Rabu, 14 Januari 2015

Rumi, Pustakawan Tidur dan Lempung Digital

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui@gmail.com



“Buku adalah sumber pengetahuan.”
Itu kata Rumi. Tapi lanjutnya, “buku bisa juga sebagai bantal tidur.”

Sementara di tangan Jackie Chan, seperti dalam film-filmnya, bisa menjadi sarana bela diri. Bagi saya, buku bisa menjadi brankas kecil. Untuk menyelip-nyelipkan uang kecil.  

Sementara kata orang, kitab suci merupakan brankas teraman dalam sebuah keluarga. Silakan menambahkan manfaat buku selain yang kita akrabi sebagai pustakawan.

Yang menonjol, buku di mata pustakawan semata menjadi obyek seksi ketika dipadankan dengan tabel DDC, tajuk subjek, dan pelbagai pernak-pernik data bibliografis untuk menyempurnakan proses tugas sucinya, yaitu melakukan tata simpan dan penemuan kembali. 

Dalam konteks ini pustakawan tak ubahnya sebagai manajer gudang, mengelola kontainer, sementara isinya dimanipulasi secara dangkal semata untuk kepentingan memudahkan tata simpan dan penemuan kembali. Itu marak baik  itu di era katalog kartu mau pun di era digital saat ini.

Blasius Sudarsono
 dan Ratih Rahmawati dalam Perpustakaan Untuk Rakyat : Dialog Anak dan Bapak (2012) seperti diberi garis bawah oleh Agus Rusmana, mengibaratkan perpustakaan bukan sebagai gudang tetapi sebagai “restoran yang menyediakan santapan rohani.” 

Tandas Agus Rusmana yang menulis pengantar, “jika restoran hanya menyajikan bahan mentah dan menyuruh pelanggannya untuk memasak sendiri bahan itu, tentu mereka lebih memilih makan di rumah... Seharusnya pustakawan ‘berbuat lebih’ daripada sekedar menjejerkan koleksi dan menandainya untuk kemudahan penemuan kembali.” (hal.x).


“Barangkali disitulah kekurangwaskitaan kita sebagai pustakawan,” cetus Pak Blasius Sudarsono kepada saya di sela rapat kerja Renstra 2015 Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia/YPPI  dan PT Daya Pustaka Prima di The Gambir Anom Hotel, Boyolali, 7/1/2015.  

Saat itu kami bertiga mengobrol ringan tentang model bisnis dari Buqu Indonesia yang diwakili Ardiansyah (batik merah), yang kemudian memberikan presentasi kepada kita semua.



Buqu Indonesia berbisnis buku-buku digital. Dengan mengagregasi penerbit, toko buku dan konsumen dalam sebuah ekosistem yang mampu memberikan kemudahan dan keuntungan bagi semua fihak. Dalam presentasinya, Buqu Indonesia berencana menggandeng juga perpustakaan.

Mereka kiranya sadar dan tahu bahwa manipulasi isi, termasuk isi yang dikandung dalam perpustakaan, merupakan lahan kreatif, ibarat tanah lempung digital yang  bisa bebas ditekak-tekuk untuk dibentuk sejauh imajinasi orang yang melakukannya.

Kekurangwaskitaan yang dimaksud Pak Blasius mungkin terjadi karena kita kaum pustakawan terlalu inward oriented. Akibatnya  tidak mampu melihat profesinya  dalam bingkai kanvas besar dari dunia yang terus  berubah.  Kemudian kita tidak sadar bila domain kita terus digerus oleh pemain-pemain baru di dunia digital yang inovatif dan menggedor pintu kita silih berganti.

Apakah semua terjadi, dengan meminjam kata Rumi, mungkin karena  selama ini pustakawan hanya menjadikan buku sebagai bantal belaka ?


Wonogiri, 14 Januari 2015