Selasa, 06 Desember 2011

Toko Buku Borders Dalam Kenangan Alumnus JIP-FSUI 1980

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Dudu sanak dudu kadang. Yen mati melu kelangan.”

Bukan kerabat, bukan saudara. Bila meninggal, ikut merasa kehilangan.

Jaringan toko buku Borders di Wheelock Place, pojok perempatan Orchard Road dan Patterson Road, Singapura, telah tutup untuk selamanya pada tanggal 3 September 2011 yang lalu.

Ada sepotong hati ini yang ikut hilang.

Artikel ini saya pajang di blog saya Buku-Buku Dalam Kehidupanku, 15/9/2011. Ternyata sekitar sebulan kemudian saya memperoleh email dari teman kuliah saya di tahun 1980. Gustina Sofia dari Bogor. Ia menulis :

"Mas Bambang,

Apa kabar, aku baca posting mu terbaru berjudul "Toko Buku Borders Dalam Kenangan". Saya juga merasa kehilangan, walaupun jarang-jarang kesana.

Terakhir ke toko itu 29 Mei 2011 dan dapat hadiah "tas kresek hitam" dengan tulisan "borders". Rupanya itu menjadi hadiah yang berkesan.

Btw, hari Rabu 28 September saya ke Wonogiri, sayang nggak sempat kontak dulu. Pertama kali ke Wonogiri, ternyata dekat ya dari Solo, TANPA MACET, he3.
Terima kasih dan selamat berkarya."

Terima kasih, Gustina.
Tak sangka kita memiliki rasa kehilangan yang sama untuk sebuah toko buku.Bagaimana sobat-sobat lainnya ?

Wonogiri, 6/12/2011

Minggu, 04 Desember 2011

Buku Komedikus Erektus di Perpustakaan Universitas Ohio Amerika Serikat

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


The SBY Effect.
The Manmohan Singh Effect.
Dan The Komedikus Erektus Effect.

Nama pertama, SBY, adalah singkatan nama untuk presiden kita. Manmohan Singh adalah nama perdana menteri India. Komedikus Erektus, adalah judul buku humor politik saya.

Ketiganya bisa dimirip-miripkan memiliki kesamaan. Yaitu, ketiganya tidak begitu memperoleh apresiasi secara optimal di dalam negeri walau dihargai di manca negara.

Mungkin analogi itu berlebihan.

Tetapi untuk nasib buku Komedikus Erektus, semoga efek di atas itu menjadi kabar yang cukup bagus bagi para pencinta buku humor di Indonesia. Juga komunitas komedi di Indonesia.

Pasalnya, buku humor politik tersebut yang lengkapnya berjudul Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Imania,2010), rupanya kini telah terbang jauh. Bahkan menyeberangi samudera, untuk sampai ke kota Ohio, di Amerika Serikat.

Nampak dalam foto momen saat peluncuran buku itu dalam acara reuni trah saya, Trah Martowirono XXVI di Polokarto, Sukoharjo, bulan September 2011 yang lalu.

Di bawah label subjek "Indonesian wit and humor," "Indonesia -- Social conditions -- Humor" dan "Indonesia -- Politics and government -- Humor", syukurlah buku bersampul warna biru telah ikut bisa mengisi rak Perpustakaan Universitas Ohio, 30 Park Place, Athens, Ohio, Amerika Serikat.

Di antara ratusan atau ribuan buku berbahasa Indonesia yang mereka akuisisi, sungguh suatu kehormatan pula bahwa gambar sampul, data buku dan salinan resensi yang ditulis Badhui A. Suban, Sarjana Sastra Indonesia dari Universitas Padjajaran Bandung, telah ikut ditampilkan di blog perpustakaan tersebut.

Informasi tentang buku tersebut detilnya bisa Anda klik disini. Sementara informasi mengenai lokasi penempatannya di Perpustakaan Vernon R. Alden Library, 30 Park Place, Athens, Ohio, Amerika Serikat, bisa Anda klik disini.

Sebelumnya, juga diketahui bahwa buku yang sama telah pula menjadi koleksi perpustakaan terbesar di dunia, Library of Congress di Amerika Serikat dan Perpustakaan Nasional Australia di Melbourne.

Itulah secuplik cerita tentang upaya menyumbangkan khasanah ilmu pengetahuan dari dari alumnus JIP-FSUI untuk dunia. Siapa menyusul ?



Wonogiri, 5/12/2011

Solo Cyber Day 2011, Pustakawan ITB dan Mahasiswa JIP-FSUI 1980

Dear Kang Onno,

Semoga sehat-sehat dan sudah sembuh capeknya setelah menggembleng anak-anak muda Solo dalam ber-Internet secara cerdas dan memberikan manfaat di ajang Solo Cyber Day 2011, Solo, 4 Desember 2011.

Catatan yang akan saya ingat antara lain tentang seruan Anda agar warga Solo ngeblog setiap hari. Sayang, kayaknya hanya saya saat itu yang menyambut dengan tepuk tangan. Mungkin akan lebih heboh bila Kang Onno bilang, "update statusmu di FB setiap hari."

Tak apalah, tepuk tangan saya itu akan tetap saya lanjutkan di dunia maya, untuk menyebarkan pesan bahwa menulis di blog itu cenderung lebih bermakna dibanding menulis status wkwkwkwk di Facebook.

Catatan kedua, tentang perpustakaan digital Kang Onno yang Anda wariskan ke Apkomindo Solo ? Saya lupa mencatat. Kemana atau URL mana untuk bisa mengaksesnya ? Tentang perpustakaan, saat ketemuan Anda itu saya lupa menyampaikan titipan pesan dari priyayi asal Solo tetapi kini tinggal di Jakarta.

Beliau adalah Pak Blasius Sudarsono dari PDII-LIPI. "Titip salam, lama ga jumpa," katanya. Lalu beliau menambahkan info yang saya belum tahu, bahwa Kang Onno itu pernah menjadi kepala perpustakaan pusat ITB. Oh ya, Pak Blasius itu dosen saya. Saya pernah belajar di jurusan ilmu perpustakaan di Rawamangun, FSUI. Pernah pula main ke ITB, saat itu kepalanya Pak Adjat Sakri.

Moga-moga banyak email yang Kang Onno terima dari anak-anak muda Solo. Saya dan warga Trah Martowirono berterima kasih kepada Kang Onno, juga Mas Donny BU, yang telah sudi menorehkan tanda tangan di kanvas memorabilia trah (keluarga besar) kami.

Dalam foto jepretan jenius dari aktivis Internet asal Solo, Sadrah Deep, nampak dari kiri saya (Bambang Haryanto), Kang Onno dan Mayor Haristanto. Kanvas itu akan menjadi bahan cerita yang berlanjut di trah kami.

Sukses selalu.
Sampai ketemu lagi.


Bambang Haryanto
trah.blogspot.com
komedian.blogspot.com

Wonogiri, 5/12/2011

Selasa, 15 November 2011

Library of Congress, PDII-LIPI dan Blasius Sudarsono

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com



Memasuki Library of Congress atau Perpustakaan Nasional Australia rasanya bagi saya bakal lebih pede ketimbang bila memasuki Perpustakaan Pusat Dokumentasi dan Informasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI).

Itulah kesan yang saya peroleh kemarin (15/11/2011). Mungkin itu merupakan “hukuman” bagi saya terkait akan dua hal. Pertama, sudah bertahun-tahun mandul, tidak mampu menghasilkan karya dengan predikat ilmiah. Yang kedua, saya mengunjungi PDII-LIPI itu (setelah sekitar 25-an tahun tidak kesini) gara-gara kebandang, terangkut oleh bis yang saya naiki dari Slipi.

Seharusnya saya turun di Polda, lalu ke Istora Senayan. Tetapi malah terbawa bis sampai Jl. Gatot Subroto. Dasar orang kampung yang buta situasi mutakhir dari kotanya Bang Foke ini.

Daripada mubazir, saya memutuskan mengunjungi Perpustakaan PDII-LIPI. Lantai 3. Ada papan bertuliskan e-Library PDII-LIPI menyapa Anda saat memasuki pintu. Ada berderet komputer. Saya coba akses katalog elektroniknya. Dasar narsis, istilahnya (kalau tak salah) melakukan google ganger, saya kemudian mengetikkan nama saya di kotak pencarian.


Hasilnya : 0. Nol. Nihil. Jeblok. Gundul.Hampa.Tiada.
Nikmati realitas`itu, betapa saya tidak punya karya tulis, atau warisan, di tempat ini.
Saya sungguh tidak punya legacy di perpustakaan ini.
Terima kasih.

Pencarian kedua, kata “komedi” dan “comedy.” Hasilnya, juga nol.
Rupanya tidak ada tempat untuk berlawak-lawak ria di tempat ilmiah ini pula.
Tetapi ketika saya mengetikkan kata humor, terdapat lumayan banyak informasi ilmiah. Silakan cek di layar hasil pemotretan saya ini.

Pencarian ketiga, saya ketikkan nama dosen saya di tahun 1981. Saat itu sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (JIP-FSUI), saya berkuliah di gedung ini pula. Rekan saya lainnya Djohar (almarhum), Uhum Lantang Siagian (almarhum), Emil Zola, Gemuru Ritonga, Gustina Sofia, Tuti Sri Sundari, dan Zulherman (“selamat datang kembali di tanah air, semoga menjadi haji yang mabrur, Zul”).

Dosennya adalah, kini Pustakawan Utama, Bapak Blasius Sudarsono (foto)
“Naik saja lantai dua, belok kanan, di pintu ada inisial : BS,” demikian kata petugas perpustakaan. Seperti saat naik bis tadi, ruang Pak BS ternyata sudah saya lewati. Ada ruang saya masuki dan bertanya. Dijawab oleh beberapa ibu, “silakan masuk pintu yang terbuka.”

Pintu itu memang nampak terbuka. Mungkin ini mencerminkan diri penghuninya. Pak BS ada di dalamnya, saya fikir sedang memberikan bimbingan skripsi kepada seorang mahasiswi. Namanya Ratih. Sekarang dirinya juga berkuliah di jurusan saya dulu-dulu itu.

Syukurlah, saya merasa terhormat, karena begitu menyodorkan muka, Pak BS rupanya langsung mengenali diri saya. Padahal praktis kami tidak pernah jumpa sejak 1981 :-). Internet rupanya tetap mampu “mendekatkan” kita selama ini.

Tak ada yang berubah dari beliau. Rambutnya memang memutih, tanda sebagai sosok yang bijak, tetapi tetap juga “galak” dan saya harus berfikir lama untuk mencerna wejangan beliau. Hard fun, desis saya. Termasuk ketika beliau menggurat kalimat sakti bahwa “perpustakaan adalah pusat inovasi.”

Kalimat yang sungguh aneh di telinga saya. Rasanya baru kali ini saya bisa mendengar kata “perpustakaan” yang diutarakan sejajar dan satu tarikan nafas dengan kata “inovasi.” Ibarat aliran sungai Bengawan Solo (rumah Pak BS di Baluwarti, Solo, pernah kebanjiran di tahun 1986), kalimat beliau itu akan “mengalir sampai jauh” di relung pemikiran saya. Terima kasih, Pak BS, saya akan ikut mencerna ucapan itu.

Terima kasih pula, karena saat itu saya telah beliau beri hadiah. Buku karyanya, Menyongsong Fajar Baru Merancang Masa Depan (LIPI Press, 2007) dan majalah BACA (Juni 2005) yang antara lain memuat tulisan Pak BS berjudul “Empat Windu Perjalanan Pemikiran Tentang PDII-LIPI.”

Yang bikin saya terusik adalah tulisan beliau di buku yang beliau berikan kepada saya di sore saat Jakarta baru saja selesai diguyur hujan. Beliau tulis : “Khusus untuk Mas Bambang. Agar ingat kembali Perpustakaan.”

Saat itu sudah saya jawab : “Saya senantiasa ingat Perpustakaan. Tetapi dengan cara yang bisa saya lakukan.Termasuk menulis blog yang mencatat siapa Pak Blasius Sudarsono, yang dalam pencarian Google masuk 10 besar”



Kramat Jaya Baru,Jakarta,
16 November 2011

Jumat, 11 November 2011

Bapak Soma, Ibu Soma dan JIP-FSUI Angkatan 1980

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Banyak cara untuk mengenang masa lalu. Kemarin harian Kompas memberitahukan di halaman 12. Saat cari detilnya di Google tersaji sebagai berikut :

Ahli Burung dan Sosiolog Raih Habibie Award
Kamis, 10 November 2011 17:54 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang ahli burung (ornitolog), Prof Dr Soekarja Somadikarta (foto), meraih penghargaan Habibie Award. Lelaki berusia 81 tahun tersebut diberi penghargaan yang telah berusia 13 tahun tersebut atas kontribusinya menjadi peletak dasar ilmu perburungan di Indonesia.

Soma menjadi satu dari dua penerima penghargaan Habibie Award Periode ke XIII Tahun 2011 yang diselenggarakan di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Kamis (10/11). Satu penerima lainnya adalah seorang Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia, Prof Dr Ir Sajogyo.

Dalam pidato ilmiahnya, Soma menyatakan saat ini di Indonesia terdapat lebih dari 500 spesies burung. Ia yakin di tahun-tahun mendatang akan terdapat penemuan setidaknya 20 spesies lagi. "Itu minimal. Mungkin lebih banyak lagi," ujar Soma.

Soma sebelumnya telah memperoleh 10 penghargaan prestisius, di antaranya dari National Academy of Sciences-National Research Council (USA) sebagai Visiting Research Associate di Departemen Ornithology, Smithsonian Institution, Washington. Selain itu empat perhimpunan burung internasional yang berwibawa telah mengakui Soma sebagai seorang ornitolog kelas dunia.

Adakah sesuatu yang klik dengan Anda ? Saya, tentu saja. Prof. Soekarja Somadikarta adalah suami dari almarhumah Ibu Lily Koeshartini Soemadikarta. Beliau adalah Ketua Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI ketika saya menjadi mahasiswa, masuk tahun 1980.

Pernah saya ikut semobil dengan Bapak Soma dan Ibu Soma. Siang hari tahun 1985 atau 1986. Kami sama-sama dari kampus Rawamangun menuju gedung Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial di Jl. Prapatan, yayasan yang dipimpin oleh Prof. Selo Soemardjan. Kami bertemu juga dengan para pengajar dari jurusan lain dari UI. Acaranya : merembug agenda membuat tayangan film memperkenalkan ilmu-ilmu sosial untuk disiarkan di TVRI.

Saya mendapat tugas dari Ibu Soma untuk membuat skrip, memilih pemain, dan sekaligus juga main film. Antara lain saya pilih :-) sebagai bintang adalah Bapak Sulistyo Basuki, mBak Threes Emir (Pemred majalah Mode Indonesia),mBak Ir. Jati Wahyuni dari PDII-LIPI,tentu saja Ibu Soma juga.

Di Gedung YIIS itu kami bertukar gagasan. Saat semobil bersama Pak Soma, saya sempat meledek beliau sebagai "profesor wiraswasta." Karena beliau saat itu juga menjabat sebagai Ketua Kopertis. Saya lupa, beliau tertawa atau tidak.

Selamat untuk Prof. Somadikarta atas penghargaan itu.Selamat terus berprestasi dan mengilhami para ilmuwan muda untuk terus berbakti. Saya yakin, Ibu Soma akan ikut berbahagia di alam kelanggengan.

Update 06/3/2012 : Profil Bapak Somadikarta secara lebih komprehensif dan inspiratif telah dimuat di situs Radio BBC Siaran Indonesia. Silakan klik disini.


Kramat Jaya Baru, Jakarta, 11 Nov 2011

Kamis, 03 November 2011

Belajar adalah belajar tentang cara belajar !

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Setelah berpisah kurang lebih 26 tahun, bisa bertemu kembali teman-teman kuliah, saya mendapati betapa kaya ragam jalan hidup mereka.

Sama-sama mengenyam pendidikan ilmu perpustakaan, tetapi panggilan hidup, peluang dan kecenderungan tiap pribadi, membuat ilmu itu dipraktekkan dalam jalur yang warna-warni.

Belajar ilmu perpustakaan adalah belajar tentang cara belajar.

Itu sudah terbukti untuk rekan saya Bakhuri Jamaluddin. Setelah mengampu perpustakaan Akademi Gizi, kini jadi salah satu tokoh yang menjalankan roda program Jamkesmas di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Secara ke-PNS-an, sudah pensiun, tetapi di bidang yang baru membuatnya terbang ke pojok-pojok tanah air.

Teman lain yang saya temui kemarin (3/11/2011) adalah Hartadi Wibowo.Priyayi necis dan rapilo :-) asal Cilacap itu kini sekretaris sebuah yayasan yang mengurusi santunan kesehatan di Bank Mandiri.

Sebelumnya menjabat Dana Pensiun Bank Mandiri yang "mempertaruhkan" milyaran rupiah untuk investasi. Ia sukses. Kuncinya : di perpustakaan tersaji beragam informasi, dan saya banyak belajar dari sana.

Menengok ke belakang Hartadi Wibowo mencoba me-resume hidupnya : "Jalur saya adalah di bidang pelayanan." Itu katanya di dalam mobil hitam keren dan dimana saya nunut dari Ciledug untuk turun di Jl. Tendean, untuk berganti busway. Makasih Ted, untuk obrolannya yang inspiratif.

Yang agak nyeleneh dan menarik adalah sobat saya satunya lagi : Subagyo Ramelan (SBR).

Waktu kuliah, saya, Teddy dan Bagyo terkenal sebaagi eksponen "the smoking corner."

Tukang merokok berat.Teddy bisa berhenti tahun 2005. Saya tahun 1989.

Tetapi Pak SBR, masih melanjutkan hobi nikmatnya itu sampai kini.

Setelah lulus, SBR menjadi book officer di Asia Foundation. Kerjanya membagi-bagikan buku sumbangan Amerika Serikat ke pelbagai perguruan tinggi di Indonesia. Kantornya, bagi saya, adalah sorga buku. Saya sempat kecipratan puluhan buku-buku idaman darinya. Makasih, bag.

Kini ia tak lagi mengurusi buku. Tetapi primbon :-).

Primbon itu sebagai panduan bagi mereka yang ingin membeli batu-batu mulia di bengkel dan show room miliknya.

Namanya Safir Andaru, di bilangan Ciledug, Jakarta Selatan.

Seusai kangen-kangenan, ia menyodori kami bertiga sejumlah cincin dengan berbatu mulia.

Subagyo Ramelan, eyang 7 cucu tetapi nampak awet muda itu, membuka primbon. Sebagai penulis, saya sebaiknya memakai cincin dengan batu mulia safir. Karakternya adalah : wisdom and knowledge. Semoga dapat menjadi panduan bagi saya untuk berbuat kebaikan : seseorang yang dididik jadi pustakawan tetapi kini tercebur untuk mempelajari dan menulis tentang humor dan komedian.

Terima kasih, Bag.
Terima kasih, Bakh.
Terima kasih, Teddy.

Hidup Anda yang warna-warni sungguh merona indah dalam catatan dan kenangan saya.Pertemuan 4 komplot lama itu mencetuskan Deklarasi Ciledug 3 November 2011.

Bahwa kita akan mengadakan reuni komplit di bulan Desember mendatang.
Insya Allah terlaksana.


Kramat Sentiong,4/11/2011

Minggu, 10 April 2011

Blasius Sudarsono, Saya, dan Robert Frost

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Pengantar : Profesi kepustakawanan boleh jadi ibarat gedung yang memiliki lawang sewu. Berpintu seribu.Orang bisa masuk, berada di dalam atau pun keluar-masuk melalui pintu yang ia mau.

Sekadar contoh : Bapak Blasius Sudarsono (foto) ini. Beliau berlatar belakang pendidikan Sarjana Muda Fisika (BSc), FIPA - UGM, Yogyakarta, (1973) kemudian melanjutkan ke jenjang Master of Library Studies (MLS), University of Hawaii, Honolulu, USA, (1979). Kini beliau tetap setia menjalani profesinya sebagai Pustakawan Madya di PDII-LIPI.

Saya menjadi mahasiswa beliau tahun 1981. Beliau mengajar mata kuliah Perpustakaan Khusus. Kuliahnya di gedung PDII-LIPI. Seingat saya, teman sekelas saya Djuhar (almarhum), Gemuru Ritonga, Gustina Sofia,Uhum Lantang Siagian (almarhum) sampai Zulherman.

Saat itu saya tidak tahu kalau beliau berasal dari Baluwarti, lingkungan dalam Kraton Surakarta. Gara-gara Facebook,saya baru tahu informasi tersebut, saat kami bisa melakukan reuni. Obrolan kami terekam di bawah ini :

Mahasiswa murtad. "Salam Pak Dar, moga sehat-sehat. Kalau pertanyaan di subjek itu ("Apakah Pak Dar dari Baluwarti ?") betul, saya ingin ngajak tepangan, berkenalan, (lagi) via FB ini. Saya tinggal di Baluwarti ngidul sithik, ke arah selatan sedikit. Naik bis 32 km lagi. Di Wonogiri.

Saya adalah murid panjenengan, Anda, di JIP-FSUI,tetapi murtad. Jangan dibilangin ke FPI, "Front Pustakawan Indoensia" ya, karena saya tidak pernah mengabdikan ilmu di perpustakaan.

Oh ya, di Baluwarti pada tahun 73-79 saya pernah tinggal di timur SMEA Saraswati.Tamtaman.Segitu dulu, moga perkawanan di FB ini Anda terima. Matur nuwun. Terima kasih. [2 Maret 2011].

Terlanjur sayang. Mas Bambang, rasanya saya memang ingat jenengan, Anda, dengan beberapa tulisan jenengan yang menggelitik. Pernah baca cuma pastinya yang mana. Rasanya berbeda dengan yang lain.

Saya waktu itu memang bertanya mengapa kok tidak setia di kepustakwanan. Namun jalan orang memang lain-lain. Saya ini sudah terlanjur sayang sama kepustakawanan ("didokumentasikan dalam buku terlampir"-BH), dan sudah menjalaninya sampai tahun ke 38 ini.

Saya memang lahir di rumah Baluwarti tahun 1948. Sekarang saya sudah jarang ke Baluwarti. Sejak Bapak seda,meninggal dunia, tahun 2001. Jika jenengan tinggal sekitar 73-79 saya sudah di Jakarta. Saya meninggalkan Baluwarti tahun 1967 untuk kuliah di Yogya.

Mungkin kenal dengan adik laki-laki saya Alex Daryanto. Rumah kami pas kulon lawang gapit kidul, ngisor tanjung.

Salam, Blasius
[2 Maret 2011].

Jalan belukar. Matur nuwun, Pak Blasius. Kita reunian mantan warga Baluwarti. Saya kost di rumah Eyang Laksmintorukmi di Tamtaman itu saat kuliah di IKIP Solo/UNS.

Kalau ketemu sama Mas Alex Daryanto, mungkin saya ingat. Tetapi saat itu saya lebih banyak main ke utara, nongkrong di Kamandungan, depan Kraton,bikin kegiatan kesenian sama teman-teman.

Kesetiaan Pak Blasius terhadap dunia kepustakawanan yang pantas dijadikan teladan itu mungkin seperti cerita dalam film yang selalu ada tokoh utama, yang tidak banyak. Lalu selalu juga ada peran-peran figuran, yang banyak tetapi tidak terlalu penting walau diperlukan. Mungkin pos saya disini ini.

Betul pak Blasius,ha-ha, saya memang masuk dalam gang oknum yang "tidak setia" di kepustakawanan. Tetapi dengan "tidak setia" itu juga bisa berarti karena saya memilih jalan dan cara untuk mengungkapkan cinta dengan cara yang berbeda. Boleh jadi cara yang tidak selalu berada atau dekat-dekat dengan cara-cara di jalur arus utama.

Karena, bagi saya, ilmu yang saya peroleh ketika belajar ilmu perpustakaan itu sangat lentur untuk bermuara pada beragam kiprah yang menarik dan menggoda. Sambil merujuk puisinya Robert Frost, "The Road Not Taken," kayaknya saya telah memilih jalan yang masih semak belukar, jalan yang belum pernah ditapaki oleh orang-orang sebelumnya :-).

Salam.
[3 Maret 2011].

Gedung berpintu seribu itu,sebenarnya tidak benar-benar saya tinggalkan. Apalagi kini dengan hadirnya media-media digital,saya bisa masuk dan keluar darinya. Dengan bekal dan tekad yang tetap sama.

Membawa cinta.
Memberi cinta.

Wonogiri,11/4/2011

Kamis, 07 April 2011

Einstein, Pustakawan dan Ekonomi Kreatif

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


"Imajinasi lebih penting ketimbang pengetahuan," kata Einstein.

Tetapi imajinasi yang kaya milik setiap anak itu akan dirampok oleh lembaga yang bernama sekolah.

Sejak duduk di bangku klas 4, anak-anak mulai kompromistis, dan imajinasinya tergerus terus sampai tua.

Semakin tingi pendidikan, semakin mereka cenderung mengambil keputusan yang aman.
Bara kreativitas pun terus meredup.

Maka di Kompas hari ini, seniman/wartawan Yudhistira ANM Massardi menulis,"Berhentilah sekolah sebelum terlambat."

Menurutnya, bersekolah cukup sampai umur 12 tahun. SD saja.

Lanjutnya, "Jadi, cukup berikan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet ("hallo pustakawan, ingat kata mutiara dari Samuel Johnson* ini ? Kini saatnya Anda semakin menunjukkan taring kesaktian ilmu dan bakti Anda"-BH), dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan."

Ia tegaskan : "Mereka tidak usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk mereka, sepanjang manusia masih ada."

Merujuk ide tersebut, John Howkins dalam bukunya The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001, buku ini saya beli setelah memenangkan hadiah The Power of Dreams Contest-nya Honda,2002), memberi tips tentang 10 Rumus Sukses.

Salah satunya : "Keluarlah dari sekolah sejak awal, bila Anda menginginkan, tetapi Anda jangan pernah berhenti belajar !"

*Ucapan Samuel Johnson ini dikenalkan pertama kali kepada saya oleh Ibu Lily K. Somadikarta (almarhumah), ketika saya menjadi mahasiswa beliau di tahun 1980.

Wonogiri, 8/4/2011

Minggu, 03 April 2011

Buku "Komedikus Erektus" di Library of Congress

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Anda kenal Perpustakaan Konggres, perpustakaan terbesar di dunia ?

Misi keberadaannya adalah untuk memenuhi tugas konstitusional untuk mendorong kemajuan pengetahuan dan kreativitas bagi kemaslahatan bangsa Amerika.

Misi yang hebat dan mulia.

Ketika saya berselancar di situsnya,dan pada katalog onlinenya iseng-iseng saya ketikkan nama saya, Amerika pun membalas. Ternyata buku humor politik saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010), telah menjadi koleksi mereka. Menggembirakan.

Ringkasan yang mereka buat untuk buku tersebut adalah : Aspek humor tentang kondisi sosial dan politik di Indonesia
Klasifikasinya : LC Classification: MLCSE 2010/02873 (H)
Alamat data bibliografisnya di : http://lccn.loc.gov/2010441503
No kontrol : LC Control No.: 2010441503
Lokasi : Asian Reading Room (Jefferson, LJ150).

Di Perpustakaan Nasional Australia, rincian subjeknya lebih kaya :

Political satire, Indonesian,
Indonesian wit and humor,
Indonesia-Politics and government-Humor.

Nomor induk : Bib ID 5017471.
Lokasi : YY 2011-105 Main Reading Room (Overseas Monograph Collection).
URL : http://catalogue.nla.gov.au/Record/5017471.

Tergerak oleh penemuan ini, saya melakukan hal yang sama di situs Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Hasilnya silakan Anda klik disini. Kejutan ?

Dari Salemba, saya lanjutkan ke Depok, ke Perpustakaan Universitas Indonesia. Alma mater saya.

Ternyata ditemukan 45 bahan pustaka yang relevan dengan kata kunci "haryanto,"tetapi tak satu pun yang cocok dengan nama saya.

Silakan mengambil hikmah dan kesimpulan sendiri atas realitas ini.

Kalau Anda pernah menulis buku, silakan kunjungi situs Library of Congress dan The National Library of Australia itu.Siapa tahu katalog onlinenya memberikan kejutan kecil kepada Anda.

Menikmati impuls yang manusiawi ketika karya kita dihargai.
Dilestarikan.Diapresiasi.

Silakan mencobanya !


Wonogiri,4/4/2011

Kamis, 24 Februari 2011

Hukum Linus dan Terancamnya Museum Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Malam pertama.
Malam yang sangat menegangkan bagi Larry Daley.

Sebagai pegawai baru penjaga malam museum ilmu pengetahuan, ia terkejut ketika koleksinya menjadi hidup ketika malam hari tiba.

Ia mendapati dirinya diuber-uber kerangka Tyrannosaurus rex, singa, juga jadi bulan-bulanan kera julig. Bahkan sampai terjepit di tengah perseteruan sengit antara boneka koboi melawan jenderal Romawi.

Di akhir cerita, selain diselamatkan oleh arahan patung lilin presiden AS ke 26 Theodore Roosevelt, Larry Daley pun mampu membongkar rencana jahat trio pensiunan penjaga museum bersangkutan. Mereka bertiga itu berencana mencuri tablet kuno Mesir dan menjadikan Larry sebagai kambing hitamnya.

Itulah seulas cerita dari film laris Night at the Museum (2006), yang dibintangi Ben Stiller sampai Robin Williams. Film ini dilanjutkan sekuelnya Night at the Museum: Battle of the Smithsonian (2009). Kata “malam” dalam judul menunjukkan metafora mengenai kegelapan, misteri, rahasia, dan bahkan kemudian semua hal itu erat terkait dengan tindak kejahatan.

Kriminalitas orang dalam. Itulah pula kiranya yang pernah terjadi ketika malam-malam misteri menyelimuti Museum Radya Pustaka Solo, sampai akhirnya meledakkan kehebohan yang mengagetkan. Di museum yang didirikan pada masa Pakubuwono IX oleh Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV pada tanggal 28 Oktober 1890, rupanya diam-diam telah terjadi tindak kejahatan besar dan terencana terhadap koleksinya, juga oleh orang dalam sendiri.

Harian nasional dengan judul berita "Ironi Sebuah Museum" (Kompas, 20/11/2007) melaporkan pada tanggal 18 November 2007, Kepala Museum Radya Pustaka, KRH Darmodipuro (mBah Hadi almarhum) ditahan pihak kepolisian sebagai tersangka dalam kasus hilangnya sejumlah koleksi museum.

Antara lain lima arca batu buatan abad ke-4 dan 9 yang dijual kepada pihak lain dengan harga Rp 80 juta-Rp 270 juta per arca. Penyelidikan menunjukkan bahwa koleksi museum yang hilang diganti dengan barang palsu. Kehebohan mencuat lagi hari-hari ini terkait dugaan keras dipalsukannya koleksi wayang kulit dari museum bersangkutan.

Terabaikan. Skandal menyedihkan dan memalukan itu merupakan cerminan sekaligus tamparan pahit terkait pandangan sampai pengelolaan kita terhadap lembaga museum selama ini.

Bukti itu juga menunjukkan betapa sangat lemahnya pengamanan museum-museum kita, sehingga membuat khasanah langka museum-museum kita terancam mudah raib untuk dicuri dan dimiliki oleh mereka yang tidak berhak.

Problematika dalam pengelolaan museum-museum kita memang kompleks. Dari minimnya dana operasi, apresiasi pengunjung yang belum berkembang, tak ada promosi, sampai masalah internal museum sendiri yang menyangkut pengamanan.

Untuk mampu keluar dari lilitan beragam masalah kronis tersebut boleh jadi dapat ditempuh dengan pendekatan baru, dengan antara lain berikhtiar mencangkokkan apa yang terjadi dalam dunia peranti lunak komputer dalam kiprah pengelolaan museum kita.

Mata-mata kita bersama. Kita kiranya dapat belajar dari seorang Linus Torvalds, penemu piranti lunak open source Linux yang ternama. Linus Torvalds dalam merancang Linux sengaja membuka kode-kode peranti lunak temuannya itu kepada masyarakat luas. Dengan cara ini, menurutnya, banyak kalangan mampu menemukan cacat, kekurangan, dan kemudian memperbaikinya.

Kolaborasi yang melibatkan banyak fihak tersebut membuat piranti lunak Linux semakin berguna bagi banyak kalangan. Fenomena ini kemudian memunculkan Hukum Linus Pertama yang berbunyi “Dengan mata yang cukup, kutu pun bisa ditemukan secara mudah.”

Aplikasi Hukum Linus dalam museum adalah dengan membuka pintu seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menjadi orang tua angkat bagi tiap-tiap koleksi museum. Jadi tiap koleksi dapat diadopsi oleh banyak orang, yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat yang memajang foto (asli) dan data koleksi, yang dapat mereka peroleh bila yang bersangkutan memberikan donasi tertentu.

Agar lebih kental misi pendidikan dan pelestariannya, sesuatu koleksi museum dapat diadopsi oleh sekolah-sekolah sampai perusahaan. Tidak hanya sekolah kota bersangkutan, tetapi juga bagi sekolah-sekolah yang berada di luar kota. Bahkan di luar negeri.

Dengan meluncurkan situs jaringan sosial di Internet, pengelola museum dapat memfasilitasi para pemangku kepentingan terhadap koleksi museum bersangkutan untuk tergabung dalam komunitas dan mampu saling berinteraksi di dunia maya. Termasuk sebagai media untuk memberikan pertanggungjawaban pengelolaan dana secara transparan dan akuntabel.

Dengan cara ini, yang dalam kajian ekonomi dunia digital lajim disebut sebagai crowdsourcing, diharapkan tiap-tiap koleksi museum mampu dijaga dan diawasi oleh lebih banyak mata. Juga didanai pemeliharaannya oleh lebih banyak fihak, dan terutama mampu membuat museum semakin lebih menarik untuk dicintai oleh masyarakat secara lebih luas.

Media jaringan sosial terbukti mampu menjadi pemersatu rakyat Mesir dalam menumbangkan diktator Hosni Mubarak yang otoriter. Kini saatnya juga bisa kita gunakan secara kreatif untuk menyelamatkan museum-museum kita.


Wonogiri, 24 Februari 2011


PS : Artikel ini dengan penyuntingan redaksi telah dimuat di harian Solopos, Kamis, 24 Februari 2011, hal. 4.

Untuk kalangan pemangku kepentingan dunia perpustakaan di Indonesia, saya ingin memperoleh tanggapan : bagaimana bila kata “museum” dan “koleksi” atau “khasanah museum” dalam artikel ini digantikan dengan “perpustakaan” dan “koleksi perpustakaan” ? Apakah gagasan dalam artikel ini juga berpeluang bisa untuk diterapkan di perpustakaan ?