Email : jip80fsui@gmail.com
“Buku adalah sumber pengetahuan.”
Itu kata Rumi. Tapi lanjutnya, “buku bisa juga sebagai
bantal tidur.”
Sementara di tangan Jackie Chan, seperti dalam film-filmnya,
bisa menjadi sarana bela diri. Bagi saya, buku bisa menjadi brankas kecil.
Untuk menyelip-nyelipkan uang kecil.
Sementara kata orang, kitab suci merupakan brankas teraman dalam sebuah keluarga. Silakan menambahkan manfaat buku selain yang kita akrabi sebagai pustakawan.
Sementara kata orang, kitab suci merupakan brankas teraman dalam sebuah keluarga. Silakan menambahkan manfaat buku selain yang kita akrabi sebagai pustakawan.
Yang menonjol, buku di mata pustakawan semata menjadi obyek
seksi ketika dipadankan dengan tabel DDC, tajuk subjek, dan pelbagai
pernak-pernik data bibliografis untuk menyempurnakan proses tugas sucinya,
yaitu melakukan tata simpan dan penemuan kembali.
Dalam konteks ini pustakawan tak ubahnya
sebagai manajer gudang, mengelola kontainer, sementara isinya dimanipulasi
secara dangkal semata untuk kepentingan memudahkan tata simpan dan penemuan
kembali. Itu marak baik itu di era
katalog kartu mau pun di era digital saat ini.
Baca : Katalog yang menari
Blasius Sudarsono dan Ratih Rahmawati dalam Perpustakaan Untuk Rakyat : Dialog Anak dan Bapak (2012) seperti diberi garis bawah oleh Agus Rusmana, mengibaratkan perpustakaan bukan sebagai gudang tetapi sebagai “restoran yang menyediakan santapan rohani.”
Tandas Agus Rusmana yang menulis pengantar, “jika restoran
hanya menyajikan bahan mentah dan menyuruh pelanggannya untuk memasak sendiri
bahan itu, tentu mereka lebih memilih makan di rumah... Seharusnya pustakawan
‘berbuat lebih’ daripada sekedar menjejerkan koleksi dan menandainya untuk
kemudahan penemuan kembali.” (hal.x).
Saat itu kami bertiga mengobrol ringan tentang model bisnis dari Buqu Indonesia yang diwakili Ardiansyah (batik merah), yang kemudian memberikan presentasi kepada kita semua.
Buqu Indonesia berbisnis buku-buku digital. Dengan mengagregasi penerbit, toko buku dan konsumen dalam sebuah ekosistem yang mampu memberikan kemudahan dan keuntungan bagi semua fihak. Dalam presentasinya, Buqu Indonesia berencana menggandeng juga perpustakaan.
Mereka kiranya sadar dan tahu bahwa manipulasi isi, termasuk isi yang dikandung dalam perpustakaan, merupakan lahan kreatif, ibarat tanah lempung digital yang bisa bebas ditekak-tekuk untuk dibentuk sejauh imajinasi orang yang melakukannya.
Kekurangwaskitaan yang dimaksud Pak Blasius mungkin terjadi
karena kita kaum pustakawan terlalu inward oriented. Akibatnya tidak mampu melihat profesinya dalam bingkai kanvas besar dari dunia yang
terus berubah. Kemudian kita tidak sadar bila domain kita
terus digerus oleh pemain-pemain baru di dunia digital yang inovatif dan
menggedor pintu kita silih berganti.
Apakah semua terjadi, dengan meminjam kata Rumi, mungkin
karena selama ini pustakawan hanya
menjadikan buku sebagai bantal belaka ?
Wonogiri, 14 Januari 2015
Wonogiri, 14 Januari 2015