Kamis, 25 November 2010

Boorstin, Anez, Cinta Buku Kaum Pustakawan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


"Teknologi mendekatkan yang jauh.
Tetapi juga menjauhkan yang dekat."

Pencetus ucapan ini pernah berkunjung ke Rawamangun. Kampus Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kalau tak salah sekitar tahun 1985.

Daniel J. Boorstin.
Pustakawan dari Library of Congress, Amerika Serikat.

Saya tidak mengikuti pertemuan itu. Tetapi hanya membacanya dari surat kabar Kompas. Saat itu di jurusan, seingat saya, juga tidak muncul umyung atau tersebarnya kicau-kicau kehebohan terkait dengan kunjungan pustakawan istimewa itu.

Toh saat itu saya merasa dekat dengan beliau. Dirujuk dari iklan-iklan klub buku di majalah-majalah favorit saya seperti The Atlantic Monthly, Discover, Omni, Popular Science sampai Science Digest yang saya baca-baca dan pinjam dari perpustakaan Lembaga Indonesia Amerika (LIA), lalu terantuk dengan salah satu buku karya Daniel J. Boorstin. Buku itu, ajaibnya pula, akhirnya bisa saya pinjam dari perpustakaan PDII-LIPI pada saat-saat itu pula.

Tahun 1985-an itu, minat bacaan saya terkait beragam majalah di atas adalah kuatnya bius kontroversi terkait Perang Bintang, program SDI (Strategic Defence Initiative)-nya Presiden Reagan yang dicanangkan tahun 1983. Yaitu upaya AS menempatkan senjata laser di satelit untuk mencegat dan menghancurkan serangan peluru kendali dari Uni Sovyet. Nama-nama ilmuwan nuklir AS yang ngetop dan terlibat dalam pembicaraan antara lain Edward Teller sampai Hans Bethe.

Tahun-tahun sebelumnya, perang di kepulauan Falklands, perang Malvinas, membuat saya mabuk fotokopi. Kebetulan di seberang tempat kos saya, yaitu di kios fotokopi yang menyatu dengan Apotik Rini, Jl. Balai Pustaka Timur, juga dipajang majalah TIME terbaru. Majalahnya tidak laku, tetapi kios fotokopinya memperoleh penghasilan dari jasa menfotokopi majalah tersebut.

Obrolan mengenai beragam persenjataan perang yang dipakai di wilayah Argentina itu, ternyata juga menarik bagi Pak Ahmad Royani. Jadi di ruang perpustakaan JIP, kami malah asyik saling mengobrolkan tentang senjata. Sayang di koleksi perpustakaan jurusan itu sepertinya tak ada buku-buku referensi terbitan Jane's, yang khusus melaporkan beragam jenis persenjataan mutakhir.

Sampai-sampai senior saya, Bambang Sutejo dari LAPAN-RI yang angkatan 1979, nampak terheran-heran. Ia seangkatan dengan Indira Saraswati, Juliana Surya, Julian E. Warsol, Masykur Irsyam, Pranajaya,Suwarto sampai Yusye Milawati.

Antara lain karena Bambang Sutejo merasa tak bisa nyambung dengan materi obrolan seorang dosen yang lemah lembut dengan mahasiswanya yang berprofil urakan mengenai topik yang begitu esoterik itu.

Kembali ke Boorstin. Bukunya yang berkisah mengenai perjuangan para hero dan pionir ilmu pengetahuan.


[Cerita akan berlanjut]

Wonogiri, 26 November 2010

Sabtu, 20 November 2010

Ipit, Sri Mulungsih, dan Otak Mubazir di Perpustakaan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Tak hanya mBah Maridjan.
Candi Borobudur ikut pula kena getahnya.
Menjadi korban amukan Gunung Merapi.

Koran-koran mewartakan upaya pembersihan lapisan abu volkanik yang menyelimuti candi megah di Magelang itu. Abu asal Merapi diketahui memiliki kandungan belerang yang bila dibiarkan akan mampu merusak batu patung dan ukiran di candi terkenal tersebut.

Dalam pemberitaaan itu disertakan pula foto patung yang masih utuh, dengan kepala berisi ukiran rambut yang khas.

Pada hari Kamis 25 Juni 1981, sosok patung semacam itu menjadi bahan obrolan mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI Angkatan 1980.

Ketika itu kami sedang melakoni karya wisata dengan menjelajahi perpustakaan-perpustakaan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.Rekreasinya, mengunjungi candi sohor tersebut.

Merujuk salah satu patung yang torsonya lengkap tetapi kepalanya sudah tidak ada di tempat, Gemuru Ritonga, teman kami, nyeletuk yang bikin kita terbahak. Mahasiswa yang suka guyon dan kami terkadang aktif mengerjakan proyek "microfiche" bersama untuk mata-mata kuliah sulit di luar mata kuliah jurusan itu :-(, tinggalnya di daerah Kayuputih, Rawamangun.

Ia bermotor Honda dengan plat merah dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN). Menunjuk kepala patung yang hilang itu Gemuru Ritonga mengatakan : "Sedang dibawa ke salon."

Canda yang terasa masih elegan.

Pasalnya, ada juga canda yang radikal saat itu. Dilakukan teman mahasiswa lain, yang juga berkuliah dengan naik motor berplat merah. Ia memperlakukan khasanah candi dengan canda yang tidak terduga-duga.

Lokasinya di stupa Kuntobimo.

Ketika merasa tangannya tidak mampu menyentuh sosok patung yang terlindung dalam stupa, ia berganti strategi. Kali ini dengan memasukkan kakinya.

Ia berhasil.

Entah cita-cita besar apa yang ingin ia raih dengan upaya nakal itu. Tetapi 29 tahun kemudian pada kartu namanya tercantum berderet gelar akademis yang menghias dan menjepit, dari depan dan dari belakang namanya.

Kalau saja saya tahu khasiat magis Kuntobimo sehebat seperti itu, saya pasti akan ikut-ikutan bergaya melakukan "tendangan kung-fu" terukur lewat lubang, guna menyentuh sosok patung yang selalu menjadi buah bibir para wisatawan itu.


Dua pasang matabola. Tanggal 27 Juni 1981 pagi, rombongan wisatawan mahasiswa itu tiba kembali di kampus Rawamangun.

Tetapi dua hari kemudian, the three musketeers yang terdiri A.C. Sungkana Hadi, Hartadi Wibowo dan saya, harus kembali melakukan "serangan oemoem" ke Yogya lagi.

Berangkatnya dari terminal bis Pulogadung, sore hari. Bahkan sempat diantar, aku tulis di buku harian sebagai dengan "hangat," oleh Arlima "Ipit" Mulyono dan Sri Mulungsih yang berulang tahun 22 November (foto, Juni 1981).

Tidak ada kencan sebelumnya ("jaman itu belum ada HP"), tiba-tiba di terminal yang sama kami kepergok dengan Bakhuri Jamaluddin.

Kami berempat ini dapat dikatakan ramai-ramai sedang pulang kampung. Rombongan yang menuju Yogya memiliki cerita pribadi dan kaitan emosional masing-masing dengan kota pelajar tersebut.

A.C. Sungkana Hadi adalah priyayi Yoja kelahiran Gunung Kidul. Berkuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Kini kepala perpustakaan Universitas Cenderawasih di Jayapura. Hartadi Wibowo yang asal Cilacap, lama berkuliah di Yogyakarta. Kini eksekutif di Bank Mandiri, Jakarta. Lebih detilnya, silakan wawancara beliau sendiri.

Saya sendiri, sejak SD klas 3 (1964), ayah saya Kastanto Hendrowiharso, bekerja di Yogya. Sampai tahun 1976. Walau keluarganya masih di Wonogiri. Saat liburan, saya selalu "pulang" ke Yogya pula. Bahkan pada tahun 1970-1972 saya bersekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta, di Jetis.

Sementara itu Bakhuri Jamaluddin juga pulang kampung. Menuju kotanya Roy Marten, di mana ada desa bernama Suruh, yang merupakan tempat kelahirannya. Salatiga.

Kami berempat meninggalkan Jakarta memiliki tujuan sama : melakukan praktek kerja perpustakaan. A.C. Sungkana Hadi dan saya di IKIP Yogyakarta (kini UNY). Hartadi Wibowo di Perpustakaan Umum Yogyakarta. Sementara Bakhuri Jamaluddin di Universtas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Mengenal pribadi. Di Perpustakaan IKIP Yogyakarta kami dapat bimbingan dari Ibu Suatminah, kepala perpustakaan. Ibu Suatminah belajar kursus ilmu perpustakaan satu angkatan dengan Ibu Soenarti Soebadio di tahun 1950-an. Pembimbing lainnya, Pak Sri Marnodi, alumnus JIP-FSUI.

Dalam berinteraksi dengan mereka, bahkan saya sempat pula nunut mobil Honda Civic-nya Bu Suatminah, ketika pulang dan diturunkan di sekitar komplek UGM di Bulaksumur. Saya tinggal di kos adik saya,Mayor Haristanto, di Babarsari.Di dekat komplek kampus UGM pula. Ia lagi libur kuliahnya di Fisipol UGM dan tempat kosnya saya pakai sebagai markas.

Ketika saling kontak via surat dengan Bakhuri, ia mengatakan jadi minder membaca nama "Mayor" itu. Bahkan ia sempat menguatirkan tas ransel militernya ketika hendak main ke Yogya. Padahal "mayor" itu bukan nama pangkat, tetapi nama paraban belaka yang terpakai sampai saat ini.

Bakhuri datang Sabtu, 11 Juli 1981. Kembali ke Salatiga, esok harinya. Saat itu saya juga menerima surat dari Arlima Mulyono, Jakarta. Kabar darinya membikin cemas. Saya tulis di buku harian : "siap-siap wae akan dimarahi bu Narti : bab Perancis."

Sekadar kilas balik : Arlima, Sri Mulungsih, Zulherman dan saya, mengikuti kuliah bahasa sumber 1 dan 2, Bahasa Perancis. Tetapi, kecuali Sri Mulungsih, ketika menjalani separo semester kedua kami bertiga berkomplot. Untuk mogok, mangkir, desersi di tengah jalan. Tanpa melapor ke Ibu Narti, sekretaris jurusan. Itulah sumber kecemasan saya gara-gara surat Ipit tadi.

Tanggal 7 Juli 1981. Saya sempat jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Di. Jl. Jenderal Sudirman. Pada tahun 1970, tempat ini adalah tempat prakteknya dokter gigi Sudomo. Di tempat ini gigi saya dicabut.

Mungkin ini "hukuman," gara-gara saya tergiur membeli undian dengan hadiah sepeda Phoenix, walau dengan tujuan agar bisa bersekolah dari Kotabaru menuju Jetis lebih menyenangkan ketimbang jalan kaki semata.

Mengejutkan, di toko buku itu saya ketemu Nusantoro. Ia saya kenal saat bersekolah di SMA St. Yosef, Solo, sebagai aktivis drama. Kami berinteraksi di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT), Sasonomulyo, Baluwarti. Sebagai aktivis kesenian saya menjadi "kepala sekolah" Workshop Melukis Anak-anak Gallery Mandungan, Muka Kraton Surakarta.

Nusantoro yang bekerja di toko buku Gramedia itu segera membantu saya. Ketika saya memutuskan membeli buku karya Robert O'Brien dan Joanne Soderman (ed.), The Basic Guide to Research Sources (1975), saya memperoleh potongan harga. Terima kasih, Nunus.

Buku ini cocok sebagai bahan mata kuliah Bahan Referensi Umum (BRU) yang diampu Ibu Soenarti Soebadio dan mBak Siti "Ining" Sumarningsih. Sebagai penulis dan blogger, inti ajaran dari mata kuliah satu ini terus saja saya praktekkan hingga saat ini.

Tanggal 14 Juli 1981, ketika Perancis merayakan hari kemerdekaan, saya mendapat surat dari Zulherman, Jakarta. Isinya : tawaran ikatan dinas dari Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional (PDIN, kini PDII-LIPI) telah menanti. "P-4 juga menanti," begitu saya tulis di buku harian.

Zulherman dan saya sebelumnya memang pernah menghadap Ibu Mimi D. Aman dari PDIN. Kami mencari informasi mengenai peluang ikatan dinas di lembaganya. Naik bis Mayasari 300 dari Rawamangun sampai Gatot Subroto, dibayari Zul dengan karcisnya. Zul kemudian, ketika lulus, mengambil peluang tersebut. Sedang saya saat itu, ketika mendengar ada kata "P-4," malah memunculkan rasa ragu untuk melaju.

Dalam faham saya, ikut P-4 yang wajib bagi pegawai negeri yang baru terekrut tidak lain mengikuti program sterilisasi. Upaya indoktrinasi yang membuat para pegawai negeri menjadi patuh pada rezim Orde Baru yang sangat kuat cakarnya saat itu.


Konser di kamar. Selama praktek kerja di IKIP Yogyakarta itu, yang saya sukai adalah ketika bertugas di bagian sirkulasi.

Walau pun demikian, ketika mengerjakan katalogisasi dan klasifikasi,juga bisa kami buat menarik.

Saat itu saya dan Pak Sungkana (foto : paling kiri bersama Yan Husardi di ruang pengolahan pustaka, Perpustakaan IKIP Yogyakarta, 25 Juni 1981) segera mengunci kamar kerja kita ketika mulai bekerja.

Untuk menghalau rasa bosan, kami ngerumpi tentang banyak hal. Termasuk tentang gaya pria gagah yang reporter berita TVRI asal Manado, yang saat itu tampil begitu "barat dan keren." Namanya Willy Karamoy. Kami pun segera menirukannya. Juga menirukan suasana upacara kenegaraan 17 Agustus seperti dilaporkan di televisi. Termasuk nyanyi-nyanyinya.

Aksi kita ini pernah dikomentari oleh Ibu Suatminah sebagai "menunjukkan perasaan bahagia kami berdua ketika bekerja di perpustakaan."

Saat itu saya ketularan salah satu kebiasaan dari Pak Sungkono yang membekas.Sayangnya, bukan ketularan kecerdasan beliau dalam menyerap mata kuliah. Tetapi tentang aksi meraih sehat dengan ulah menendang-nendang udara.

Aksi itu dia peragakan bila kita sama-sama turun tangga. Sambil turun, kaki kiri dan kaki kanan bergantian menendang udara. "Untuk melancarkan aliran darah kembali di kaki-kaki kita," nasehatnya. Setelah lama hanya duduk-duduk saja, rasanya nasehat beliau itu benar adanya.

Bersibuk-ria di bagian layanan itu menyenangkan karena, bagi saya, bisa ketemu banyak orang. Macam-macam orang. Bisa melihat mahasiswi-mahasiswi cantik. Saya senang melihat Ida Prastini, dari bahasa Inggris.

Pada tanggal 11 Agustus 1981 ia nampak chic dengan dres warna kuning dengan syal merah. Kami bisa sedikit mengobrolkan isi buku dramanya Arthur Miller, Death of Salesman (1951), buku yang saat itu hendak ia pinjam.

Tetapi sayang, saya tidak sempat menemui Siti Rubiyati Latifa asal Ponorogo. Mahasiswi Ekonomi Perusahaan Angkatan 1978 itu di foto nampak cantik sekali.

Tanggal 10 Agustus 1981. Senin. Di rumah familinya Pak Sungkana Hadi, di barat THR, malam itu kami mengobrolkan isi surat yang dikirimkan Sri Mulungsih. Saya tulis di buku harian bahwa, "surat Sri dramatis."

Ceritanya tentang empat teman dekat kami yang terpaksa harus drop out. Malam itu Teddy juga ikut bergabung, akhirnya saya malah tidur di sini. Saya menutup cerita malam itu dengan kalimat : Berhimpunnya 3 Sekawan Pemalas ! Malas mencicil dalam mengerjakan laporan praktek kerja di Yogya tersebut.

Pustakawan tidak mendengarkan. Praktek kerja lapangan (PKL) bagi mahasiswa ilmu perpustakaan telah kami lakoni. Materinya benar-benar klop.

Tetapi saya sering memergoki, ketika sesuatu perpustakaan menjadi tempat PKL untuk pelajar dan bukan mahasiswa ilmu perpustakaan. Anehnya,mereka cenderung memperoleh perlakuan yang sama dengan kami.

Mereka itu nampak selalu dicekoki dengan pemahaman dasar dan bahkan "dipaksa" melakukan praktek-praktek kerja pengelolaan perpustakaan.Tak ada yang salah fatal. Tetapi, hemat saya, kurang pada tempatnya.

Beberapa tahun lalu saya telah menulis surat pembaca di harian Kompas Jawa Tengah untuk mendiskusikan pendekatan miopia kalangan pustakawan selama ini. Dimuat : Selasa, 17 Juli 2007.


Otak Mubazir di Perpustakaan

Musim liburan banyak digunakan para pelajar untuk melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL). Kegiatan yang positif dan bermanfaat. Salah satu tempat mereka melaksanakan PKL adalah perpustakaan.

Ketika mengamati dan menyimaki pelaksanaan PKL selama ini, boleh saya katakan para pelajar itu lebih banyak menganggurkan otak mereka. Karena jenis pekerjaan yang diberikan kepada mereka kebanyakan seputar pekerjaan rutin administratif, yang bahkan lulusan pendidikan yang lebih rendah pun mampu melaksanakannya.

Saya usulkan, para pelajar tersebut juga diajar untuk memanfaatkan secara maksimal khasanah pengetahuan yang dimiliki perpustakaan. Misalnya, mereka didorong memilih buku-buku nonfiksi/ilmu pengetahuan yang menjadi minatnya, kemudian diminta menuliskan pendapatnya. Karya tersebut kemudian dipajang di papan informasi atau dipresentasikan bersama teman lain, guru, juga pustakawan setempat.

Mereka juga bisa diajak berdiskusi mengenai problem aktual seputar minat baca/menulis dan pengelolaan perpustakaan di kotanya. Juga tidak kalah penting, mereka didorong untuk memiliki rasa percaya diri untuk menulis, mengemukakan pendapat, termasuk menulis surat pembaca.

Saya percaya, tantangan mengasah intelektualitas itu akan menjadi pengalaman yang menarik. Karena otak mereka tidak dibiarkan mubazir, sekaligus mereka mendapatkan pengalaman nyata betapa gagasan atau aspirasi mereka dihargai.

Bagi perpustakaan, suara anak-anak muda sebagai konsumennya itu patut didengarkan dan diapresiasi !


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612


Wonogiri, 21 November 2010

Minggu, 07 November 2010

Like waking up, like coming home

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Supir truk,Walter Raleigh dan Steve Jobs.
Memiliki bahasa dan aksi yang berbeda tentang cinta sejati.

Walter Raleigh (1552-1618), penjelajah dan kerabat Istana Inggris, mengatakan bahwa "true love is a durable fire, in the mind ever burning, never sick, never old, never dead". Cinta sejati adalah api abadi, selalu membara di hati, tanpa pernah sakit, uzur, atau pun mati.

Supir truk memasang slogan di bak truknya :
"Aku tunggu jandamu."

Steve Jobs, pendiri perusahaan Apple Corporation., dengan aksi.

"Apple adalah kekasih tercinta Jobs ketika kuliah dan kini mereka bertemu kembali dalam pesta reuni setelah 20 tahun berpisah. Steve Jobs kini telah menikah, mempunyai anak dan hidupnya bahagia.

Ketika bertemu kembali dengan kekasihnya itu, ia lihat gadisnya telah kecanduan berat alkohol, dikelilingi konco-konco yang begundal dan preman serta menghancurkan hidupnya sendiri. Walau pun demikian, nurani Jobs menilai mantan kekasihnya itu adalah seorang gadis cantik yang pernah membuainya dengan kalimat bahwa dialah satu-satunya cintanya di dunia.

Lalu apa yang Jobs kerjakan ? Tentu saja ia tak ingin menikahinya. Tetapi dirinya tidak bisa lepas tangan begitu saja karena ia masih menyayanginya. Maka ia ajak kekasihnya itu ke panti rehabilitasi korban alkohol, membantunya untuk bergaul dengan teman-teman baru yang yang lebih baik, dan mengharap yang terbaik bagi masa depannya."

Demikianlah pelukisan dengan kias yang romantis dari Larry Ellison, CEO Oracle dan sahabat karib Jobs, mengenai hubungan emosional antara Jobs dengan Apple. Cerita itu terdapat dalam artikel "Geger Kisah Cinta Ulang Apple dan Jobs" yang dimuat di harian Media Indonesia, 11 September 1997 : 12.

Dari struk kwitansi honorarium tulisan yang ditandatangani redaktur bidang Wicaksono ("di dunia blogger Indonesia kini ia lebih dikenal sebagai nDoro Kakung), saya memperoleh honor Rp. 166.700,00. Dipotong pajak 10 persen, Rp. 16.700,00. Honor bersih : Rp. 150.000,00.

Setelah sempat ditendang selama 12 tahun dari kursi direksi Apple, kisah cinta ulang Steve Paul Jobs dan Apple yang diteguhkan kembali di pentas MacWorld di Boston 6 Agustus 1997, akhir ceritanya ibarat dalam dongeng semata.

Apple yang didirikan oleh putra mahasiswa asal Syria yang kemudian menjadi ilmuwan politik, Abdulfattah Jandali dan Joanne Carole Schieble, tetapi diadopsi dan diasuh keluarga Paul dan Clara Jobs di Mountain View, California, kini tersohor menghasilkan produk-produk yang inovatif. Dunia pun kemudian mengenal iTunes, iPods, iPhones, MacBook Air dan lain sebagainya.

Menurut koran Inggris, The Guardian, di bawah komando Jobs yang masa mudanya pernah memadu cinta dengan penyanyi ballada Joan Baez itu, pada tahun 2000 Apple bernilai 5 milyar dollar dan kini senilai 170 milyar dollar.

Cinta belum mati. Kita semua menyukai dongeng semacam itu. Kita mencandui kisah-kisah tentang insan yang kehilangan peluang untuk bersama pada kesempatan pertama, tetapi kemudian mereka mampu meraihnya kembali pada kesempatan yang kedua.

"Sebagai generasi Baby Boomers yang menghadapi fase terakhir dari hidup kita, banyak di antara kita yang bertahun-tahun berkelana, berpindah-pindah tempat untuk meningkatkan pendidikan atau peluang profesional kita, tiba-tiba kini mendambakan familiarity, sesuatu yang telah lama kita kenali dan akrabi.

Yaitu seseorang yang dapat berbagi tawa untuk lelucon yang sama, yang memahami hal-hal ganjil di antara kita, yang membuat kita tetap saja merasa muda dan cantik. Beberapa di antara mereka menyalakan kembali hubungan lamanya, kadang menghidupkan lagi api asmara, mulai mengingat siapa diri kita di masa lalu, dan terkadang melihat kesempatan untuk bisa mengunjungi rumah itu kembali.

Di antaranya memiliki keberanian untuk memulai hidup baru, sebagian lainnya menghindar. Ada yang menikmati masa-masa indah, sedang lainnya macet di tengah jalan."

Itulah warna-warni kehidupan.

Terima kasih saya kepada Ilene Serlin, psikolog klinis, pendiri dan direktur Union Street Health Associates and the Arts Medicine Program di California Pacific Medical Center. Dalam artikel di blognya berjudul " Reunion: Couples Talk About Second Chances with Their First Loves", yang saya kutip bagian awalnya di atas itu, kita dapat hanyut untuk merasakan bahwa tidak muskil betapa api lama, cinta pertama, the eternal flame itu, masih mampu berkobaran untuk membawa kehangatan dan kebahagiaan bagi pelakunya.

Ada cerita tentang Teri Rosen, penulis. Tinggal di New York. Ketika hendak mengikuti acara reuni 40 tahun sekolah menengahnya, Oktober 2006, putri remajanya wanti-wanti : "Kau di sana akan bertemu dengan pria impianmu, Ma." Ia memang bertemu dengan Ken, cinta pertamanya. Ken kini pemain poker profesional. Tinggal di California. Keduanya berstatus cerai. Pertemuan itu disusul dengan saling bertukar email, lalu ribuan obrolan melalui telepon.

February 2007, ketemuan di Las Vegas. "Dalam penerbangan, saya telah berusaha menguliahi diri sendiri secara tegas tentang resiko bertindak impulsif, tetapi semua itu terlupakan ketika memandangi dirinya. Ketika pulang saya dihujani nasehat oleh teman-teman akrab saya, yang memperlakukan saya ibarat remaja yang tidak terkontrol tingkah lakunya."

Mei 2007 : Keduanya pindah ke Las Vegas. Tulis Teri, "Ken dan saya membeli rumah bersama dan memulai kehidupan yang selama ini selalu kami bayangkan."

Sekarang : "Kami begitu berbahagia karena telah mampu menggusur ke masa lalu kerinduan-kerinduan yang saya gurat dalam puisi. Berbahagia karena kita tidak lagi menjadikan geografi, rasa takut, sinisme, atau apa pun jua menjadi penghalang bagi jalan kami berdua. Itu berarti bahwa dunia bagi kami tidaklah terlalu terlambat, betapa kita masih memiliki kesempatan untuk memadukan sejarah secara bersama-sama."

Selamat untuk Ken.
Selamat juga untuk Teri.

Seperti pulang kembali. Saya bukan Steve Jobs. Perpustakaan Indonesia saat ini juga bukan identik dengan kondisi perusahaan Apple yang dalam kondisi parah seperti saat itu. Umpama pun benar, jelas saya bukan solusi untuk keparahan itu pula.

Saya juga bukan Ken atau Teri.

Tetapi peristiwa reuni dengan masa lalu, seperti halnya mereka, walau hanya melalui media-media maya, rupanya diam-diam memiliki dampak yang kurang lebih serupa.

Sebagai seseorang yang pernah berkuliah ilmu perpustakaan, tetapi kemudian jalan hidup membuat semua khasanah pengetahuan itu terbengkalai, tersingkir dan terabaikan hampir selama seperempat abad, tiba-tiba muncul dorongan untuk kembali. Blog ini kemudian lahir karena dorongan yang sama, untuk kembali.

Ada rentetan keajaiban kecil-kecil yang saya rasakan ketika bisa menuliskan kembali nama-nama teman kuliah saya di blog ini. Termasuk ketika merasa ada yang kurang, sepertinya salah, lalu bisa menemukan nama yang benar. Juga saat menuliskan nama-nama dosen. Termasuk ketika menuliskan cerita interaksi saya dengan mereka di masa lalu. Rasanya seperti menelusuri lorong-lorong gua dan menemukan kembali butir-butir mutiara kenangan, betapa masa itu dengan perspektif masa kini menjadi nampak menjadi berkilauan.

Saya merasa berharga bisa menuliskan itu semua.

Suatu kebetulan, reuni lain yang juga bermakna, saya alami pula di dunia maya. Kalau sedang jatuh cinta, seperti guyonan Warkop, dengan memandangi genting rumah sang kekasih saja sudah mampu menerbitkan kebahagiaan, bagaimana kalau sudah puluhan tahun tak ada kabar, kemudian di Facebook kita bisa menemukan akun dirinya ?

Walter Raleigh memang benar adanya. John Denver dalam lirik lagunya "Perhaps Love" juga memiliki cerita yang memancarkan pesona :

Perhaps love is like the ocean
Full of conflict, full of change
Like a fire when it's cold outside
Or thunder when it rains

If I should live forever
And all my dreams come true
My memories of love will be of you.

Tetapi saya tidak akan meniru ekspresi jujur sang supir truk itu. Misalnya segera mengirimkan message kepadanya dengan ucapan : "Aku tunggu jandamu." Tetapi biarlah kosmis mendengar dan menyampaikan kabar indah, sekaligus menggelisahkan itu. Untuk dia, saya akan mengutip baris akhir dari puisi Teri Rosen untuk Ken ketika memperingati satu tahun reuni mereka :

I-love-you, he says, is just the beginning.
This feels, she says, like a reunion.
Like waking up.
Like coming home.


Wonogiri, 7 November 2010

Jumat, 05 November 2010

Library 2.0, Pustakawan dan Miopia Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Miopia. Rabun dekat.
Ketidakmampuan memusatkan pandangan pada obyek yang jauh.
Banyak di antara kita yang menderita karenanya.

Di perempatan Gladag Solo, 12 Juli 2008, demo aksi diam yang mengangkat istilah miopia itu telah kami lakukan. Hari itu adalah tepat 8 tahun pencetusan Hari Suporter Nasional.

Kami, sebagian pentolan kelompok suporter sepakbola Pasoepati Solo, melakukan demo (foto di bawah) sebagai perwujudan otokritik terhadap diri kami sendiri : komunitas suporter sepakbola Indonesia.

"Suporter Indonesia = Useful Idiots !"
"Suporter Indonesia, suporter myopia !"

Karena kami selama ini memang menderita miopia, cadok, rabun jauh. Kami hanya mampu melihat hal-hal yang dekat, misalnya bersemangat mengobarkan fanatisme sempit terhadap klub berdasarkan primodialisme yang berlebihan, bahkan rela dibela dengan nyawa. Dengan bekal yang sama kami siap berkonflik, bertarung secara fisik melawan suporter kota lain.

Tidak pula merasa bersalah ketika konflik itu membuat kerusuhan, keonaran dan ketidaktertiban. Lalu merasa dengan kecadokan semacam itu kami sudah merasa cukup. Merasa sehat. Merasa dunia sepakbola Indonesia sudah beres-beres saja adanya.

Kami tidak menyadari terancam hanya menjadi useful idiot, orang-orang yang bagai kerbau dicocok hidung, karena tidak berani memiliki fikiran atau pendirian yang mandiri. Termasuk tidak menyadari bahwa konflik-konflik antarsuporter itu mungkin sengaja "dipelihara," seperti halnya pelbagai konflik di tanah air, sehingga dapat memberikan keuntungan kepada sekelompok aktor intelektual tertentu.

Misalnya, konflik antarsuporter itu dapat dibisniskan dalam bentuk ajang pertemuan antarsuporter, membuat deklarasi ini dan itu, dan ketika waktu berjalan semua hal itu mudah terlupakan. Ingat, bangsa kita adalah bangsa yang pelupa. Lalu ketika muncul konflik antarsuporter lagi, terlebih lagi dengan munculnya korban jiwa, maka siklus bisnis itu berjalan kembali. Kecadokan kronis kami telah dipelihara untuk meraih keuntungan bagi sebagian orang, dengan kami yang bebal ini sebagai tumbalnya.

Ritus dari siklus-siklus semacam sudah juga membuat kami kebal, sehingga mungkin sudah kami tidurkan apa itu yang namanya hati nurani. Akibatnya kemudian, kami menjadi tidak hirau dengan apa yang terjadi di Senayan, tempat Nurdin Halid dan kroninya bercokol di kantor PSSI selama ini. Tidak hirau pula terhadap prestasi tim nasional yang terseyok-seyok, bahkan pernah bonyok oleh tim Laos, dan kini statusnya tidak lagi terhormat di tingkat Asia Tenggara sekali pun.

bambang haryanto,suporter sepakbola,pencetus hari suporter nasional 12 juli (2000),rekor muri

Presiden yang miopia. Syukurlah, kecadokan tidak hanya monopoli komunitas suporter belaka. Ia juga menulari calon presiden dan presiden. Menjelang kampanye presiden di tahun 2004, saya telah menulis artikel berjudul "Internet Sebagai Senjata Kampanye Presiden," yang dimuat di Harian Kompas, Senin, 8 Maret 2004.

Saat itu saya membandingkan eksekusi situs kampanyenya kandidat Partai Demokrat AS, John Kerry, dengan situs salah satu calon presiden kita, Amien Rais yang dikelola oleh think tank-nya, The Amien Rais Center (ARC). Hemat saya, situs ini tidak ubahnya baru mengalihkan media cetak ke dalam bentuk digital. Pemahaman terhadap Internet yang mendasari eksekusinya ini baru mengolah isi (content), tetapi belum mengeksplorasi pentingnya konteks (context) media berbasis Internet.

Pengelola situs ARC nampak berasumsi bahwa peselancar datang ke situsnya semata-mata untuk membaca-baca berita terbaru mengenai diri Amien Rais. Eksekusi situs web hanya sebagai koran digital itu mengakibatkan peluang simpatisan untuk ikut menjadi bagian integral isi situs secara signifikan, serius terkendala.

Paling-paling hanya boleh memberi komentar untuk sesuatu berita, atau ikut jajak pendapat, yang tidak ubahnya seperti pembaca menulis di kolom surat pembaca di media cetak. Tidak ada pula tautan untuk beragam situs tak resmi PAN atau Amien Rais, tak ada pula blog para pendukungnya.

Bandingkan dengan situs John Kerry. "Selamat datang di situs saya, tetapi ini bukan milik saya pribadi. Ini juga situs milik Anda, yang membukakan peluang untuk melakukan perubahan bagi tanah air kita demi menjadikan Amerika kembali pada jalurnya, dengan memensiunkan George W. Bush, serta memilih arah benar untuk negara yang sama-sama kita cintai ini !" Itulah salam John F. Kerry, senator Partai Demokrat dari Massachusetts, yang kandidat presiden di Pemilu 2004, dalam situs web resminya [www.johnkerry.com].

Sungguh kampanye politik yang hebat, sekaligus menunjukkan pemahaman terhadap Internet yang juga tepat. Situs web John Kerry oleh pengamat strategi kampanye memakai Internet didaulat sebagai nomor dua di belakang situs web kandidat lainnya, Howard Dean. Ucapan bahwa situsnya bukan hanya miliknya semata, ditunjukkkan dengan tersajinya tautan untuk situs web tak resminya, fasilitas chat dan puluhan blog milik para pendukungnya di Internet.

Riuhnya para blogger mengisi situs Kerry itu memicu interaksi unik dan kreatif ketika dukungannya tidak hanya sekedar kata-kata di dunia maya. Dua orang blogger setianya, Tom AZ (Arizona) dan Mark (Iowa) memutuskan berlomba saat mendukung tim baseball favoritnya dan sekaligus mendukung gerakan pengumpulan dana "Satu Juta Dollar Melalui Internet Bagi John Kerry" yang ditutup akhir September 2003.

Caranya : ketika tim baseball Arizona State Sun Devils dukungan Tom AZ bertanding melawan tim Hawkeyes dari Iowa yang didukung Mark, keduanya sepakat mendonasikan dua dollar untuk setiap angka yang dihasilkan tim yang didukungnya dalam pertandingan tersebut untuk John Kerry.

Ilustrasi tadi menunjukkan John Kerry membuka peluang dan akses agar konstituennya saling berinteraksi dalam mendukung kampanyenya di Internet. Tim sukses Kerry menyadari bahwa kampanye bermedia Internet jauh lebih efektif apabila tidak dijalankan secara monolitis, terpusat, top-down, melainkan justru digerakkan menurut norma Internet sebagai media yang egaliter, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Di sinilah kedigdayaan Internet menyelipkan pesan politik yang luhur, bahwa keberhasilan kandidat dalam memanfaatkannya untuk kampanye justru harus memberi peluang dan mendorong konstituennya buka suara, sementara para kandidat itu pun harus pula membuka lebar-lebar telinganya guna menyerap aspirasi dan suara rakyatnya.

Bagaimana di Indonesia ? Silakan periksa saja situs [http://www.presidensby.info], situs resmi presiden SBY kita Tidak ada fasilitas bagi peselancar untuk menulis sesuatu komentar atau umpan balik di sana. Dengan merujuk panduan Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun dalam Rules of The Net (1996) bahwa "If a website has no feedback mechanism, forget it," maka sebaiknya keberadaan situs Pak Beye yang tidak interaktif itu, mau tak mau, kita lupakan saja ?

"The power of the masses.
A new figure emerges : the prosumer, a producer and consumer of information.
Anyone can be a prosumer."

Miopia dan pustakawan kita. Itulah sepotong narasi dari video berjudul "Prometeus - The Media Revolution" yang diputar pada helat pertemuan aktivis media akar rumput di Jagongan Media Rakyat (JMR) 2010 di Jogja National Museum Yogyakarta, 24 Juli 2010.

Penampilnya adalah rekan yang saya kenal melalui Internet, pegiat budaya Internet Sehat, Donny Budi Utoyo, dari ICT Watch Jakarta. Mungkin saya satu-satunya penonton yang memiliki DNA ilmu perpustakaan yang hadir untuk menyerap pengetahuan dari Mas Donny ini.

Sementara di ruang yang lain, pada saat yang sama, berkumpul para pustakawan dari Yogyakarta dan sekitarnya sedang asyik mengikuti presentasi tentang Senayan Library Management Systems (SLiMS) yang dilakukan langsung oleh Hendro Wicaksono, head developer SLiMS yang juga alumnus Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Angkatan 1992.

Kalau saja waktu bisa diputar balik, betapa makin menariknya bila komunitas pustakawan dan pegiat SLiMS di Yogya saat itu dapat pula menyerap wawasan dari sajian video di atas. Dan juga video lainnya dari YouTube yang berkisah mengenai "Social Media Revolution" yang sedang menggelegak. Aksentuasinya terasa semakin menegas melalui hentakan lagu hip-hop Fat Boy Slim sebagai ilustrasinya : "Right here, right now ; right here, right now ; right here, right now !".

Revolusi media sosial memang telah terjadi sekarang ini. Juga sebenarnya deras melanda dunia perpustakaan. Itulah badai yang disebut Library 2.0, di mana gelombang besar baru kaum prosumer sedang menanti di depan pintu-pintu perpustakaan. Untuk menjadi semakin terbuka lebar bagi aspirasi mereka.

Adalah John Blyberg dalam artikelnya 11 Reasons Why Library 2.0 Exists and Matters antara lain mengutip pendapat Michael Stephens.

Katanya,"Library 2.0 sederhananya merupakan upaya membuat perpustakaan, baik fisik atau maya, lebih interaktif, kolaboratif dan digerakkan oleh kebutuhan komunitas yang mendukungnya. Contohnya dengan memasukkan fasilitas blog, arena bermain di malam hari bagi remaja, sampai situs kolaborasi untuk pemajangan foto-foto mereka.

Daya dorong utamanya adalah membuat pembaca bisa mengunjungi perpustakaan kembali dengan membuat perpustakaan relevan bagi kebutuhan dan keinginan mereka dalam kehidupannya sehari-hari…membuat perpustakaan sebagai tujuan dan bukan sebagai hal yang difikirkan belakangan."

Artikel John Blyberg itu saya baca melalui akses Internet di Perpustakaan Umum Wonogiri, hari Jumat pagi (5/11). Sebelum nongkrong pada salah satu dari 6 komputer yang ada, saya menemui Pak Budi Prasetyo. Beliau kemudian bercerita tentang dua putranya yang menjadi relawan di Mentawai dan Merapi. Sosok lain yang saya temui adalah Muhammad Julianto.

Yang pertama adalah pensiunan guru SMP dan yang kedua adalah pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Solo. Saya salami rada hangat karena artikelnya mengenai perombakan budaya birokrasi di Wonogiri seiring terpilihnya bupati baru dimuat di harian Solopos beberapa hari yang lalu.

Kami bertiga ini, selain pengunjung tetap, kami secara tidak resmi atau bahkan resmi merupakan anggota "dewan perpustakaan" dari perpustakaan umum ini. Tidak resmi karena tidak ada SK-nya. Tetapi juga resmi karena secara "tiban" pernah menandatangani surat-surat resmi mereka.

Karena ketika perpustakaan ini beberapa bulan lalu mendapatkan anggaran secara "tiba-tiba" dari Provinsi Jawa Tengah untuk menambah koleksi, 78 juta rupiah (kalau tak salah ingat), kami bertiga diminta untuk ikut tanda tangan dalam berkas-berkas proposalnya. Dengan senang hati, kami membubuhkan tanda tangan. Entah apa kemudian kelanjutannya.

Merujuk momen spesial itu, mungkinkah aksi kami bertiga ini sudah menjadi bagian dari pelaksanaan mazhab Library 2.0 di Wonogiri ini ? Boleh jadi. Karena sebagai orang luar kami telah ikut sedikit dalam menentukan kebijakan pengembangan perpustakaan. Tetapi kalau hanya melibatkan kami bertiga, betapa elitis diri kami, sekaligus betapa masih kurang kolaboratifnya perpustakaan bersangkutan untuk bisa melayani khalayak yang lebih banyak.

Bagaimana isu Library 2.0 menderu di kota lain ? Siang harinya saya mencoba mencari tahu. Saya mengirimkan SMS ke Ahmad Subhan di Yogyakarta :

"Gimana Merapi ? Wah, acrku jd nr sumber di Ykt, 6-7/11 ditunda. Btw, di komunitas SLiMS apa prnah ada isu2 obrolan ttg katalogisasi sosial ? Jg Library 2.0 ? Salam." (Jumat, 5 November 2010 : 13.22.34).

"Merapi bikin repot lg pak :D. Kayaknya komunitas SLiMS blom pernah mengadakan diskusi dua topik itu." (Jumat, 5 November 2010 : 14.55.58).

Terima kasih, Subhan.

Apakah jawaban dari Subhan ini dapat didaulat sebagai cerminan bahwa komunitas pustakawan kita, yang melek teknologi informasi pun, masih mengidap miopia terhadap sosok Library 2.0 yang mengetuk-etuk pintu kita ?

Sebagai pencinta sepakbola sekaligus pencetus hari Suporter Nasional 12 Juli (2000) saya telah berdemo, menggugat kaum saya sendiri, di perempatan Gladag Solo dua tahun yang lalu. Kini, sebagai seseorang yang masih memiliki rasa cinta terhadap ilmu perpustakaan dan kepustakawanan, ijinkanlah saya kembali berdemo untuk kawan-kawan, kaum saya sendiri.

Saya akan mengacung-acungkan banner dengan tulisan berisi pertanyaan :

"Pustakawan Indonesia,
pustakawan miopia ?"


Wonogiri, 6 November 2010

Rabu, 03 November 2010

Sup Keong Racun Untuk Pustakawan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com



"Pratiwi, istri saya ?"
"Ya !"

Hotel Borobudur International, Jakarta.
Tanggal : 24 November 2004.

Di tempat inilah potongan dialog di atas itu terjadi. Antara Prof. Sarlito Wirawan Sarwono dan saya. Saat itu para finalis Mandom Resolution Award (MRA) 2004 bersama para juri, sedang menikmati rehat makan siang.

Prof. Sarlito adalah ketua juri, didampingi wartawan senior Maria Hartiningsih dari harian Kompas dan psikolog dan penyanyi, Tika Bisono. Saya yang bakal menghadapi ketiga juri itu pada keesokan harinya, saat itu sedang mencari-cari akal untuk memecah es dalam berinteraksi dengan mereka.

Sebagai orang yang beruntung mengenyam pendidikan ilmu perpustakaan, sebelum berangkat ke Jakarta saya sudah melakukan riset cukup memadai tentang ketiganya. Di saat makan siang itulah saya memutuskan bahwa Mas Ito, panggilan populer Prof. Sarlito, merupakan sasaran pertama yang harus saya serang.

Di depan beliau, mesin waktu saya segera meluncur. Mundur kembali ke tahun 1984. Saat itu A.C. Sungkana Hadi, Hartadi Wibowo dan saya mendapat tugas dari Ibu Lily K. Somadikarta. Tugas menarik. Melakukan wawancara tentang pendapat para kepala perpustakaan di lingkungan Universitas Indonesia mengenai perpustakaan pusat UI yang akan dibangun di kampus baru, di Depok.

"Saya adik kelas mBak Pratiwi, di JIP-FSUI. Pada tahun 1984 saya pernah mewawancarai beliau di kampus Fakultas Psikologi UI di Rawamangun," begitu jurus saya dalam melepaskan tendangan kung-fu ke arah Mas Ito. Benteng itu kiranya runtuh. Saya, nampaknya, di mata beliau kemudian berstatus bukan sebagai orang asing lagi. Tetapi sama-sama sebagai keluarga alumni UI.

Sebagai salah satu dari 20 finalis kontes Mandom Resolution Award 2004, setelah lolos seleksi dari 923 peserta se-Indonesia, di depan para juri itu saya menjual resolusi meluncurkan 100 blog untuk warga komunitas Epistoholik Indonesia. Entah karena resolusi saya ini termasuk baik, atau karena ada dua juri yang sama-sama dari UI, saya akhirnya memperoleh kemenangan. Posisi ketiga dari 10 juara.

bambang haryanto,bambang haryanto,mandomresolution award 2004,mandomresolution award 2004,sarlito wirawan sarwono,sarlito wirawan sarwono,epistoholik indonesia,epistoholik indonesia,blog penulis surat pembaca,blog penulis surat pembaca

Duta-duta Mandom. Sepuluh pemenang Mandom Resolution Award 2004 berpose sesudah menerima penghargaan. Nomor tiga dari kiri adalah Hariyadi (Yogyakarta), Dian Safitri (Jakarta), Bagyo Anggono (Wonogiri), Hisyam Zamroni (Karimunjawa), Slamet Sudarmaji (Yogyakarta), Deny Wibisono (Jombang), Ilham Prayudi (Jakarta), Bambang Haryanto (Wonogiri), Soleman Betawai (Jakarta) dan Tarjum Samad (Subang).Paling kanan Prof. Sarlito Wirawan Sarwono.

Momen yang tak akan terlupakan. Agar silaturahmi dengan Mas Ito tidak langsung putus, pada akhir bulan Januari 2005 tiba-tiba saya merasa harus mengirimkan sesuatu yang unik untuk beliau. Setelah terkirim, saya baru tahu bahwa pada awal Februari adalah hari ulang tahun beliau.

Foto Mas Ito yang sedang bermain seks, maksud saya sax (ophone), saya pajang dalam sebuah vertical banner, spanduk tegak, lumayan besar. Juga tercantum cerita dan foto cucu cantik, kesayangan beliau. Benda itu kini terpasang di kantor beliau, di kampus Fakultas Psikologi UI di Depok.

Bahkan saat Mas Ito bersedia menulis endorsement untuk buku humor saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Imania, 2010), cerita tentang spanduk tegak itu juga muncul. Konon, kini tempat spanduk itu dipasang telah menjadi tourist spot favorit bagi mereka yang "rada-rada norak," begitu keterangan berbau canda Mas Ito dalam email kepada saya, untuk berfoto-foto ria bersama dirinya.

Perempuan hebat. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono adalah salah satu tokoh terpandang di republik ini. Beliau memiliki istri seorang pustakawati. Ibu Lily K. Somadikarta, di Semarang pada tanggal 26 Maret 1984 pernah memberi tahu saya bahwa istri dari kartunis terpandang Indonesia, GM Sudarta, adalah pula seorang pustakawati.

Guru besar emeritus terkenal dari Universitas Airlangga, Prof. Sutandyo Wignyosubroto, istrinya adalah juga pustakawati. Beliau adalah almarhumah Ibu Asmi Sutandyo, yang pada tahun 1982 juga berkuliah di JIP-FSUI. Saya berinteraksi dengan beliau saat saya menjadi asisten pengajar untuk mata kuliah praktek Media Teknologi. Sementara, tokoh pers Indonesia terkenal, Atmakusumah, punya istri Sri Roemiati Atmakusumah, yang pustakawati, dan kebetulan sama-sama satu angkatan di JIP-FSUI 1980.

Dari Bakhuri Jamaluddin saya dapat info bahwa aktor pemenang Citra, Tio Pakusadewo, merupakan putra dari pustakawati di lingkungan DPR RI. Lanjutan data ini, silakan Anda lanjutkan sendiri - tetapi mohon saya juga dikabari.

Mengenang tepat 6 tahun bertemu Mas Ito di Hotel Borobudur (di SMS beliau pernah bercanda dengan menyebutnya sebagai "hotel kita"), tiba-tiba ada hal yang mengusik hati saya saat ini. Hal-hal yang menarik tentang para pustakawati di atas bukankah layak untuk ditelisik, dibedah, dihimpun, disusun, kemudian dijadikan sebagai isi buku yang sarat inspirasi bagi profesi ini ?

Kita kenal ada ujaran bahwa di balik para pria yang sukses pasti terdapat perempuan yang istimewa. Untuk seorang Mas Ito, Prof. Tandyo atau Bapak Atmakusumah, bukankah dapat dikeduk kisah-kisah human interest yang kaya mengenai peran istri-istri mereka yang pustakawati itu dalam kehidupan sukses, juga suka dan duka, bersama segenap keluarga mereka ?

Untuk penyajian himpunan cerita-cerita manusiawi dan inspiratif ini kita dapat berkaca dari sukses serial buku terkenal dengan payung judul Chicken Soup karya kolaborasi Jack Canfield, Mark Victor Hansen dan kawan-kawannya. Terdapat belasan judul (foto) yang sebagian besar menjadi buku-buku laris.

Saya tidak tahu apakah ada seri yang membahas profesi pustakawan, sebab saya hanya memiliki Chicken Soup for the Sports Fan's Soul (2000) yang saya beli di toko buku Gramedia, Jl. Pajajaran, Bogor, 30 Agustus 2002.

Buku-buku seperti itu, yang mampu bercerita tentang pustakawan dalam sorot lensa pandang yang manusiawi, yang mampu menyentuh hati dan jiwa, sangatlah dibutuhkan bagi profesi satu ini. Senyatanya kita sangat kekurangan cerita, termasuk biografi para pustakawan.

Maafkan bila cakrawala saya yang sempit ini. Tetapi ketika sempat membolak-balik koleksi buku tentang perpustakaan dan pustakawan yang ada di Perpustakaan Umum Wonogiri, yang ada hanya buku-buku "resmi" melulu. Buku-buku yang kering. Pustaka yang barangkali hanya cocok dibaca untuk menghadapi ujian dan sesudah ujian pantas untuk dilupakan. Karena buku-buku itu belum mampu menjangkau hati.

Jerangkong yang menari. Di Internet, bagaimana ? Pada pelbagai situs dan blog yang dikelola pustakawan atau pustakawati kita, yang selama ini bisa saya temui, nampaknya kurang lebih serupa. Nyaris tidak ada yang berkisah tentang "jerangkong- jerangkong yang menari" yang muncul dari lemari-lemari para pustakawan Indonesia selama ini.

"Jika Anda punya jerangkong, kerangka manusia, di dalam lemari Anda, keluarkanlah. Dan menarilah bersamanya," begitu nasehat Caroline MacKenzie seperti dikutip Susan Shaughnessy dalam bukunya Walking on Alligators : A Book of Meditations for Writers (1993) yang edisi bahasa Indonesianya berjudul Berani Berekspresi : Buku Meditasi Untuk Para Penulis ( 2004).

"Penulis harus menari bersama jerangkong, tulang kerangka mereka sendiri !," timpal Susan Shaughnessy atas pendapat Carolyn MacKenzie tadi. Kerangka manusia adalah kiasan untuk hal yang paling Anda hindari untuk dituliskan. Misalnya rasa malu yang membuat Anda bergidik dan menciut, yang pada akhirnya akan muncul juga dalam tulisan Anda.

Mengapa ? Karena menurutnya di sanalah energi jiwa Anda tertimbun. Dengan menuliskannya, Anda meratakannya. Energi itu mengalir ke dalam tulisan Anda dan membuatnya hidup. Jerangkong itu kering dan tidak bernyawa. Tetapi mereka bisa menari.

Dengan media blog inilah saya selama ini mencoba menari. Dengan menuliskan surat-surat cinta. Menceritakan sisi-sisi kehidupan pribadi. Minimal itulah sosok blog yang bisa saya serap dari inspirasi diva blogger Halley Suit yang di tahun 2004 didaulat The Anita Borg Institute sebagai "Online Diva" dalam artikelnya yang menarik.

Dalam tulisannya berjudul "Alpha Female Blogging" (2004) antara lain ia menyatakan : "A blog is a love letter. Blogging is nothing, if not personal and full of life……[blogs are] one of the last places where you can still tell the truth… A blog is my head, open to you, day and night, at your convenience. They are changing and they are changing us - how we communicate, how we think, how we care about one another and how we join together to change the world. "

Terima kasih, Halley.

Bagi saya kini,perkara apakah blog ini dapat didaulat sebagai semangkuk sup ayam yang lezat atau hambar bagi kalangan pustakawan, saya tidak tahu. Yang saya tahu pasti, isinya tidak mengandung keong racun di dalamnya.


Wonogiri, 3 November 2010
Diketik sambil menikmati "Clair de lune"-nya Claude Debussy.