" Satoto dari Solo. Dirinya yang pernah ikut melawat ke Perancis bersama penari Sardono W. Kusumo ditemani kartunis terkenal dari Harian Kompas, GM Sudarta. Juga teman seniman lainnya.

Saya sambangi mereka, lalu mengobrol beberapa saat. Ketika kembali ke meja ibu-ibu dosen, saya katakan bahwa salah satu dari mereka adalah kartunis GM Sudarta. Ibu Soma kemudian menimpali, "istri GM Sudarta itu juga pustakawan."

Voila !

bambang haryanto,jurusan ilmu perpustakaan fsui,undip,28 maret 1984

Jualan manfaat otak kanan. Ibarat seorang salesman, saya sedang beraksi menjual gaya hidup pentingnya eksploitasi otak kanan bagi kalangan pustakawan perguruan tinggi di Semarang. Tetapi status sebagai "dosen gadungan" membuat saya gugup sendiri,sebagai suatu show boleh dibilang tidak begitu sukses.

Kompas dan Cameron Diaz. Ketika hari loka karya tiba, saya diperkenalkan kepada peserta sebagai "drs" ilmu perpustakaan, yang mengajar di JIP-FSUI. Dosen super gadungan. Posisi "mendua" ini yang kiranya, antara lain, membuat saya gugup. Sehingga presentasi saya pada hari kedua, saya rasa kok kurang begitu sukses.

Padahal ketika di hotel saya sudah di-doping Ibu Soma dengan sebutan "pemuda baru." Tampil beda. Berbaju lengan panjang. Juga mengenakan dasi. Kayak bankir :-). Rada bikin kejutan. Karena selama ini saya suka pakai kaos, bahkan menjadi topik obrolan saat kami makan malam (27/3/1984) di Restoran Oen yang legendaris.

Ibu Soma merujuk kepada putranya Dedi Achdiat Somadikarta (meninggal dunia 18 Januari 1985) yang pernah mengajari angkatan saya introduksi pengolahan data memakai komputer Commodore atau Atari, yang juga suka berkaos sehari-harinya. Di restoran itu, kalau mengenang, saya harus malu besar. Karena saya benar-benar over acting, laku lajak, karena minum-minum bir di tengah ibu-ibu dosen saya.

Dasi yang saya kenakan ternyata tak mampu menyelamatkan kondisi presentasi saya, yang pengin cerita banyak itu. Bertele-tele. Dari Marshall McLuhan, Daniel Bell sampai Alvin Toffler. Kurang humor, juga miskin dramatika. Saya tahu kekurangan besar itu ketika mendengarkannya kembali dari rekaman kaset yang ada.

Syukurlah di akhir presentasi, yang antara lain saya bercerita tentang pentingnya visual literacy selain information literacy dan media literacy, saya disalami Prof. Slamet Rahardjo yang budayawan itu. Beliau rupanya terkesan dengan dongengan mengenai split brain theory yang dikembangkan Roger Wolcott Sperry (1913-1994) sehingga dirinya memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran 1981.

Merujuk teori itu dan pengalaman empiris, kalangan pustakawan nampak lebih banyak menggunakan otak kiri, dengan ciri keteraturan, logis, eksak, linier, stabilitas dan "di dalam kotak." Sementara kreativitas, fuzzy, berfikir lateral dan aksi mengguncang-guncang perahu yang menjadi ranah dominan otak kanan nampaknya banyak terabaikan.

Seorang peserta yang mengaku dosen FISIP Undip menyambangi, ia berminat memfotokopi transparansi saya. Lalu ada pula dosen Fakultas Kedokteran Undip bilang hal tak terduga. Katanya, "saya pernah kuliah audio-visual di Illinois, tetapi presentasi Anda tadi ck.ck.ck.." Terima kasih. Sebagai nara sumber itu saya memperoleh honor Rp.40.000,00.

Sayang, saat break saya tak sempat mengobrol dengan mbak Ir. Dewi E. Ramali, peserta dari Universitas Soegiyopranoto (kalau tak salah). Umpama artis Hollywood, kilau dirinya saat itu bisa disejajarkan dengan Cameron Diaz saat ini.

Berita tentang loka karya itu kemudian muncul di harian Kompas 30 Maret 1984. Sebagian besar merujuk kepada isi makalahnya Ibu Soenarti Soebadio dan mBak Siti Sumarningsih, yang menyoroti belum maksimalnya layanan referensi di perpustakaan.

Akibatnya, perpustakaan ibarat hutan gelap yang tidak mampu dijelajahi harta karunnya oleh para penggunanya. Saya ikut kecipratan rasa bangga atas publikasi yang menarik ini.

Pulang kampung nih. Rabu malam, 28 Maret 1984, rombongan akan kembali ke Jakarta. Saya mohon diri kepada Ibu Soma, minta ijin akan pulang kampung dulu ke Wonogiri. Pelbagai perangkat keras yang saya bawa, saya minta tolong kepada Pak Gunardo untuk mengirimkannya kemudian ke Rawamangun.

Sampai di rumah Wonogiri jam 21.45. Lalu mendengarkan kembali rekaman presentasiku, uh, sampai jam 2 dini hari. Esoknya (29/3/1984) pergi ke Toko Baru, membeli tiga potong kain lurik, memenuhi pesanan mBak Ining. Saya pilihkan salah satunya yang ada benang emasnya.

Ketika kembali ke Jakarta, ternyata pilihan ini rada bermasalah. mBak Ining rada protes karena adanya unsur glitter dari lurik itu, yang berkesan genit, yang mungkin kurang sreg dengan kepribadian beliau yang selalu rendah hati itu.

Comedy of Error. Terakhir kali, kalau tak salah, saya ketemu mBak Ining tahun 1997. Di Perpustakaan American Cultural Center. Di tempat yang sama, saya juga pernah ketemu rekan seangkatan saya, Sri Mulungsih Gedong Roekmi. Tentu saja ketemu Ibu Ies Prayogo, kepala perpustakaannya, yang kadang bertanya : "Kapan menikah ?"

Melalui Google, baru-baru saja ini, ketika saya mencari gambar atau foto dengan memasukkan kata kunci "lily k. somadikarta," yang muncul antara lain malah fotonya mBak Ining bersama para mahasiswanya (klik di sini). Tidak banyak perubahan dari beliau. Bahkan nampak lebih putih.

Entah karena kini ruang kerjanya terus ber-AC atau sisa hawa dingin dari kampus Universitas Wales yang berdiri tahun 1872 di Aberystwyth, Wales, masih belum luntur pada dirinya. Masih banyak cerita tentang mBak Ining dan dosen-dosen lainnya di album kenangan saya.

Terakhir : kembali ke Robert T. Kiyosaki lagi. Walau ia punya pesan wanti-wanti agar kita mempelajari dulu istilah-istilah sebelum memahami sesuatu disiplin ilmu, ternyata saya tidak melakukan hal penting tersebut ketika langsung berada di meja makan restoran "Yunyam" Semarang saat itu.

Sehingga ketika beranjak keluar dari restoran, mBak Ining kok ya masih sempat bertanya kepada saya : "Gimana mBang, trial and error-nya ?" Wah, saya hanya bisa menjawab pendek :

"Error,mBak."

Itu kejadian 26 tahun lampau.

Kini saya berandai-andai : apabila saya ditanya mengapa sejak selesai belajar tahun 1985 tetapi kemudian saya tidak dekat-dekat amat dengan dunia ilmu perpustakaan, apakah saya harus menjawab bahwa pilihan hidup saya itu merupakan hal yang "error" pula ?


Wonogiri, 21 Oktober 2010

Senin, 18 Oktober 2010

Silaturahmi Alumni JIP-FSUI Di Dunia Maya

Dear sesama alumni JIP-FSUI,

Salam pustakawan. Senang sekali saya memergoki Anda sebagai alumnus JIP-FSUI yang tampil baik hati, dengan murah hati, sudi berbagi cerita, wawasan dan pengetahuan tentang dunia cinta kita di dunia maya. Di Internet. Anda sungguh generasi JIP-FSUI yang beruntung sekali.

Sebab waktu saya berkuliah di JIP-FSUI, jaman duluuu sekali itu, Internet belum ada. Kertas juga belum ada. Bahkan semua catatan kuliah masih harus ditulis di atas daun lontar. Atau digurat di kulit kayu kering yang harus dikelupas dulu dari pohon-pohon akasia raksasa yang merindangi padepokan Rawamangun saat itu.

Angkatan sebelum saya, ceritanya, malah berkuliah dengan mengusung keping-keping batu sebesar papan tulis. Tablet. Model inspiratif yang dikembangkan oleh Steve Jobs menjadi produk iPad-nya Apple sekarang ini. Angkatan sebelum saya itu menulis catatan kuliah mereka dengan memakai pahat.

Begitu ada perintah dosen, "Print !," bisa dibayangkan betapa heroik dan kerasnya mereka bekerja saat itu. Apalagi yang ditekan adalah tombol "Send."

Depok masih sawah.
Atau hutan, yang cuma dihuni hantu-hantu belaka.

Para dosen kita jaman dulu, seperti Ibu Lily K Somadikarta, Pak Sulistyo Basuki, Ibu Lily Roesma, Ibu Ining sampai Pak Zulfikar Zen, semuanya pergi mengajar ke kampus masih naik kuda. Atau kereta yang ditarik kuda. Bahkan ada mahasiswa yang kreatif, ke kampus secara ramai-ramai dengan mencarter kendaraan khusus : dinosaurus !

Ah, jangan percaya bualan di atas.

Perkenalkan, saya, Bambang Haryanto, alumnus JIP-FSUI Angkatan 1980. Saya baru saja meluncurkan blog untuk angkatan saya : JIP FSUI Angkatan 1980. Hemat saya, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Untuk memperkaya blog itulah saya berkunjung ke blog Anda untuk menyusun isi blogroll-nya. Sehingga diharapkan antarkita semua yang sesama alumni JIP, khususnya, juga para pemangku kepentingan dunia perpustakaan dan informasi itu pada umumnya, dapat selalu tersambung di dunia maya. Senang sekali saya bisa mengenal Anda.

Selamat terus menulis, ber-blogria, berkreasi dan berprestasi.
Sukses selalu untuk Anda. Salam dari Wonogiri.

Bambang Haryanto
Blog EE : http://esaiei.blogspot.com

Rosmi Julitasari, Blog Kita dan Biografi Lily K Somadikarta

Yth. mBak Rosmi Julitasari,

Salam sejahtera. Semoga Anda senantiasa sehat, sukses dan sejahtera. Mohon maaf bila email ini agak mengganggu.

Saya, Bambang Haryanto, pernah belajar di JIP-FSUI, Angkatan 1980. Kini tinggal di Wonogiri, Jawa Tengah. Saat ada acara Jagongan Media Rakyat 2010 di Yogyakarta (22-25/7/2010), suatu kebetulan yang menakjubkan, saya tinggal satu wisma dengan alumnus JIP-FSUI 1992, Hendro Wicaksono dari Jakarta.

Dari Hendro itu saya mendapat kabar menarik. Antara lain bahwa Anda akan/telah menulis biografi salah satu tokoh penting JIP-FSUI, Ibu Lily Koeshartini Somadikarta.

Apakah buku Anda itu telah selesai ?

Bila telah selesai, atau pun bila belum selesai, saya ingin memajang informasi tentang buku Anda itu. Misal gambar sampul, foto dokumentasi, highlight isi buku, endorsement plus info lain yang relevan, di blog yang baru saja saya buat. Saya ingin mempromosikan buku Anda, dengan senang hati, dan tentu saja cuma-cuma.

Melalui blog ini saya dan kawan-kawan berusaha menghimpun tulisan kenangan sampai pengalaman dari sesama teman, Angkatan 1980. Tentu saja kenangan tentang para dosen kami, termasuk Ibu Soma. Blog kami itu namanya : JIP FSUI Angkatan 1980.

Bahkan di sidebar telah saya pajang foto Ibu Soma. Foto itu hasil pemotretan saya sendiri, di tahun 1982, menjelang acara Peringatan 30 Tahun Pendidikan Perpustakaan di Indonesia, yang dilaksanakan di Gedung Kebangkitan Nasional, November 1982.

Terima kasih untuk perhatian Anda.
Saya tunggu kabar menarik dari mBak Rosmi.

Hormat saya,


Bambang Haryanto.

Mary J. Cronin : Nostalgia Rawamangun, Wonogiri dan Atlanta

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com



Mary J. Cronin.
Itulah nama perempuan berwajah anggun ini.

Sayangnya, ketika berkuliah di Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI (JIP-FSUI) di Kampus Rawamangun era 1980-an, seingat saya, namanya tidak pernah muncul dalam perkuliahan. Ibu Lily K Somadikarta, Ibu Soenarti Soebadio, Bapak Karmidi Martoadmodjo sampai Bapak Sulistyo Basuki, sepertinya belum pernah menyebut-nyebut nama itu pula.

Tak apalah.
Saya mengenalnya dari majalah Library Journal.

Kalau ada waktu luang, di perpustakaan JIP-FSUI yang berada di lantai 2 Unit 3 Kampus FSUI, saya membuka-buka majalah itu. Biasanya, setumpuk majalah itu atau yang sudah terjilid, saya bawa ke luar ruang.

Kemudian membaca-bacanya di luar, di kursi rotan, pada beranda ruang perpustakaan tersebut. Bisa sambil melihat-lihat hijau daun, berbercak putih yang berpadu bunga-bunga kuning, dari pohon-pohon akasia yang merindangi kampus itu.

Saya memang nekat "melanggar aturan" dengan membawa bahan pustaka ke luar perpustakaan. Terima kasih Pak Wakino dan Nasfudin, petugas perpustakaan JIP-FSUI, yang rupanya memaklumi alasan saya. Karena di luar, sambil membaca-baca itu saya juga bisa bernikmat-ria dengan asap plus nikotin yang di tahun 1980 itu masih membekap ketat diri saya.

Bahkan, di masa itu, bergabung dengan sesama mahasiswa yang juga perokok seperti Hartadi Wibowo dan Subagyo Ramelan, kami dikenal sebagai trio penghuni "the smoking corner" di kelas. Penyebar kabut racun. Syukurlah, pada tahun 1989, saya bisa berhenti merokok, setelah menjadi budak nikotin lebih dari 16 tahun.

Lupakanlah nikotin, mari kembali ke Mary J. Cronin. Kalau tak salah ingat, ia mengisi kolom tetap di majalah tersebut dengan topik seputar aplikasi teknologi informasi di perpustakaan. Topik tersebut masih terasa asing, dan baru, utamanya dalam atmosfir dunia kepustakawanan di Indonesia saat itu.

Internet dengan intelejensia. Waktu pun bergulir. Empat belas tahun kemudian, suatu keajaiban, saya bisa "ketemu" dengan Mary J. Cronin kembali. Bukan di majalah Library Journal lagi. Sebagai anggota perpustakaan American Cultural Center (ACC), Wisma Metropolitan 2, saya seperti dapat anugerah ketika memergoki isi majalah Fortune, 18 Maret 1996.

Di situ terdapat wawancara intensif editor IT majalah bisnis bergengsi itu, Rick Tetzeli, dengan Mary J. Cronin. Judul artikelnya, "Getting Your Company's Internet Strategy Right."

Dalam pengantarnya Rick Tetzeli menulis : "Mary Cronin menemukan Internet sebelum Internet menjadi bahan kehebohan pada dekade ini. Sebagai pustakawan universitas di Boston College, Cronin memanfaatkan Internet untuk meriset data pada tahun 1980-an.

Dalam empat tahun terakhir ia menulis, memberi kuliah dan memberikan konsultasi bagaimana perusahaan mampu memanfaatkan Internet dan teknologinya sebagai bagian dari strategi perusahaan bersangkutan. Sekarang ia menjabat sebagai professor di Carroll School of Management dari Boston College, Cronin memberikan wawasan, quiet intellegence, untuk kajian yang kini lebih menonjol heboh hura-huranya itu.

Bukunya yang segera terbit, The Internet Strategy Handbok : Lessons from the New Frontier of Business (Harvard Business School Press, 1996), menunjukkan bagaimana kalangan bisnis dapat memanfaatkan Internet jauh lebih signifikan dibanding hanya tampil genit berpamer-ria dengan situs-situs web yang molek semata. Cronin membeber pikiran-pikirannya secara persuasif bahwa perusahaan membutuhkan perencanaan yang cermat agar mereka mampu memanfaatkan Internet untuk kebutuhan di dalam mau pun di luar perusahaan."

Akhirnya, Rick Tetzeli menyimpulkan bahwa buku ini merupakan buku panduan untuk perusahaan-perusahaan Amerika.

Kramat sampai Atlanta. Diam-diam, saat itu, saya merasa bangga. Bahwa seorang pustakawan telah mampu melakukan "penjarahan," dengan mengaplikasikan wawasan dan ilmu pengetahuan miliknya sebegitu jauh jangkauannya sehingga dapat menerobos batas-batas teritori ranah tradisionalnya. Ilmu perpustakaan a la Cronin itu mampu memperkuat otot-otot yang menunjang keberhasilan dunia bisnis, dunia korporasi, bahkan pada pilar-pilar yang paling fundamental di era perubahan dewasa ini.

Suatu kebetulan, ketika keluyuran di lapak majalah bekasnya Pak Yono ("asal Sragen, hijrah ke Jakarta sejak 1957-an") di Kramat Raya, Depan Gedung PMI, saya menemukan lagi majalah Fortune edisi 18 Maret 1996. Foto Mary J. Cronin di atas juga saya ambil dari majalah bisnis ini.

Keajaiban masih berlanjut. Ketika adik saya, Broto Happy W., yang reporter Tabloid BOLA, meliput Olimpiade Atlanta 1996, saya wanti-wanti berpesan untuk dioleh-olehi buku karya Mary J. Cronin itu. Syukurlah, buku itu ia beli pada tanggal 17 Juli 1996, dan kini berjejer dengan beberapa buku bersampul hitam, buku-buku bertopik Internet, yang juga terbitan dari Harvard Business School Press.

Buku yang tidak mudah dikunyah. Salah satu isi buku itu yang relevan dengan komunitas penulis surat pembaca yang saya dirikan, Epistoholik Indonesia, yang sering saya kutip antara lain tulisan Gregory P. Gerdy, pakar Internet dari Dow Jones Business Information Services, yang menjabarkan perbedaan antara media cetak dan media Internet.

Menurutnya, di dunia media cetak aktivitas penciptaan informasi, produksi, distribusi dan konsumsi informasi, terjadi terpisah-pisah. Tetapi kini berkat kehadiran Internet, semua proses tersebut terintegrasi dalam satu sistem. Terutama harus didaulatnya informasi dari konsumen sebagai bagian integral isi situs itu sendiri. Perubahan konteks maha vital inilah, menurut saya, yang masih banyak tidak disadari oleh para pengelola media cetak dan situs di Indonesia.

Mengabarkan perubahan itulah yang kini menjadi sacred mission saya, sebagai orang yang merasa memperoleh anugerah karena dalam bagian hidup saya yang terindah pernah terciprat untuk memiliki DNA ilmu perpustakaan, walau pun selama ini dan kini memilih untuk tidak berkarya dalam kurungan tembok-tembok gedung perpustakaan.

Ada nasehat dari Mary J. Cronin yang mungkin bermanfaat bagi kita. Ketika ditanya bagaimana agar peselancar Internet bisa tertarik melakukan bookmark, atau secara rutin mengunjungi situs-situs kita di Internet, ia pun menjawab :

"Informasi yang bermanfaat, itulah kuncinya. Anda harus memberi mereka sesuatu yang berharga dalam transaksi ini. Ini bukan perbuatan berderma, altruistik. Melainkan ini merupakan strategi pemasaran yang baik."

Terima kasih, Ibu Mary, untuk jeweran ini.

Karena selama ini saya sering mejeng di Internet hanya semata-mata tergoda hasrat tak terkendali untuk berasyik-masyuk bagi diri sendiri.



Wonogiri, 18 Oktober 2010

Sabtu, 16 Oktober 2010

Ogilvy, JIP FSUI, Rekonstruksi Masa Lalu

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Anda mengenal nama David Ogilvy ?
Dia bukan penulis surat pembaca top. Juga bukan pustakawan.
Tetapi sosok yang dikenal sebagai "nabi" periklanan.

Dalam buku yang disebut sebagai kitab suci insan perklanan sampai kini, Confessions of an Advertising Man (1963), Ogilvy menjawab pertanyaan tentang apa saja kelemahan dirinya yang paling parah. Dalam salah satu jawabannya, nomor 3, ia bilang : "Like everyone my age I talk too much about the past. " Seperti halnya orang-orang seusia saya, saya terlalu banyak membicarakan masa lampau.

Ogilvy berkata demikian saat berumur 75.
Saat ini saya berumur 57 tahun.Tetapi rupanya saya sudah sangat sering dan parah terkena "Sindrom Ogilvy" tersebut.

Karena di catatan ini saya akan cerita tentang masa lalu pula. Tahun 1980.
Tepatnya peristiwa yang terjadi pada tanggal 5 September 1980, di Wisma Tamu Universitas Indonesia, Rawamangun, Jakarta Timur. Simak foto berikut ini :

jurusan ilmu perpustakaan,fakultas sastra universitas indonesia,5 september 1980,bambang haryanto,rawamangun,ilmu perpustakaan,pustakawan

Gerakan Lima September 1980. Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Angkatan 1980 secara resmi diterima sebagai anggota sivitas akademika JIP FSUI dan sekaligus sebagai warga baru profesi pustakawan Indonesia. Seluruh pengajar, alumni pelbagai angkatan dan mahasiswa bersilaturahmi dalam acara Halal Bil-Halal JIP-FSUI yang diselenggarakan tanggal 5 September 1980 di Wisma Tamu Universitas Indonesia, Rawamangun.

Sebagai penceramah dalam acara silaturahmi itu adalah Yusril Ihza Mahendra, mahasiswa Fakultas Hukum dan Fakultas Filsafat Universitas Indonesia, yang kemudian pernah menjadi Menteri Hukum dan HAM.

Nampak dalam foto (dari kiri) Bapak Karmidi Martoadmodjo (almarhum), Juliana Surya (Angkatan 1979) dan Indira Saraswati (A-1979). Pria berbaju batik di atas teks “Halal” adalah M. Djuhro (A-1980) dan Esmara Suharto (A-1980). Di atas M. Djuhro adalah Nasfudin, petugas perpustakaan JIP-FSUI. Sebelah kiri M. Djuhro (baju putih) adalah Ketua Keluarga Jurusan Ilmu Perpustakaan (KJIP) FSUI, Sugiarto Dakung.

Di atas teks “Bil”, paling atas, Arlima Mulyono (A-1980). Di atas huruf “Lal” dari teks “Halal” (sedang menengok), Subagyo Ramelan (A-1980) dan di atas dia adalah Susanti (A-1980). Sementara oknum berkacamata di sebelah kanannya adalah orang Suruh, Salatiga, Bakhuri Jamaluddin (A-1980).

Di atas huruf “F” dari “FSUI” adalah Haris Nasution (almarhum). Persis di atas Haris adalah Partiningsih (A-1980) dan sebelah kanannya adalah Idrina Idrus (A-1980). Memegang ujung kanan spanduk adalah Hartadi Wibowo (A-1980), di atasnya adalah Yan Husardi (A-1980) dan Zulherman (A-1980). Berjongkok paling kanan, Rizal Saiful-haq (A-1980).

Dan jangan lupa, saking ngebetnya jadi pustakawan, di acara halal bil-halal pun dirinya fanatik membawa-bawa bahan pustaka :-), yang tak lain adalah inisiator blog ini. Ketika teman lainnya berpakaian rapi dan sopan, ia pengin tampil beda : hanya memakai kaos.

Bahkan untuk menandakan ia punya “daya kenang” tertinggi :-( di antara teman seangkatannya, maka dalam foto kenangan ini ia pun secara sengaja memajang dirinya pada posisi teratas : Bambang Haryanto (A-1980).

Foto lebih besar ukurannya dapat Anda klik di sini.


Wonogiri, 16 Oktober 2010