Kamis, 26 April 2012

Perpustakaan Jantung Pendidikan : Pustakawan Bukan Orang Buangan

Oleh :Bambang Soebendo
Dimuat di Harian Sinar Harapan, 25 Januari 1985

TUGU, JABAR. – Seorang pustakawan Universitas Peking tahun 1918 memutuskan berhenti sebagai pustakawan dan terjun dalam dunia politik. Pustakawan itu kemudian terkenal seantero dunia, bukan sebagai pustakawan tetapi lebih sebagai seorang politikus. Ia tidak lain Mao Tse Tung.


Dalam buku The Book of Lists terdapat nama-nama orang besar yang memulai kariernya sebagai seorang pustakawan. Selain Mao Tse Tung, tercantum pula Edgar Hoover (pimpinan FBI), Archibald McLeish (pendiri UNESCO) sampai Cassanova (bintang fil terkenal si penakluk wanita).

Ada anekdot tentang Mao ketika ia masih menjadi pustakawan. Suatu saat ia ditanyai oleh temannya, “Mengapa Anda berhenti sebagai seorang pustkawan ?”

Dengan tenang Mao menjawab : “Karena hasil akhir tugas pustakawan itu mirip dengan definisi filsafat dasar negeri Rusia, yaitu Marxisme-Leninisme. Saya tidak menyukai garis itu. Karena itu saya keluar dari profesi sebagai seorang pustakawan..”

[Anekdot itu komplitnya : Definisi Marxisme-Leninisme adalah aksi mencari kucing hitam di kamar yang gelap, dan kucing itu sebenarnya tidak ada, tetapi si pencari lalu berteriak-teriak : “Ini dia kucingnya, saya telah menangkapnya !”-BH].

Anekdot itu diungkapkan oleh Drs. Bambang Haryanto, seorang ahli informasi bidang sains-teknologi untuk pelbagai perusahaan/industri di Jakarta. Benar atau tidak anekdot itu, dan apa pun alasannya, Mao kemudian dikenal sebagai politikus daripada seorang pustakawan.

”Anekdot atau humor Ketua Mao itu mungkin ada benarnya, karena hasil kerja seorang pustakawan itu memang tidak segera nampak dalam wujud yang nyata, karena benda yang dijual adalah informasi, “ kata Bambang Haryanto menambahkan.

Pustakawan Bukan Orang Buangan, Sinar Harapan, 25 Januari 1985, Laporan Bambang Soebendo di Sinar Harapan, 25 Januari 1985, tentang dunia perpustakaan IndonesiaKeterangan gambar : Laporan lokakarya yang ditulis Bambang Soebendo di harian Sinar Harapan, Jumat, 25 Januari 1985.

Orang buangan.Benarkah pustakawan adalah orang buangan dan perpustakaan itu tempat buangan ? Masalah itu sempat menjadi topik yang menarik dalam Lokakarya Pengelolaan Sekolah di Tugu (Jawa Barat) belum lama berselang yang diselenggarakan oleh Klub Perpustakaan Indonesia (KPI) dan PN Balai Pustaka.

Ketua Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Mastini Hardjoprakoso, MLS melemparkan pendapat itu dengan mengatakan : “Profesi sebagai seorang pustakawan sampai saat ini masih kurang menarik. Dan ada anggapan sebagian orang bahwa perpustakaan adalah tempat buangan.”

Bagai gayung bersambut, Prof. Darji Darmodiharjo, SH (Dirjen Pendidikan dasar dan Menengah) yang hadir dan membuka resmi lokakarya itu dengan nada humor menjawab : “Kalau ada yang menganggap pustakawan itu orang buangan, ya itu salah buang. Yang jelas pustakawan itu orang buangan yang baik.”

Drs. Sukarman,MLS, Kepala Pusat Pembinaan Perpustakaan Depdikbud dalam kesempatan itu menyatakan kalau ada anggapan yang kurang benar terhadap profesi pustakawan, itu bukan kesalahan masyarakat. “Kita belum berhasil memperkenalkan profesi itu kepada masyarakat. Ini merupakan tantangan kita.”

Dr. Sulityo Basuki, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra UI dengan kalem berkata : “Kita tidak perlu berkecil hati dengan anggapan itu. Yang penting kita harus sekarang juga berbuat yang bermanfaat. Kalau tidak, kita akan lebih jauh tertinggal,” kata doktor perpustakaan dan informasi dari Case Western Reserve University (AS).

Betapa besar peranan para pustakawan dan perpustakaan dalam proses pendidikan secara plastis digambarkan oleh Prof. Darji Darmodiharjo : “Pada dasarnya fungsi perpustakaan itu sebagai jantung pendidikan, tidak hanya terbatas pada lembaga pendidikan, tetapi juga mencakup masyarakat sekitarnya.”

Tugas pustakawan dan perpustakaan sekolah adalah menyediakan jasa untuk membangkitkan siswa rasa “ingin tahu” dan “sadar informasi.” Tapi bagaimana kita mengukur dan mengetahui adanya peningkatan rasa “ingin tahu” dan “sadar informasi” pada anak-anak didik kita ?

”Peningkatan itu tidak nampak ‘dengan segera,’ jawab Drs. Bambang Haryanto ketika berbicara dalam lokakarya itu. “Mungkin karena hasil kerja yang tidak nampak itu maka profesi kita masih banyak mendapat hambatan,” tambahnya.

Pustakawan itu sama dengan seorang ilmuwan, kata Drs. Sukarman. Apa sebab ? “Perpustakaan adalah sumber ilmu pengetahuan. Dan seorang pustakawan harus mampu menguasai sumber-sumber ilmu yang ada di dalamnya. Nah, menjadi seorang pustakawan tidak perlu rendah diri. Sebaliknya harus bangga karena ia bekerja untuk melayani orang lain, yaitu memberikan informasi dan sumber ilmu.”

Tema yang dipilih oleh Klub Perpustakaan Indonesia dalam memperingati hari ulang tahunnya ketiga bukan dengan pesta atau hura-hura, tetapi dengan lokakarya pantas dihargai. Apalagi masalah yang diangkat cukup menarik yaitu pengelolaan perpustakaan sekolah.

Citra. Citra atau ciri khas perpustakaan sekolah di Indonesia sampai sekarang kebanyakan kurang menggembirakan. Seperti diungkapkan Dr. Sulistyo Basuki : tak punya ruangan khusus, jam buka yang tidak jelas, koleksi kurang lengkap dan pengelolaan yang kurang profesional.

Jangankan dibandingkan dengan Eropa atau Amerika atau Singapura. Dengan Filipina yang punya hutang lebih banyak atau Muangthai yang selalu dilanda perrang, perpustakaan sekolah di Indonesia sudah jauh tertinggal.

Sebagai contoh di Filipina pembangunan sebuah sekolah selalu dibarengi dengan pembangunan perpustakaan. Dan semua mata pelajaran selalu dikaitkan dengan perpustakaan karena tujuan pendidikan di sana tidak sekadar menerima informasi, tetapi lewat perpustakaan merangsang murid untuk mencari dan menggali informasi. Sistem demikian juga diterapkan di Muangthai.

“Sistem yang demikian belum berlaku di Indonesia. Murid hanya secara pasif menerima informasi. Ini kritik saya terhadap sistem pendidikan di Indonesia mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi,” kata Dr. Sulistyo Basuki.

Sekali pun perpustakaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sekolah, namun belum semua –bahkan sebagian besar sekolah di Indonesia—belum memanfaatkan atau menganggap penting perpustakaan. Dengan kalem pula ia berkata : “Biang keroknya adalah Kepala Sekolah. Mereka tak tahu soal perpustakaan, tapi suka mengatur,” yang disambut senyum beberapa kepala sekolah yang hadir dalam lokakarya itu.

Kritik lain yang dilontarkan oleh doktor pertama ilmu perpustakaan dan informasi itu mengenai pembagian buku paket yang kurang tepat. Seorang anak SD di pegunungan menerima buku paket tentang kehidupan nelayan. “Sulit membayangkan bagi anak yang tidak pernah melihat pantai dan kehidupan nelayan,” ujarnya.

T. Tambunan, seorang pengawas pendidikan di Jakarta melihat beberapa kelemahan perpustakaan sekolah, terutama menyangkut masalah ketenagaan, koleksi dan tempat. Ia kurang sependapat kalau para kepala sekolah dijadikan biang kerok mundurnya perpustakaan sekolah.

“Kebudayaan kita kan kebudayaan instruksi. Kalau ada instruksi bahwa perpustakaan sekolah itu penting dan dimasukkan dalam daftar penilaian, pasti instruksi itu akan dilaksanakan. Dan pekerjaan kepala sekolah sekarang ini bermacam-macam. Mungkin perpustakaan belum dianggap penting,” katanya dengan senyum.

Benarkah pemerintah kurang memperhatikan perpustakaan dan nasib pengelolanya ? Pertanyaan ini banyak dilontarkan dalam lokakarya yang berlangsung selama tiga hari itu.

Jawaban dari Dirjen Dikdasmen Depdikbud Prof. Darji dan Drs. Sukarman cukup menggembirakan. Misalnya pemerintah dalam waktu dekat akan memberikan tunjangan pendidikan bagi guru-guru yang mengelola perpustakaan. Sudah ada instruksi setiap sekolah harus menyediakan perpustakaan.
“Tidak usah muluk-muluk. Kalau tidak ada tempat khusus bisa mempergunakan ruangan lain seperti ruang guru atau ruang kepala sekolah. Bahkan di pojok-pojok ruangan bisa dipergunakan untuk perpustakaan. Kalau ini tidak bisa dilaksanakan, lebih baik sekolahnya ditutup,” kata Prof. darji.

Perhatian pemerintah terhadap pengembangan perpustakaan bukan hanya besar, tetapi berlipat ganda. Sekarang ini disediakan dana tidak kurang dari Rp. 8 milyar.

“Tapi dana yang besar itu sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dengan banyak dan luas daerah yang harus dibina,” kata Drs. Sukarman. Bayangkan, sekarang ini Indonesia memiliki 150.000 Sekolah dasar, 20.000 Sekolah Lanjutan seta 65.000 desa yang akan memiliki perpustakaan.

Diharapkan dalam waktu dekat akan dikeluarkan DIP (Daftar Isian Proyek) untuk membangun gedung perpustakaan. Menurut Sukarman di tiap-tiap sekolah sebenarnya ada anggaran untuk membeli buku. “Tapi seringkali anggaran untuk membeli buku perpustakaan kalah untuk membeli kapur atau membayar honor guru,” katanya menyindir.

Seorang guru putri yang mengelola perpustakaan di SMA Negeri Depok menyatakan tidak tahu menahu kalau ada anggaran khusus untuk membeli buku. “Saya tidak tahu itu. Saya berusaha mencari sendiri lewat donator atau terpaksa memungut sewa buku,” jawabnya.

Bukan Niteklub. “Klub Perpustakaan Indonesia, bukan niteclub, lho,” kata Dra. Ny. Adwityani S. Subagio, SH., Ketua KPI ketika memperkenalkan diri kepada peserta lokakarya.

“Pada mulanya banyak yang salah faham. Dikiranya klub yang satu ini sama dengan klub-klub yang sering dikunjungi bapak-bapak. Wah, berabe, to !,” katanya dalam dialek Jawa Timur yang terkadang masih kentara.

Dalam usianya tiga tahun KPI tampak memperlihatkan kegiatan yang amat bermanfaat, walau pun belum bisa merata. KPI yang lahir tanggal 4 Januari 1982 dalam suatu pertemuan di Hotel Wisata Jakarta bertujuan sederhana : memberikan bantuan dan pelayanan kepada para anggotanya terutama yang menyangkut masalah buku dan perpustakaan.

Langkah ini sudah dimulai dengan memberikan kredit buku kepada para anggotanya sampai sekitar Rp. 600.000,00 yang dapat dicicil dalam waktu 10 bulan. Untuk tahap pertama baru PN Balai Pustaka, tapi diharapkan penerbit-penerbit lain akan bersedia menunjangnya walau pun persyaratan yang sedikit berbeda.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Nugroho Notosusanto menyambut baik kehadiran KPI ini. “Adanya organisasi yang bertujuan membantu memajukan perpustakaan, memperkenalkan dunia perbukuan dan merangsang minat baca masyarakat seperti apa yang selama ini dilakukan oleh Klub Perpustakaan Indonesia adalah sangat membantu berhasilnya wajib belajar yang menjadi bagian dari program pendidikan pemerintah.”

Indonesia dengan penduduknya hampir 150 juta orang merupakan ladang yang baik bagi pemasaran buku. Seperti dikatakan oleh Drs. Sukarman, KPI akan dirasakan bermanfaat bila dapat mengkhususkan diri dalam memproses buku-buku yang akan dibeli oleh perpustakaan. Ini berarti efisiensi dan menghemat ongkos sampai 15 persen. Maklumlah perpustakaan di sekolah hanya memberikan pelayanan saja, sedangkan kebanyakan para pengelolalnya masih awam dalam memproses buku seperti pembuatan katalog dan lain sebagainya.

Menurut catatan sampai di usianya yang ketiga KPI telah memiliki hampir 4000 anggota yang terdiri dari perpustakaan sekolah, perpustakaan khusus dan umum yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Namun demikian KPI belum dirasakan memasyarakat.

“Media massa itu penting. Ia seperti ‘Tuhan’ yang kedua karena pengaruh yang ditimbulkan begitu besar,” kata Drs. Bambang Haryanto ketika membicarakan dasar-dasar kehumasan dalam menunjang keberhasilan tugas-tugas perpustakaan.

Nah, kiranya KPI bisa memanfaatkan beberapa resep yang diberikannya. Selamat bekerja !

[Diunggah oleh Bambang Haryanto].

Catatan Bambang Haryanto:

HUT KPI Ke-4 1986, anya Damayanti, Bambang Soebendo dan Nichlany Sudirdjo di Pondok Putri Duyung, 4 Januari 1986, HUT Ke-4 Klub Perpustakaan IndonesiaTamu undangan peringatan hari ulang tahun KPI Ke-4, 4 Januari 1986, di Pondok Putri Duyung, Ancol. Nampak dalam foto (ka-ki) : Bapak Nichlany Sudirdjo, Ketua PPIA-LIA, Bambang Soebendo dan Kanya Damayanti, keduanya waratawan harian Sinar Harapan.

Dalam mengunggah laporan Mas Bambang Soebendo ke blog ini ada sesuatu yang terasa kurang. Karena penulisnya, beberapa tahun lalu telah meninggal dunia.

Saya tahu sosoknya, tapi belum kenal, ketika kami sama-sama mengikuti Pertemuan Antar-Dewan Kesenian Se-Indonesia di Malang, 1978. Ketika melihat sosoknya di Kantor KPI sebelum rombongan berangkat ke Tugu (1985), beliau saya sapa, dengan rujukan acara di Malang itu. Kami lalu menjadi akrab. Beliau dulu adalah wartawan Sinar Harapan di Yogya. Saat itu beliau lalu saya kenalkan kepada Bapak Sulistyo Basuki.

Kantor redaksi Sinar Harapan yang ada di Otista-Cawang, bukan tempat yang asing bagi saya. Sebagai penulis freelance, saya sering harus menjemput honor kesana. Melalui Mas Bambang pula, saya bisa kenal wartawan dari Tabloid Mutiara, walau ada satu wartawati cantik, tinggi dan semampai (“dia atlet bola volley andalan kampusnya”) yang saya pengin kenal, tetapi tidak kenal namanya.

Setelah pertemuan di Tugu, kami ketemu lagi di acara HUT IV KPI 1986, di Pondok Putri Duyung, Ancol (4/1/1986). Saat itu Mas Bambang disertai wartawati Sinar Harapan yang lama sekali ingin saya ketahui namanya. Kanya Damayanti.

Kanya saat itu agak “shock” ketika dalam obrolan saya bisa memunculkan topik tentang beberapa tulisan dia yang bertopik perpustakaan. Termasuk laporannya dari Paris. Kanya ternyata masih famili dengan Bapak Subekti, redaktur sains & teknologi koran yang sama, penguasa kolom yang sering saya isi dengan artikel-artikel goresan saya.

Semoga Mas Bambang Soebendo kini senantiasa sejahtera disisiNya. Jasa Anda yang pernah jadi humasnya perpustakaan, tidak akan saya lupakan. Untuk Prof. Sulistyo Basuki, moga masih ingat saat-saat kita “mengamen” bareng di kawasan Puncak ini :-).

Wonogiri, 25/4/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar