Minggu, 10 April 2011

Blasius Sudarsono, Saya, dan Robert Frost

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Pengantar : Profesi kepustakawanan boleh jadi ibarat gedung yang memiliki lawang sewu. Berpintu seribu.Orang bisa masuk, berada di dalam atau pun keluar-masuk melalui pintu yang ia mau.

Sekadar contoh : Bapak Blasius Sudarsono (foto) ini. Beliau berlatar belakang pendidikan Sarjana Muda Fisika (BSc), FIPA - UGM, Yogyakarta, (1973) kemudian melanjutkan ke jenjang Master of Library Studies (MLS), University of Hawaii, Honolulu, USA, (1979). Kini beliau tetap setia menjalani profesinya sebagai Pustakawan Madya di PDII-LIPI.

Saya menjadi mahasiswa beliau tahun 1981. Beliau mengajar mata kuliah Perpustakaan Khusus. Kuliahnya di gedung PDII-LIPI. Seingat saya, teman sekelas saya Djuhar (almarhum), Gemuru Ritonga, Gustina Sofia,Uhum Lantang Siagian (almarhum) sampai Zulherman.

Saat itu saya tidak tahu kalau beliau berasal dari Baluwarti, lingkungan dalam Kraton Surakarta. Gara-gara Facebook,saya baru tahu informasi tersebut, saat kami bisa melakukan reuni. Obrolan kami terekam di bawah ini :

Mahasiswa murtad. "Salam Pak Dar, moga sehat-sehat. Kalau pertanyaan di subjek itu ("Apakah Pak Dar dari Baluwarti ?") betul, saya ingin ngajak tepangan, berkenalan, (lagi) via FB ini. Saya tinggal di Baluwarti ngidul sithik, ke arah selatan sedikit. Naik bis 32 km lagi. Di Wonogiri.

Saya adalah murid panjenengan, Anda, di JIP-FSUI,tetapi murtad. Jangan dibilangin ke FPI, "Front Pustakawan Indoensia" ya, karena saya tidak pernah mengabdikan ilmu di perpustakaan.

Oh ya, di Baluwarti pada tahun 73-79 saya pernah tinggal di timur SMEA Saraswati.Tamtaman.Segitu dulu, moga perkawanan di FB ini Anda terima. Matur nuwun. Terima kasih. [2 Maret 2011].

Terlanjur sayang. Mas Bambang, rasanya saya memang ingat jenengan, Anda, dengan beberapa tulisan jenengan yang menggelitik. Pernah baca cuma pastinya yang mana. Rasanya berbeda dengan yang lain.

Saya waktu itu memang bertanya mengapa kok tidak setia di kepustakwanan. Namun jalan orang memang lain-lain. Saya ini sudah terlanjur sayang sama kepustakawanan ("didokumentasikan dalam buku terlampir"-BH), dan sudah menjalaninya sampai tahun ke 38 ini.

Saya memang lahir di rumah Baluwarti tahun 1948. Sekarang saya sudah jarang ke Baluwarti. Sejak Bapak seda,meninggal dunia, tahun 2001. Jika jenengan tinggal sekitar 73-79 saya sudah di Jakarta. Saya meninggalkan Baluwarti tahun 1967 untuk kuliah di Yogya.

Mungkin kenal dengan adik laki-laki saya Alex Daryanto. Rumah kami pas kulon lawang gapit kidul, ngisor tanjung.

Salam, Blasius
[2 Maret 2011].

Jalan belukar. Matur nuwun, Pak Blasius. Kita reunian mantan warga Baluwarti. Saya kost di rumah Eyang Laksmintorukmi di Tamtaman itu saat kuliah di IKIP Solo/UNS.

Kalau ketemu sama Mas Alex Daryanto, mungkin saya ingat. Tetapi saat itu saya lebih banyak main ke utara, nongkrong di Kamandungan, depan Kraton,bikin kegiatan kesenian sama teman-teman.

Kesetiaan Pak Blasius terhadap dunia kepustakawanan yang pantas dijadikan teladan itu mungkin seperti cerita dalam film yang selalu ada tokoh utama, yang tidak banyak. Lalu selalu juga ada peran-peran figuran, yang banyak tetapi tidak terlalu penting walau diperlukan. Mungkin pos saya disini ini.

Betul pak Blasius,ha-ha, saya memang masuk dalam gang oknum yang "tidak setia" di kepustakawanan. Tetapi dengan "tidak setia" itu juga bisa berarti karena saya memilih jalan dan cara untuk mengungkapkan cinta dengan cara yang berbeda. Boleh jadi cara yang tidak selalu berada atau dekat-dekat dengan cara-cara di jalur arus utama.

Karena, bagi saya, ilmu yang saya peroleh ketika belajar ilmu perpustakaan itu sangat lentur untuk bermuara pada beragam kiprah yang menarik dan menggoda. Sambil merujuk puisinya Robert Frost, "The Road Not Taken," kayaknya saya telah memilih jalan yang masih semak belukar, jalan yang belum pernah ditapaki oleh orang-orang sebelumnya :-).

Salam.
[3 Maret 2011].

Gedung berpintu seribu itu,sebenarnya tidak benar-benar saya tinggalkan. Apalagi kini dengan hadirnya media-media digital,saya bisa masuk dan keluar darinya. Dengan bekal dan tekad yang tetap sama.

Membawa cinta.
Memberi cinta.

Wonogiri,11/4/2011

Kamis, 07 April 2011

Einstein, Pustakawan dan Ekonomi Kreatif

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


"Imajinasi lebih penting ketimbang pengetahuan," kata Einstein.

Tetapi imajinasi yang kaya milik setiap anak itu akan dirampok oleh lembaga yang bernama sekolah.

Sejak duduk di bangku klas 4, anak-anak mulai kompromistis, dan imajinasinya tergerus terus sampai tua.

Semakin tingi pendidikan, semakin mereka cenderung mengambil keputusan yang aman.
Bara kreativitas pun terus meredup.

Maka di Kompas hari ini, seniman/wartawan Yudhistira ANM Massardi menulis,"Berhentilah sekolah sebelum terlambat."

Menurutnya, bersekolah cukup sampai umur 12 tahun. SD saja.

Lanjutnya, "Jadi, cukup berikan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet ("hallo pustakawan, ingat kata mutiara dari Samuel Johnson* ini ? Kini saatnya Anda semakin menunjukkan taring kesaktian ilmu dan bakti Anda"-BH), dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan."

Ia tegaskan : "Mereka tidak usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk mereka, sepanjang manusia masih ada."

Merujuk ide tersebut, John Howkins dalam bukunya The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001, buku ini saya beli setelah memenangkan hadiah The Power of Dreams Contest-nya Honda,2002), memberi tips tentang 10 Rumus Sukses.

Salah satunya : "Keluarlah dari sekolah sejak awal, bila Anda menginginkan, tetapi Anda jangan pernah berhenti belajar !"

*Ucapan Samuel Johnson ini dikenalkan pertama kali kepada saya oleh Ibu Lily K. Somadikarta (almarhumah), ketika saya menjadi mahasiswa beliau di tahun 1980.

Wonogiri, 8/4/2011

Minggu, 03 April 2011

Buku "Komedikus Erektus" di Library of Congress

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Anda kenal Perpustakaan Konggres, perpustakaan terbesar di dunia ?

Misi keberadaannya adalah untuk memenuhi tugas konstitusional untuk mendorong kemajuan pengetahuan dan kreativitas bagi kemaslahatan bangsa Amerika.

Misi yang hebat dan mulia.

Ketika saya berselancar di situsnya,dan pada katalog onlinenya iseng-iseng saya ketikkan nama saya, Amerika pun membalas. Ternyata buku humor politik saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010), telah menjadi koleksi mereka. Menggembirakan.

Ringkasan yang mereka buat untuk buku tersebut adalah : Aspek humor tentang kondisi sosial dan politik di Indonesia
Klasifikasinya : LC Classification: MLCSE 2010/02873 (H)
Alamat data bibliografisnya di : http://lccn.loc.gov/2010441503
No kontrol : LC Control No.: 2010441503
Lokasi : Asian Reading Room (Jefferson, LJ150).

Di Perpustakaan Nasional Australia, rincian subjeknya lebih kaya :

Political satire, Indonesian,
Indonesian wit and humor,
Indonesia-Politics and government-Humor.

Nomor induk : Bib ID 5017471.
Lokasi : YY 2011-105 Main Reading Room (Overseas Monograph Collection).
URL : http://catalogue.nla.gov.au/Record/5017471.

Tergerak oleh penemuan ini, saya melakukan hal yang sama di situs Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Hasilnya silakan Anda klik disini. Kejutan ?

Dari Salemba, saya lanjutkan ke Depok, ke Perpustakaan Universitas Indonesia. Alma mater saya.

Ternyata ditemukan 45 bahan pustaka yang relevan dengan kata kunci "haryanto,"tetapi tak satu pun yang cocok dengan nama saya.

Silakan mengambil hikmah dan kesimpulan sendiri atas realitas ini.

Kalau Anda pernah menulis buku, silakan kunjungi situs Library of Congress dan The National Library of Australia itu.Siapa tahu katalog onlinenya memberikan kejutan kecil kepada Anda.

Menikmati impuls yang manusiawi ketika karya kita dihargai.
Dilestarikan.Diapresiasi.

Silakan mencobanya !


Wonogiri,4/4/2011