Minggu, 07 November 2010

Like waking up, like coming home

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com


Supir truk,Walter Raleigh dan Steve Jobs.
Memiliki bahasa dan aksi yang berbeda tentang cinta sejati.

Walter Raleigh (1552-1618), penjelajah dan kerabat Istana Inggris, mengatakan bahwa "true love is a durable fire, in the mind ever burning, never sick, never old, never dead". Cinta sejati adalah api abadi, selalu membara di hati, tanpa pernah sakit, uzur, atau pun mati.

Supir truk memasang slogan di bak truknya :
"Aku tunggu jandamu."

Steve Jobs, pendiri perusahaan Apple Corporation., dengan aksi.

"Apple adalah kekasih tercinta Jobs ketika kuliah dan kini mereka bertemu kembali dalam pesta reuni setelah 20 tahun berpisah. Steve Jobs kini telah menikah, mempunyai anak dan hidupnya bahagia.

Ketika bertemu kembali dengan kekasihnya itu, ia lihat gadisnya telah kecanduan berat alkohol, dikelilingi konco-konco yang begundal dan preman serta menghancurkan hidupnya sendiri. Walau pun demikian, nurani Jobs menilai mantan kekasihnya itu adalah seorang gadis cantik yang pernah membuainya dengan kalimat bahwa dialah satu-satunya cintanya di dunia.

Lalu apa yang Jobs kerjakan ? Tentu saja ia tak ingin menikahinya. Tetapi dirinya tidak bisa lepas tangan begitu saja karena ia masih menyayanginya. Maka ia ajak kekasihnya itu ke panti rehabilitasi korban alkohol, membantunya untuk bergaul dengan teman-teman baru yang yang lebih baik, dan mengharap yang terbaik bagi masa depannya."

Demikianlah pelukisan dengan kias yang romantis dari Larry Ellison, CEO Oracle dan sahabat karib Jobs, mengenai hubungan emosional antara Jobs dengan Apple. Cerita itu terdapat dalam artikel "Geger Kisah Cinta Ulang Apple dan Jobs" yang dimuat di harian Media Indonesia, 11 September 1997 : 12.

Dari struk kwitansi honorarium tulisan yang ditandatangani redaktur bidang Wicaksono ("di dunia blogger Indonesia kini ia lebih dikenal sebagai nDoro Kakung), saya memperoleh honor Rp. 166.700,00. Dipotong pajak 10 persen, Rp. 16.700,00. Honor bersih : Rp. 150.000,00.

Setelah sempat ditendang selama 12 tahun dari kursi direksi Apple, kisah cinta ulang Steve Paul Jobs dan Apple yang diteguhkan kembali di pentas MacWorld di Boston 6 Agustus 1997, akhir ceritanya ibarat dalam dongeng semata.

Apple yang didirikan oleh putra mahasiswa asal Syria yang kemudian menjadi ilmuwan politik, Abdulfattah Jandali dan Joanne Carole Schieble, tetapi diadopsi dan diasuh keluarga Paul dan Clara Jobs di Mountain View, California, kini tersohor menghasilkan produk-produk yang inovatif. Dunia pun kemudian mengenal iTunes, iPods, iPhones, MacBook Air dan lain sebagainya.

Menurut koran Inggris, The Guardian, di bawah komando Jobs yang masa mudanya pernah memadu cinta dengan penyanyi ballada Joan Baez itu, pada tahun 2000 Apple bernilai 5 milyar dollar dan kini senilai 170 milyar dollar.

Cinta belum mati. Kita semua menyukai dongeng semacam itu. Kita mencandui kisah-kisah tentang insan yang kehilangan peluang untuk bersama pada kesempatan pertama, tetapi kemudian mereka mampu meraihnya kembali pada kesempatan yang kedua.

"Sebagai generasi Baby Boomers yang menghadapi fase terakhir dari hidup kita, banyak di antara kita yang bertahun-tahun berkelana, berpindah-pindah tempat untuk meningkatkan pendidikan atau peluang profesional kita, tiba-tiba kini mendambakan familiarity, sesuatu yang telah lama kita kenali dan akrabi.

Yaitu seseorang yang dapat berbagi tawa untuk lelucon yang sama, yang memahami hal-hal ganjil di antara kita, yang membuat kita tetap saja merasa muda dan cantik. Beberapa di antara mereka menyalakan kembali hubungan lamanya, kadang menghidupkan lagi api asmara, mulai mengingat siapa diri kita di masa lalu, dan terkadang melihat kesempatan untuk bisa mengunjungi rumah itu kembali.

Di antaranya memiliki keberanian untuk memulai hidup baru, sebagian lainnya menghindar. Ada yang menikmati masa-masa indah, sedang lainnya macet di tengah jalan."

Itulah warna-warni kehidupan.

Terima kasih saya kepada Ilene Serlin, psikolog klinis, pendiri dan direktur Union Street Health Associates and the Arts Medicine Program di California Pacific Medical Center. Dalam artikel di blognya berjudul " Reunion: Couples Talk About Second Chances with Their First Loves", yang saya kutip bagian awalnya di atas itu, kita dapat hanyut untuk merasakan bahwa tidak muskil betapa api lama, cinta pertama, the eternal flame itu, masih mampu berkobaran untuk membawa kehangatan dan kebahagiaan bagi pelakunya.

Ada cerita tentang Teri Rosen, penulis. Tinggal di New York. Ketika hendak mengikuti acara reuni 40 tahun sekolah menengahnya, Oktober 2006, putri remajanya wanti-wanti : "Kau di sana akan bertemu dengan pria impianmu, Ma." Ia memang bertemu dengan Ken, cinta pertamanya. Ken kini pemain poker profesional. Tinggal di California. Keduanya berstatus cerai. Pertemuan itu disusul dengan saling bertukar email, lalu ribuan obrolan melalui telepon.

February 2007, ketemuan di Las Vegas. "Dalam penerbangan, saya telah berusaha menguliahi diri sendiri secara tegas tentang resiko bertindak impulsif, tetapi semua itu terlupakan ketika memandangi dirinya. Ketika pulang saya dihujani nasehat oleh teman-teman akrab saya, yang memperlakukan saya ibarat remaja yang tidak terkontrol tingkah lakunya."

Mei 2007 : Keduanya pindah ke Las Vegas. Tulis Teri, "Ken dan saya membeli rumah bersama dan memulai kehidupan yang selama ini selalu kami bayangkan."

Sekarang : "Kami begitu berbahagia karena telah mampu menggusur ke masa lalu kerinduan-kerinduan yang saya gurat dalam puisi. Berbahagia karena kita tidak lagi menjadikan geografi, rasa takut, sinisme, atau apa pun jua menjadi penghalang bagi jalan kami berdua. Itu berarti bahwa dunia bagi kami tidaklah terlalu terlambat, betapa kita masih memiliki kesempatan untuk memadukan sejarah secara bersama-sama."

Selamat untuk Ken.
Selamat juga untuk Teri.

Seperti pulang kembali. Saya bukan Steve Jobs. Perpustakaan Indonesia saat ini juga bukan identik dengan kondisi perusahaan Apple yang dalam kondisi parah seperti saat itu. Umpama pun benar, jelas saya bukan solusi untuk keparahan itu pula.

Saya juga bukan Ken atau Teri.

Tetapi peristiwa reuni dengan masa lalu, seperti halnya mereka, walau hanya melalui media-media maya, rupanya diam-diam memiliki dampak yang kurang lebih serupa.

Sebagai seseorang yang pernah berkuliah ilmu perpustakaan, tetapi kemudian jalan hidup membuat semua khasanah pengetahuan itu terbengkalai, tersingkir dan terabaikan hampir selama seperempat abad, tiba-tiba muncul dorongan untuk kembali. Blog ini kemudian lahir karena dorongan yang sama, untuk kembali.

Ada rentetan keajaiban kecil-kecil yang saya rasakan ketika bisa menuliskan kembali nama-nama teman kuliah saya di blog ini. Termasuk ketika merasa ada yang kurang, sepertinya salah, lalu bisa menemukan nama yang benar. Juga saat menuliskan nama-nama dosen. Termasuk ketika menuliskan cerita interaksi saya dengan mereka di masa lalu. Rasanya seperti menelusuri lorong-lorong gua dan menemukan kembali butir-butir mutiara kenangan, betapa masa itu dengan perspektif masa kini menjadi nampak menjadi berkilauan.

Saya merasa berharga bisa menuliskan itu semua.

Suatu kebetulan, reuni lain yang juga bermakna, saya alami pula di dunia maya. Kalau sedang jatuh cinta, seperti guyonan Warkop, dengan memandangi genting rumah sang kekasih saja sudah mampu menerbitkan kebahagiaan, bagaimana kalau sudah puluhan tahun tak ada kabar, kemudian di Facebook kita bisa menemukan akun dirinya ?

Walter Raleigh memang benar adanya. John Denver dalam lirik lagunya "Perhaps Love" juga memiliki cerita yang memancarkan pesona :

Perhaps love is like the ocean
Full of conflict, full of change
Like a fire when it's cold outside
Or thunder when it rains

If I should live forever
And all my dreams come true
My memories of love will be of you.

Tetapi saya tidak akan meniru ekspresi jujur sang supir truk itu. Misalnya segera mengirimkan message kepadanya dengan ucapan : "Aku tunggu jandamu." Tetapi biarlah kosmis mendengar dan menyampaikan kabar indah, sekaligus menggelisahkan itu. Untuk dia, saya akan mengutip baris akhir dari puisi Teri Rosen untuk Ken ketika memperingati satu tahun reuni mereka :

I-love-you, he says, is just the beginning.
This feels, she says, like a reunion.
Like waking up.
Like coming home.


Wonogiri, 7 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar