Rabu, 03 November 2010

Sup Keong Racun Untuk Pustakawan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com



"Pratiwi, istri saya ?"
"Ya !"

Hotel Borobudur International, Jakarta.
Tanggal : 24 November 2004.

Di tempat inilah potongan dialog di atas itu terjadi. Antara Prof. Sarlito Wirawan Sarwono dan saya. Saat itu para finalis Mandom Resolution Award (MRA) 2004 bersama para juri, sedang menikmati rehat makan siang.

Prof. Sarlito adalah ketua juri, didampingi wartawan senior Maria Hartiningsih dari harian Kompas dan psikolog dan penyanyi, Tika Bisono. Saya yang bakal menghadapi ketiga juri itu pada keesokan harinya, saat itu sedang mencari-cari akal untuk memecah es dalam berinteraksi dengan mereka.

Sebagai orang yang beruntung mengenyam pendidikan ilmu perpustakaan, sebelum berangkat ke Jakarta saya sudah melakukan riset cukup memadai tentang ketiganya. Di saat makan siang itulah saya memutuskan bahwa Mas Ito, panggilan populer Prof. Sarlito, merupakan sasaran pertama yang harus saya serang.

Di depan beliau, mesin waktu saya segera meluncur. Mundur kembali ke tahun 1984. Saat itu A.C. Sungkana Hadi, Hartadi Wibowo dan saya mendapat tugas dari Ibu Lily K. Somadikarta. Tugas menarik. Melakukan wawancara tentang pendapat para kepala perpustakaan di lingkungan Universitas Indonesia mengenai perpustakaan pusat UI yang akan dibangun di kampus baru, di Depok.

"Saya adik kelas mBak Pratiwi, di JIP-FSUI. Pada tahun 1984 saya pernah mewawancarai beliau di kampus Fakultas Psikologi UI di Rawamangun," begitu jurus saya dalam melepaskan tendangan kung-fu ke arah Mas Ito. Benteng itu kiranya runtuh. Saya, nampaknya, di mata beliau kemudian berstatus bukan sebagai orang asing lagi. Tetapi sama-sama sebagai keluarga alumni UI.

Sebagai salah satu dari 20 finalis kontes Mandom Resolution Award 2004, setelah lolos seleksi dari 923 peserta se-Indonesia, di depan para juri itu saya menjual resolusi meluncurkan 100 blog untuk warga komunitas Epistoholik Indonesia. Entah karena resolusi saya ini termasuk baik, atau karena ada dua juri yang sama-sama dari UI, saya akhirnya memperoleh kemenangan. Posisi ketiga dari 10 juara.

bambang haryanto,bambang haryanto,mandomresolution award 2004,mandomresolution award 2004,sarlito wirawan sarwono,sarlito wirawan sarwono,epistoholik indonesia,epistoholik indonesia,blog penulis surat pembaca,blog penulis surat pembaca

Duta-duta Mandom. Sepuluh pemenang Mandom Resolution Award 2004 berpose sesudah menerima penghargaan. Nomor tiga dari kiri adalah Hariyadi (Yogyakarta), Dian Safitri (Jakarta), Bagyo Anggono (Wonogiri), Hisyam Zamroni (Karimunjawa), Slamet Sudarmaji (Yogyakarta), Deny Wibisono (Jombang), Ilham Prayudi (Jakarta), Bambang Haryanto (Wonogiri), Soleman Betawai (Jakarta) dan Tarjum Samad (Subang).Paling kanan Prof. Sarlito Wirawan Sarwono.

Momen yang tak akan terlupakan. Agar silaturahmi dengan Mas Ito tidak langsung putus, pada akhir bulan Januari 2005 tiba-tiba saya merasa harus mengirimkan sesuatu yang unik untuk beliau. Setelah terkirim, saya baru tahu bahwa pada awal Februari adalah hari ulang tahun beliau.

Foto Mas Ito yang sedang bermain seks, maksud saya sax (ophone), saya pajang dalam sebuah vertical banner, spanduk tegak, lumayan besar. Juga tercantum cerita dan foto cucu cantik, kesayangan beliau. Benda itu kini terpasang di kantor beliau, di kampus Fakultas Psikologi UI di Depok.

Bahkan saat Mas Ito bersedia menulis endorsement untuk buku humor saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Imania, 2010), cerita tentang spanduk tegak itu juga muncul. Konon, kini tempat spanduk itu dipasang telah menjadi tourist spot favorit bagi mereka yang "rada-rada norak," begitu keterangan berbau canda Mas Ito dalam email kepada saya, untuk berfoto-foto ria bersama dirinya.

Perempuan hebat. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono adalah salah satu tokoh terpandang di republik ini. Beliau memiliki istri seorang pustakawati. Ibu Lily K. Somadikarta, di Semarang pada tanggal 26 Maret 1984 pernah memberi tahu saya bahwa istri dari kartunis terpandang Indonesia, GM Sudarta, adalah pula seorang pustakawati.

Guru besar emeritus terkenal dari Universitas Airlangga, Prof. Sutandyo Wignyosubroto, istrinya adalah juga pustakawati. Beliau adalah almarhumah Ibu Asmi Sutandyo, yang pada tahun 1982 juga berkuliah di JIP-FSUI. Saya berinteraksi dengan beliau saat saya menjadi asisten pengajar untuk mata kuliah praktek Media Teknologi. Sementara, tokoh pers Indonesia terkenal, Atmakusumah, punya istri Sri Roemiati Atmakusumah, yang pustakawati, dan kebetulan sama-sama satu angkatan di JIP-FSUI 1980.

Dari Bakhuri Jamaluddin saya dapat info bahwa aktor pemenang Citra, Tio Pakusadewo, merupakan putra dari pustakawati di lingkungan DPR RI. Lanjutan data ini, silakan Anda lanjutkan sendiri - tetapi mohon saya juga dikabari.

Mengenang tepat 6 tahun bertemu Mas Ito di Hotel Borobudur (di SMS beliau pernah bercanda dengan menyebutnya sebagai "hotel kita"), tiba-tiba ada hal yang mengusik hati saya saat ini. Hal-hal yang menarik tentang para pustakawati di atas bukankah layak untuk ditelisik, dibedah, dihimpun, disusun, kemudian dijadikan sebagai isi buku yang sarat inspirasi bagi profesi ini ?

Kita kenal ada ujaran bahwa di balik para pria yang sukses pasti terdapat perempuan yang istimewa. Untuk seorang Mas Ito, Prof. Tandyo atau Bapak Atmakusumah, bukankah dapat dikeduk kisah-kisah human interest yang kaya mengenai peran istri-istri mereka yang pustakawati itu dalam kehidupan sukses, juga suka dan duka, bersama segenap keluarga mereka ?

Untuk penyajian himpunan cerita-cerita manusiawi dan inspiratif ini kita dapat berkaca dari sukses serial buku terkenal dengan payung judul Chicken Soup karya kolaborasi Jack Canfield, Mark Victor Hansen dan kawan-kawannya. Terdapat belasan judul (foto) yang sebagian besar menjadi buku-buku laris.

Saya tidak tahu apakah ada seri yang membahas profesi pustakawan, sebab saya hanya memiliki Chicken Soup for the Sports Fan's Soul (2000) yang saya beli di toko buku Gramedia, Jl. Pajajaran, Bogor, 30 Agustus 2002.

Buku-buku seperti itu, yang mampu bercerita tentang pustakawan dalam sorot lensa pandang yang manusiawi, yang mampu menyentuh hati dan jiwa, sangatlah dibutuhkan bagi profesi satu ini. Senyatanya kita sangat kekurangan cerita, termasuk biografi para pustakawan.

Maafkan bila cakrawala saya yang sempit ini. Tetapi ketika sempat membolak-balik koleksi buku tentang perpustakaan dan pustakawan yang ada di Perpustakaan Umum Wonogiri, yang ada hanya buku-buku "resmi" melulu. Buku-buku yang kering. Pustaka yang barangkali hanya cocok dibaca untuk menghadapi ujian dan sesudah ujian pantas untuk dilupakan. Karena buku-buku itu belum mampu menjangkau hati.

Jerangkong yang menari. Di Internet, bagaimana ? Pada pelbagai situs dan blog yang dikelola pustakawan atau pustakawati kita, yang selama ini bisa saya temui, nampaknya kurang lebih serupa. Nyaris tidak ada yang berkisah tentang "jerangkong- jerangkong yang menari" yang muncul dari lemari-lemari para pustakawan Indonesia selama ini.

"Jika Anda punya jerangkong, kerangka manusia, di dalam lemari Anda, keluarkanlah. Dan menarilah bersamanya," begitu nasehat Caroline MacKenzie seperti dikutip Susan Shaughnessy dalam bukunya Walking on Alligators : A Book of Meditations for Writers (1993) yang edisi bahasa Indonesianya berjudul Berani Berekspresi : Buku Meditasi Untuk Para Penulis ( 2004).

"Penulis harus menari bersama jerangkong, tulang kerangka mereka sendiri !," timpal Susan Shaughnessy atas pendapat Carolyn MacKenzie tadi. Kerangka manusia adalah kiasan untuk hal yang paling Anda hindari untuk dituliskan. Misalnya rasa malu yang membuat Anda bergidik dan menciut, yang pada akhirnya akan muncul juga dalam tulisan Anda.

Mengapa ? Karena menurutnya di sanalah energi jiwa Anda tertimbun. Dengan menuliskannya, Anda meratakannya. Energi itu mengalir ke dalam tulisan Anda dan membuatnya hidup. Jerangkong itu kering dan tidak bernyawa. Tetapi mereka bisa menari.

Dengan media blog inilah saya selama ini mencoba menari. Dengan menuliskan surat-surat cinta. Menceritakan sisi-sisi kehidupan pribadi. Minimal itulah sosok blog yang bisa saya serap dari inspirasi diva blogger Halley Suit yang di tahun 2004 didaulat The Anita Borg Institute sebagai "Online Diva" dalam artikelnya yang menarik.

Dalam tulisannya berjudul "Alpha Female Blogging" (2004) antara lain ia menyatakan : "A blog is a love letter. Blogging is nothing, if not personal and full of life……[blogs are] one of the last places where you can still tell the truth… A blog is my head, open to you, day and night, at your convenience. They are changing and they are changing us - how we communicate, how we think, how we care about one another and how we join together to change the world. "

Terima kasih, Halley.

Bagi saya kini,perkara apakah blog ini dapat didaulat sebagai semangkuk sup ayam yang lezat atau hambar bagi kalangan pustakawan, saya tidak tahu. Yang saya tahu pasti, isinya tidak mengandung keong racun di dalamnya.


Wonogiri, 3 November 2010
Diketik sambil menikmati "Clair de lune"-nya Claude Debussy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar