Kamis, 24 Februari 2011

Hukum Linus dan Terancamnya Museum Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Malam pertama.
Malam yang sangat menegangkan bagi Larry Daley.

Sebagai pegawai baru penjaga malam museum ilmu pengetahuan, ia terkejut ketika koleksinya menjadi hidup ketika malam hari tiba.

Ia mendapati dirinya diuber-uber kerangka Tyrannosaurus rex, singa, juga jadi bulan-bulanan kera julig. Bahkan sampai terjepit di tengah perseteruan sengit antara boneka koboi melawan jenderal Romawi.

Di akhir cerita, selain diselamatkan oleh arahan patung lilin presiden AS ke 26 Theodore Roosevelt, Larry Daley pun mampu membongkar rencana jahat trio pensiunan penjaga museum bersangkutan. Mereka bertiga itu berencana mencuri tablet kuno Mesir dan menjadikan Larry sebagai kambing hitamnya.

Itulah seulas cerita dari film laris Night at the Museum (2006), yang dibintangi Ben Stiller sampai Robin Williams. Film ini dilanjutkan sekuelnya Night at the Museum: Battle of the Smithsonian (2009). Kata “malam” dalam judul menunjukkan metafora mengenai kegelapan, misteri, rahasia, dan bahkan kemudian semua hal itu erat terkait dengan tindak kejahatan.

Kriminalitas orang dalam. Itulah pula kiranya yang pernah terjadi ketika malam-malam misteri menyelimuti Museum Radya Pustaka Solo, sampai akhirnya meledakkan kehebohan yang mengagetkan. Di museum yang didirikan pada masa Pakubuwono IX oleh Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV pada tanggal 28 Oktober 1890, rupanya diam-diam telah terjadi tindak kejahatan besar dan terencana terhadap koleksinya, juga oleh orang dalam sendiri.

Harian nasional dengan judul berita "Ironi Sebuah Museum" (Kompas, 20/11/2007) melaporkan pada tanggal 18 November 2007, Kepala Museum Radya Pustaka, KRH Darmodipuro (mBah Hadi almarhum) ditahan pihak kepolisian sebagai tersangka dalam kasus hilangnya sejumlah koleksi museum.

Antara lain lima arca batu buatan abad ke-4 dan 9 yang dijual kepada pihak lain dengan harga Rp 80 juta-Rp 270 juta per arca. Penyelidikan menunjukkan bahwa koleksi museum yang hilang diganti dengan barang palsu. Kehebohan mencuat lagi hari-hari ini terkait dugaan keras dipalsukannya koleksi wayang kulit dari museum bersangkutan.

Terabaikan. Skandal menyedihkan dan memalukan itu merupakan cerminan sekaligus tamparan pahit terkait pandangan sampai pengelolaan kita terhadap lembaga museum selama ini.

Bukti itu juga menunjukkan betapa sangat lemahnya pengamanan museum-museum kita, sehingga membuat khasanah langka museum-museum kita terancam mudah raib untuk dicuri dan dimiliki oleh mereka yang tidak berhak.

Problematika dalam pengelolaan museum-museum kita memang kompleks. Dari minimnya dana operasi, apresiasi pengunjung yang belum berkembang, tak ada promosi, sampai masalah internal museum sendiri yang menyangkut pengamanan.

Untuk mampu keluar dari lilitan beragam masalah kronis tersebut boleh jadi dapat ditempuh dengan pendekatan baru, dengan antara lain berikhtiar mencangkokkan apa yang terjadi dalam dunia peranti lunak komputer dalam kiprah pengelolaan museum kita.

Mata-mata kita bersama. Kita kiranya dapat belajar dari seorang Linus Torvalds, penemu piranti lunak open source Linux yang ternama. Linus Torvalds dalam merancang Linux sengaja membuka kode-kode peranti lunak temuannya itu kepada masyarakat luas. Dengan cara ini, menurutnya, banyak kalangan mampu menemukan cacat, kekurangan, dan kemudian memperbaikinya.

Kolaborasi yang melibatkan banyak fihak tersebut membuat piranti lunak Linux semakin berguna bagi banyak kalangan. Fenomena ini kemudian memunculkan Hukum Linus Pertama yang berbunyi “Dengan mata yang cukup, kutu pun bisa ditemukan secara mudah.”

Aplikasi Hukum Linus dalam museum adalah dengan membuka pintu seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menjadi orang tua angkat bagi tiap-tiap koleksi museum. Jadi tiap koleksi dapat diadopsi oleh banyak orang, yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat yang memajang foto (asli) dan data koleksi, yang dapat mereka peroleh bila yang bersangkutan memberikan donasi tertentu.

Agar lebih kental misi pendidikan dan pelestariannya, sesuatu koleksi museum dapat diadopsi oleh sekolah-sekolah sampai perusahaan. Tidak hanya sekolah kota bersangkutan, tetapi juga bagi sekolah-sekolah yang berada di luar kota. Bahkan di luar negeri.

Dengan meluncurkan situs jaringan sosial di Internet, pengelola museum dapat memfasilitasi para pemangku kepentingan terhadap koleksi museum bersangkutan untuk tergabung dalam komunitas dan mampu saling berinteraksi di dunia maya. Termasuk sebagai media untuk memberikan pertanggungjawaban pengelolaan dana secara transparan dan akuntabel.

Dengan cara ini, yang dalam kajian ekonomi dunia digital lajim disebut sebagai crowdsourcing, diharapkan tiap-tiap koleksi museum mampu dijaga dan diawasi oleh lebih banyak mata. Juga didanai pemeliharaannya oleh lebih banyak fihak, dan terutama mampu membuat museum semakin lebih menarik untuk dicintai oleh masyarakat secara lebih luas.

Media jaringan sosial terbukti mampu menjadi pemersatu rakyat Mesir dalam menumbangkan diktator Hosni Mubarak yang otoriter. Kini saatnya juga bisa kita gunakan secara kreatif untuk menyelamatkan museum-museum kita.


Wonogiri, 24 Februari 2011


PS : Artikel ini dengan penyuntingan redaksi telah dimuat di harian Solopos, Kamis, 24 Februari 2011, hal. 4.

Untuk kalangan pemangku kepentingan dunia perpustakaan di Indonesia, saya ingin memperoleh tanggapan : bagaimana bila kata “museum” dan “koleksi” atau “khasanah museum” dalam artikel ini digantikan dengan “perpustakaan” dan “koleksi perpustakaan” ? Apakah gagasan dalam artikel ini juga berpeluang bisa untuk diterapkan di perpustakaan ?