Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
"Ilmu pengetahuan itu ada dua.
Pertama adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, dan yang kedua adalah bagaimana menemukan sumber-sumber informasi tentang ilmu pengetahuan tersebut."
Kata mutiara Samuel Johnson (1709-1784, foto) itu pertama kali saya peroleh dari Ibu Lily K. Somadikarta (colek mBak Lini Ashdown di Stoke Goldington,Inggris), dosen JIP saya.
Saya bangga dan bahagia bisa menimba ilmu di JIP untuk bisa terampil dalam menguasai jenis ilmu pengetahuan yang kedua. Tahun 2000, keterampilan itu saya gunakan untuk menggali solusi demi ikut mengatasi problem kronis di dunia suporter sepakbola Indonesia.
Saya pun membicarakannya, juga menuliskannya, sampai kini (bisa Anda klik di : Suporter Indonesia).
Jejak belum terhapus. Tahun 2002, saya "pensiun" dari dunia suporter sepakbola. Artinya : tidak lagi kluyuran di stadion, entah itu di Jakarta, Solo, Malang, atau Kallang di Singapura. Ternyata jejak lama itu belum terhapus atau terlupakan. Masih saja ada fihak yang mengajak untuk berbincang tentang dunia suporter sepakbola Indonesia.Kali ini (rekamannya berlangsung tanggal 13/6/2012) malah di depan audien dan kamera.
Hura-hura mengubah panggung Kick Andy jadi anjungan suporter sepakbola. Foto : ki-ka : Saya, adik saya Mayor Haristanto, dan Bung Andy F. Noya.
Reuni Angkatan 1980 di Udara. Saya berangkat dari Wonogiri, Rabu, 13 Juni 2012, pagi. Rombongan kami terdiri lima orang, yaitu Mayor Haristanto, Nani Mayor, Lintang Rembulan (anak kedua Mayor), Bhakti Hendroyulianingsih (adik saya) dan saya sendiri.
Setiba di ruang tunggu bandara Adi Soemarmo, saya ketemu teman lama. Dulu sama-sama aktif ber-kunst-ria, berkesenian, di Sanggar Mandungan, depan Kraton Solo, Surakarta, tahun 1977-1980. Saat itu dia mahasiswa Seni Rupa UNS. Nama panggilannya, Bogang, eksekutif di Taman Impian Jaya Ancol. Di ruang yang sama, sebenarnya ada kejutan lain, tetapi baru "meledak" ketika pesawat Boeing 737 900 ER dari Lion Air itu menjelang menuju landasan pacu.
Ketika mulai duduk, tiba-tiba HP saya berbunyi. Dari teman kuliah saya di JIP-FSUI Angkatan (masuk) 1980 : Hartadi Wibowo. Ternyata ia menelepon dari tempat duduknya, kursi deretan nomor 7 dan saya di deretan nomor 24. Kami satu pesawat.
Di Facebook kemudian ia menulis, pakaian saya yang mencolok serba merah dan ber-kethu merah, membuat ia mudah mengenali. Sayang, kami juga tidak bisa ketemuan di Bandara Soekarno-Hatta.
Malamnya, ketika tampil di panggung, senang sekali melihat teman seangkatan saya lainnya, Bakhuri Jamaluddin, telah ikut menjadi suporter saya dengan hadir malam itu di studio MetroTV, Kebun Jeruk, Jakarta. Terima kasih, BJ.
Menjadi gong acara. Acara diawali dengan
testimoni Ibu dan adik dari Rangga Cipta Nugraha (22). Rangga adalah 1
dari 3 suporter yang tewas dianiaya suporter brandal di sekitar GBK
Senayan, 27/5/2012 yang lalu. Sedih sekali.
Segmen kedua
tentang suka duka Yuli Soempil Soegiarto, dirijen suporter Aremania
(Malang). Ia pernah jadi bintang di film The Conductor, karya sutradara
Andibachtiar Yusuf. Obrolan yang penuh gelak.
Segmen ketiga,
cerita-cerita menarik dari Andibachtiar Yusuf, pembuat film dengan ciri
khusus berlatar belakang suporter sepakbola. Filmnya pernah dpt
penghargaan di Berlin Film Festival. Saya kenal via email dengan Andi
ini sejak 2005.
Melalui istrinya saat hendak membuat film di Sukoharjo (2006), Ucup -sebutan akrabnya- memberi saya buku karya Pramudya Ananta
Toer-nya Uruguay,Eduardo Galeano. Judulnya, El FĂștbol A Sol Y Sombra
(Football In Sun and Shadow). Saya baru bisa temu muka ya di studio
MetroTV Rabu malam itu.Gantian saya beri dia buku saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau (Imania,2012). .
Segmen keempat, juga menampilkan dosen sosiologi
UGM, Muh. Najib Azca,Ph.D. Saya mendapatkan banyak wawasan dan inspirasi
atas pendekatan beliau yang berbingkai youth culture studies untuk
membedah kerusuhan suporter sepakbola.
Di segmen ini bung Andy
F. Noya (host), Mas Najib Azca, Mayor Haristanto (presiden pertama
kelompok Pasoepati, suporter Solo ; yang juga adik saya) dan saya
sendiri, seru terlibat dalam bincang-bincang yang menjadi "gong" acara
malam itu.
Saksikan tayangannya, Jumat, 22 Juni 2012, di MetroTV, Jam 21.30.
Tayangan diulang siarnya, Minggu, 24 Juni 2012, Jam 15.30.
Umpama tidak sempat, Anda tetap bisa mengkses videonya setiap saat di situs : www.kickandy.com.
Semoga kabar ini ada manfaatnya bagi dunia ilmu perpustakaan Indonesia.
Wonogiri,17 Juni 2012
Blog Mengenang Masa-Masa Berkuliah dan Berbagi Cerita Masa Kini Alumni Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Angkatan 1980
Sabtu, 16 Juni 2012
Ilmu Perpustakaan, Kick Andy dan Suporter Sepakbola
Rabu, 16 Mei 2012
Ibu Soenarti Soebadio Dalam Kenangan
Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Pukul 18.45, Rabu 16 Mei 2012,
telah pulang keharibaanNya Allah SWT guru kita Soenarti Soebadio (foto,85 th) di RS MMC Jakarta.
Mari kita bacakan Alfatihah sembari berdoa semoga amal ibadah beliau diterima dan kesalahannya dimaafkan. Amin.
Zulfikar Zen
JIP-FSUI
PS : Tolong beritahu teman2 alumni JIP-FSUI."
Itu tadi sms yang saya terima dari rekan saya Bakhuri Jamaluddin, Rabu, 16 Mei 2012, jam 21.25.21.
Song of Joy. Ketika saya menjadi mahasiswa JIP-FSUI, Ibu Soenarti menjabat sebagai Sekretaris Jurusan. Ketua Jurusan dijabat oleh Ibu Lily K. Somadikarta. Ibu Soenarti sendiri mengajar mata kuliah Bahan Referensi Umum. Asistennya, mBak Siti "Ining" Sumarningsih.
Mungkin karena sedikit banyak saya memiliki gen suka menulis, maka mata kuliah beliau tersebut menjadi salah satu favorit saya. Pengetahuan tentang pelbagai jenis sumber informasi, tentu saja masih saja sangat berguna puluhan tahun sesudah saya lulus.
Bisa dikatakan ia sudah menjadi "alat hidup" yang terintegrasi dalam diri saya guna menghasilkan karya-karya kreatif. Bahkan mungkin ini pula satu-satunya warisan kuliah yang tetap relevan dalam hidup saya sampai kini.
Salah satu kenangan yang melintas di benak saya adalah Ibu Soenarti pernah bertanya kepada seluruh kelas tentang nomor simfoninya Beethoven tetapi disajikan secara pop. Saya tunjuk jari. "Song of Joy" dan dinyanyikan Miguel Rios," jawab saya.
Reaksi lanjutan dari beliau tak terduga. "Sekarang Sdr. Bambang," lanjut beliau, "silakan untuk menyanyikan lagu itu bagi kita semua." Saya mati kutu. Saya angkat tangan.Saya tidak bisa menyanyi.
Desertir Perancis. Peristiwa lain, adalah saat saya, Sri Mulungsih dan Zul Herman, sama-sama kasak-kusuk, karena sama-sama takut bila nanti dipanggil oleh Ibu Soenarti. Sebagai sekretaris jurusan beliau mengetahui seluk-beluk data perkuliahan mahasiswa.
Kami bertiga saat itu diam-diam melakukan "desersi," membelot dari mata kuliah bahasa sumber, yaitu Bahasa Perancis, yang diampu oleh almarhumah Ibu Nurul Oetomo. Karena merasa kesulitan,setelah hanya mengikuti kuliah sekitar tiga bulan, kami berhenti diam-diam. Dampaknya, kami takut akan diinterogasi oleh Ibu Soenarti terkait tindak indisipliner kami ini.
Syukurlah, ada solusi. Sri Mulungsih tetap mengikuti mata kuliah itu. Saya dan Zul Herman, walau rugi waktu, pindah untuk mengikuti Bahasa Belanda.
Di kelas ini pula saya mengenal mahasiswi anggun dari Sastra Inggris, Siti Rabyah Parvati, yang putri pahlawan nasional Sutan Sjahrir. Saya suka duduk dibelakangnya, sehingga bisa minta bantuan saat kuis/tes berlangsung.
Perang Malvinas. Dalam kenangan saya juga terlintas saat saya mau memilih spesialisasi kajian tentang perpustakaan. Saya memilih perpustakaan khusus. Kuliahnya di PDII-LIPI, pengajarnya Bapak Blasius Sudarsono. Teman kuliah saya antara lain lain Bakhuri Jamaluddin, Djuhar (almarhum), Gemuru Ritonga, Gustina Sofia, Uhum Lantang Siagian (almarhum) dan Zul Herman. Itu teman-teman yang bisa saya ingat.
Tetapi saat itu, dalam berkonsultasi, Ibu Soenarti menganjurkan saya untuk memilih perpustakaan umum. Beliau merujuk riwayat hidup saya yang pernah memimpin sanggar melukis anak-anak dan menyukai bacaan anak-anak. Untuk yang terakhir ini nampaknya saya telah beliau plot untuk menjadi asisten Bapak Sunindyo, pengajar mata kuliah Bacaan Anak.
Yang terjadi kemudian saya justru menjadi asisten mahasiswa untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Perpustakaan membantu Bapak Achmad Royani ("kami suka mengobrol masalah persenjataan mutakhir, karena di tahun 1982 meletus Perang Malvinas"). Tetapi yang lebih lama, adalah menjadi asisten mata kuliah Media Teknologi, membantu Bapak Karmidi Martoatmodjo (almarhum).
Interaksi saya dengan Ibu Soenarti, juga dengan Ibu Somadikarta dan Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak (foto bawah), terjalin lebih dekat ketika bersama mBak Ining pula, kami mengadakan tur ke Undip Semarang. Cerita komplitnya di : sini.
Keterangan foto (ki-ka) : Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak (wafat 28 September 2010), Ibu Soenarti Soebadio (wafat 16 Mei 2012) dan Ibu Lily K. Somadikarta (wafat 18 April 2009).
Ketiganya saya potret bulan Oktober 1982, menjelang peringatan 30 Tahun Pendidikan Perpustakaan Indonesia di mana foto-foto para pengajar sejak tahun 1950-an dipamerkan. Kini beliau bertiga semoga senantiasa sejahtera disisiNya.
Lini Ashdown, putri Ibu Lily K. Somadikarta, yang bermukim di Inggris menulis komentar di Facebook terkait berita duka ini : "May she rest in peace. Lihat foto mereka bertiga saya hanya ingat kalau mereka cas cis cus pakai bahasa Belanda.
Makanya tadi waktu Bapak sms saya memberitahu Bu Narti meninggal saya langsung berpikir, habislah generasi itu. Waktu saya mengatakan ke suami: The end of Mama's generation, dia langsung tanya: Ada yang meninggal?"
Kabar dari Zul Herman, jenazah Ibu Soenarti Soebadio disemayamkan di rumah duka Jl. Siaga 2 No. 43, Pejaten, Pasar Minggu. Beliau akan dimakamkan Hari Kamis, 17 Mei 2012, setelah Zuhur, di Karet Bivak.
Selamat jalan, Ibu Soenarti Soebadio.
Wonogiri, 17 Mei 2012
Email : jip80fsui (at) gmail.com
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Pukul 18.45, Rabu 16 Mei 2012,
telah pulang keharibaanNya Allah SWT guru kita Soenarti Soebadio (foto,85 th) di RS MMC Jakarta.
Mari kita bacakan Alfatihah sembari berdoa semoga amal ibadah beliau diterima dan kesalahannya dimaafkan. Amin.
Zulfikar Zen
JIP-FSUI
PS : Tolong beritahu teman2 alumni JIP-FSUI."
Itu tadi sms yang saya terima dari rekan saya Bakhuri Jamaluddin, Rabu, 16 Mei 2012, jam 21.25.21.
Song of Joy. Ketika saya menjadi mahasiswa JIP-FSUI, Ibu Soenarti menjabat sebagai Sekretaris Jurusan. Ketua Jurusan dijabat oleh Ibu Lily K. Somadikarta. Ibu Soenarti sendiri mengajar mata kuliah Bahan Referensi Umum. Asistennya, mBak Siti "Ining" Sumarningsih.
Mungkin karena sedikit banyak saya memiliki gen suka menulis, maka mata kuliah beliau tersebut menjadi salah satu favorit saya. Pengetahuan tentang pelbagai jenis sumber informasi, tentu saja masih saja sangat berguna puluhan tahun sesudah saya lulus.
Bisa dikatakan ia sudah menjadi "alat hidup" yang terintegrasi dalam diri saya guna menghasilkan karya-karya kreatif. Bahkan mungkin ini pula satu-satunya warisan kuliah yang tetap relevan dalam hidup saya sampai kini.
Salah satu kenangan yang melintas di benak saya adalah Ibu Soenarti pernah bertanya kepada seluruh kelas tentang nomor simfoninya Beethoven tetapi disajikan secara pop. Saya tunjuk jari. "Song of Joy" dan dinyanyikan Miguel Rios," jawab saya.
Reaksi lanjutan dari beliau tak terduga. "Sekarang Sdr. Bambang," lanjut beliau, "silakan untuk menyanyikan lagu itu bagi kita semua." Saya mati kutu. Saya angkat tangan.Saya tidak bisa menyanyi.
Desertir Perancis. Peristiwa lain, adalah saat saya, Sri Mulungsih dan Zul Herman, sama-sama kasak-kusuk, karena sama-sama takut bila nanti dipanggil oleh Ibu Soenarti. Sebagai sekretaris jurusan beliau mengetahui seluk-beluk data perkuliahan mahasiswa.
Kami bertiga saat itu diam-diam melakukan "desersi," membelot dari mata kuliah bahasa sumber, yaitu Bahasa Perancis, yang diampu oleh almarhumah Ibu Nurul Oetomo. Karena merasa kesulitan,setelah hanya mengikuti kuliah sekitar tiga bulan, kami berhenti diam-diam. Dampaknya, kami takut akan diinterogasi oleh Ibu Soenarti terkait tindak indisipliner kami ini.
Syukurlah, ada solusi. Sri Mulungsih tetap mengikuti mata kuliah itu. Saya dan Zul Herman, walau rugi waktu, pindah untuk mengikuti Bahasa Belanda.
Di kelas ini pula saya mengenal mahasiswi anggun dari Sastra Inggris, Siti Rabyah Parvati, yang putri pahlawan nasional Sutan Sjahrir. Saya suka duduk dibelakangnya, sehingga bisa minta bantuan saat kuis/tes berlangsung.
Perang Malvinas. Dalam kenangan saya juga terlintas saat saya mau memilih spesialisasi kajian tentang perpustakaan. Saya memilih perpustakaan khusus. Kuliahnya di PDII-LIPI, pengajarnya Bapak Blasius Sudarsono. Teman kuliah saya antara lain lain Bakhuri Jamaluddin, Djuhar (almarhum), Gemuru Ritonga, Gustina Sofia, Uhum Lantang Siagian (almarhum) dan Zul Herman. Itu teman-teman yang bisa saya ingat.
Tetapi saat itu, dalam berkonsultasi, Ibu Soenarti menganjurkan saya untuk memilih perpustakaan umum. Beliau merujuk riwayat hidup saya yang pernah memimpin sanggar melukis anak-anak dan menyukai bacaan anak-anak. Untuk yang terakhir ini nampaknya saya telah beliau plot untuk menjadi asisten Bapak Sunindyo, pengajar mata kuliah Bacaan Anak.
Yang terjadi kemudian saya justru menjadi asisten mahasiswa untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Perpustakaan membantu Bapak Achmad Royani ("kami suka mengobrol masalah persenjataan mutakhir, karena di tahun 1982 meletus Perang Malvinas"). Tetapi yang lebih lama, adalah menjadi asisten mata kuliah Media Teknologi, membantu Bapak Karmidi Martoatmodjo (almarhum).
Interaksi saya dengan Ibu Soenarti, juga dengan Ibu Somadikarta dan Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak (foto bawah), terjalin lebih dekat ketika bersama mBak Ining pula, kami mengadakan tur ke Undip Semarang. Cerita komplitnya di : sini.
Keterangan foto (ki-ka) : Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak (wafat 28 September 2010), Ibu Soenarti Soebadio (wafat 16 Mei 2012) dan Ibu Lily K. Somadikarta (wafat 18 April 2009).
Ketiganya saya potret bulan Oktober 1982, menjelang peringatan 30 Tahun Pendidikan Perpustakaan Indonesia di mana foto-foto para pengajar sejak tahun 1950-an dipamerkan. Kini beliau bertiga semoga senantiasa sejahtera disisiNya.
Lini Ashdown, putri Ibu Lily K. Somadikarta, yang bermukim di Inggris menulis komentar di Facebook terkait berita duka ini : "May she rest in peace. Lihat foto mereka bertiga saya hanya ingat kalau mereka cas cis cus pakai bahasa Belanda.
Makanya tadi waktu Bapak sms saya memberitahu Bu Narti meninggal saya langsung berpikir, habislah generasi itu. Waktu saya mengatakan ke suami: The end of Mama's generation, dia langsung tanya: Ada yang meninggal?"
Kabar dari Zul Herman, jenazah Ibu Soenarti Soebadio disemayamkan di rumah duka Jl. Siaga 2 No. 43, Pejaten, Pasar Minggu. Beliau akan dimakamkan Hari Kamis, 17 Mei 2012, setelah Zuhur, di Karet Bivak.
Selamat jalan, Ibu Soenarti Soebadio.
Wonogiri, 17 Mei 2012
Kamis, 26 April 2012
Perpustakaan Jantung Pendidikan : Pustakawan Bukan Orang Buangan
Oleh :Bambang Soebendo
Dimuat di Harian Sinar Harapan, 25 Januari 1985
TUGU, JABAR. – Seorang pustakawan Universitas Peking tahun 1918 memutuskan berhenti sebagai pustakawan dan terjun dalam dunia politik. Pustakawan itu kemudian terkenal seantero dunia, bukan sebagai pustakawan tetapi lebih sebagai seorang politikus. Ia tidak lain Mao Tse Tung.
Dalam buku The Book of Lists terdapat nama-nama orang besar yang memulai kariernya sebagai seorang pustakawan. Selain Mao Tse Tung, tercantum pula Edgar Hoover (pimpinan FBI), Archibald McLeish (pendiri UNESCO) sampai Cassanova (bintang fil terkenal si penakluk wanita).
Ada anekdot tentang Mao ketika ia masih menjadi pustakawan. Suatu saat ia ditanyai oleh temannya, “Mengapa Anda berhenti sebagai seorang pustkawan ?”
Dengan tenang Mao menjawab : “Karena hasil akhir tugas pustakawan itu mirip dengan definisi filsafat dasar negeri Rusia, yaitu Marxisme-Leninisme. Saya tidak menyukai garis itu. Karena itu saya keluar dari profesi sebagai seorang pustakawan..”
[Anekdot itu komplitnya : Definisi Marxisme-Leninisme adalah aksi mencari kucing hitam di kamar yang gelap, dan kucing itu sebenarnya tidak ada, tetapi si pencari lalu berteriak-teriak : “Ini dia kucingnya, saya telah menangkapnya !”-BH].
Anekdot itu diungkapkan oleh Drs. Bambang Haryanto, seorang ahli informasi bidang sains-teknologi untuk pelbagai perusahaan/industri di Jakarta. Benar atau tidak anekdot itu, dan apa pun alasannya, Mao kemudian dikenal sebagai politikus daripada seorang pustakawan.
”Anekdot atau humor Ketua Mao itu mungkin ada benarnya, karena hasil kerja seorang pustakawan itu memang tidak segera nampak dalam wujud yang nyata, karena benda yang dijual adalah informasi, “ kata Bambang Haryanto menambahkan.
Keterangan gambar : Laporan lokakarya yang ditulis Bambang Soebendo di harian Sinar Harapan, Jumat, 25 Januari 1985.
Orang buangan.Benarkah pustakawan adalah orang buangan dan perpustakaan itu tempat buangan ? Masalah itu sempat menjadi topik yang menarik dalam Lokakarya Pengelolaan Sekolah di Tugu (Jawa Barat) belum lama berselang yang diselenggarakan oleh Klub Perpustakaan Indonesia (KPI) dan PN Balai Pustaka.
Ketua Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Mastini Hardjoprakoso, MLS melemparkan pendapat itu dengan mengatakan : “Profesi sebagai seorang pustakawan sampai saat ini masih kurang menarik. Dan ada anggapan sebagian orang bahwa perpustakaan adalah tempat buangan.”
Bagai gayung bersambut, Prof. Darji Darmodiharjo, SH (Dirjen Pendidikan dasar dan Menengah) yang hadir dan membuka resmi lokakarya itu dengan nada humor menjawab : “Kalau ada yang menganggap pustakawan itu orang buangan, ya itu salah buang. Yang jelas pustakawan itu orang buangan yang baik.”
Drs. Sukarman,MLS, Kepala Pusat Pembinaan Perpustakaan Depdikbud dalam kesempatan itu menyatakan kalau ada anggapan yang kurang benar terhadap profesi pustakawan, itu bukan kesalahan masyarakat. “Kita belum berhasil memperkenalkan profesi itu kepada masyarakat. Ini merupakan tantangan kita.”
Dr. Sulityo Basuki, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra UI dengan kalem berkata : “Kita tidak perlu berkecil hati dengan anggapan itu. Yang penting kita harus sekarang juga berbuat yang bermanfaat. Kalau tidak, kita akan lebih jauh tertinggal,” kata doktor perpustakaan dan informasi dari Case Western Reserve University (AS).
Betapa besar peranan para pustakawan dan perpustakaan dalam proses pendidikan secara plastis digambarkan oleh Prof. Darji Darmodiharjo : “Pada dasarnya fungsi perpustakaan itu sebagai jantung pendidikan, tidak hanya terbatas pada lembaga pendidikan, tetapi juga mencakup masyarakat sekitarnya.”
Tugas pustakawan dan perpustakaan sekolah adalah menyediakan jasa untuk membangkitkan siswa rasa “ingin tahu” dan “sadar informasi.” Tapi bagaimana kita mengukur dan mengetahui adanya peningkatan rasa “ingin tahu” dan “sadar informasi” pada anak-anak didik kita ?
”Peningkatan itu tidak nampak ‘dengan segera,’ jawab Drs. Bambang Haryanto ketika berbicara dalam lokakarya itu. “Mungkin karena hasil kerja yang tidak nampak itu maka profesi kita masih banyak mendapat hambatan,” tambahnya.
Pustakawan itu sama dengan seorang ilmuwan, kata Drs. Sukarman. Apa sebab ? “Perpustakaan adalah sumber ilmu pengetahuan. Dan seorang pustakawan harus mampu menguasai sumber-sumber ilmu yang ada di dalamnya. Nah, menjadi seorang pustakawan tidak perlu rendah diri. Sebaliknya harus bangga karena ia bekerja untuk melayani orang lain, yaitu memberikan informasi dan sumber ilmu.”
Tema yang dipilih oleh Klub Perpustakaan Indonesia dalam memperingati hari ulang tahunnya ketiga bukan dengan pesta atau hura-hura, tetapi dengan lokakarya pantas dihargai. Apalagi masalah yang diangkat cukup menarik yaitu pengelolaan perpustakaan sekolah.
Citra. Citra atau ciri khas perpustakaan sekolah di Indonesia sampai sekarang kebanyakan kurang menggembirakan. Seperti diungkapkan Dr. Sulistyo Basuki : tak punya ruangan khusus, jam buka yang tidak jelas, koleksi kurang lengkap dan pengelolaan yang kurang profesional.
Jangankan dibandingkan dengan Eropa atau Amerika atau Singapura. Dengan Filipina yang punya hutang lebih banyak atau Muangthai yang selalu dilanda perrang, perpustakaan sekolah di Indonesia sudah jauh tertinggal.
Sebagai contoh di Filipina pembangunan sebuah sekolah selalu dibarengi dengan pembangunan perpustakaan. Dan semua mata pelajaran selalu dikaitkan dengan perpustakaan karena tujuan pendidikan di sana tidak sekadar menerima informasi, tetapi lewat perpustakaan merangsang murid untuk mencari dan menggali informasi. Sistem demikian juga diterapkan di Muangthai.
“Sistem yang demikian belum berlaku di Indonesia. Murid hanya secara pasif menerima informasi. Ini kritik saya terhadap sistem pendidikan di Indonesia mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi,” kata Dr. Sulistyo Basuki.
Sekali pun perpustakaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sekolah, namun belum semua –bahkan sebagian besar sekolah di Indonesia—belum memanfaatkan atau menganggap penting perpustakaan. Dengan kalem pula ia berkata : “Biang keroknya adalah Kepala Sekolah. Mereka tak tahu soal perpustakaan, tapi suka mengatur,” yang disambut senyum beberapa kepala sekolah yang hadir dalam lokakarya itu.
Kritik lain yang dilontarkan oleh doktor pertama ilmu perpustakaan dan informasi itu mengenai pembagian buku paket yang kurang tepat. Seorang anak SD di pegunungan menerima buku paket tentang kehidupan nelayan. “Sulit membayangkan bagi anak yang tidak pernah melihat pantai dan kehidupan nelayan,” ujarnya.
T. Tambunan, seorang pengawas pendidikan di Jakarta melihat beberapa kelemahan perpustakaan sekolah, terutama menyangkut masalah ketenagaan, koleksi dan tempat. Ia kurang sependapat kalau para kepala sekolah dijadikan biang kerok mundurnya perpustakaan sekolah.
“Kebudayaan kita kan kebudayaan instruksi. Kalau ada instruksi bahwa perpustakaan sekolah itu penting dan dimasukkan dalam daftar penilaian, pasti instruksi itu akan dilaksanakan. Dan pekerjaan kepala sekolah sekarang ini bermacam-macam. Mungkin perpustakaan belum dianggap penting,” katanya dengan senyum.
Benarkah pemerintah kurang memperhatikan perpustakaan dan nasib pengelolanya ? Pertanyaan ini banyak dilontarkan dalam lokakarya yang berlangsung selama tiga hari itu.
Jawaban dari Dirjen Dikdasmen Depdikbud Prof. Darji dan Drs. Sukarman cukup menggembirakan. Misalnya pemerintah dalam waktu dekat akan memberikan tunjangan pendidikan bagi guru-guru yang mengelola perpustakaan. Sudah ada instruksi setiap sekolah harus menyediakan perpustakaan.
“Tidak usah muluk-muluk. Kalau tidak ada tempat khusus bisa mempergunakan ruangan lain seperti ruang guru atau ruang kepala sekolah. Bahkan di pojok-pojok ruangan bisa dipergunakan untuk perpustakaan. Kalau ini tidak bisa dilaksanakan, lebih baik sekolahnya ditutup,” kata Prof. darji.
Perhatian pemerintah terhadap pengembangan perpustakaan bukan hanya besar, tetapi berlipat ganda. Sekarang ini disediakan dana tidak kurang dari Rp. 8 milyar.
“Tapi dana yang besar itu sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dengan banyak dan luas daerah yang harus dibina,” kata Drs. Sukarman. Bayangkan, sekarang ini Indonesia memiliki 150.000 Sekolah dasar, 20.000 Sekolah Lanjutan seta 65.000 desa yang akan memiliki perpustakaan.
Diharapkan dalam waktu dekat akan dikeluarkan DIP (Daftar Isian Proyek) untuk membangun gedung perpustakaan. Menurut Sukarman di tiap-tiap sekolah sebenarnya ada anggaran untuk membeli buku. “Tapi seringkali anggaran untuk membeli buku perpustakaan kalah untuk membeli kapur atau membayar honor guru,” katanya menyindir.
Seorang guru putri yang mengelola perpustakaan di SMA Negeri Depok menyatakan tidak tahu menahu kalau ada anggaran khusus untuk membeli buku. “Saya tidak tahu itu. Saya berusaha mencari sendiri lewat donator atau terpaksa memungut sewa buku,” jawabnya.
Bukan Niteklub. “Klub Perpustakaan Indonesia, bukan niteclub, lho,” kata Dra. Ny. Adwityani S. Subagio, SH., Ketua KPI ketika memperkenalkan diri kepada peserta lokakarya.
“Pada mulanya banyak yang salah faham. Dikiranya klub yang satu ini sama dengan klub-klub yang sering dikunjungi bapak-bapak. Wah, berabe, to !,” katanya dalam dialek Jawa Timur yang terkadang masih kentara.
Dalam usianya tiga tahun KPI tampak memperlihatkan kegiatan yang amat bermanfaat, walau pun belum bisa merata. KPI yang lahir tanggal 4 Januari 1982 dalam suatu pertemuan di Hotel Wisata Jakarta bertujuan sederhana : memberikan bantuan dan pelayanan kepada para anggotanya terutama yang menyangkut masalah buku dan perpustakaan.
Langkah ini sudah dimulai dengan memberikan kredit buku kepada para anggotanya sampai sekitar Rp. 600.000,00 yang dapat dicicil dalam waktu 10 bulan. Untuk tahap pertama baru PN Balai Pustaka, tapi diharapkan penerbit-penerbit lain akan bersedia menunjangnya walau pun persyaratan yang sedikit berbeda.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Nugroho Notosusanto menyambut baik kehadiran KPI ini. “Adanya organisasi yang bertujuan membantu memajukan perpustakaan, memperkenalkan dunia perbukuan dan merangsang minat baca masyarakat seperti apa yang selama ini dilakukan oleh Klub Perpustakaan Indonesia adalah sangat membantu berhasilnya wajib belajar yang menjadi bagian dari program pendidikan pemerintah.”
Indonesia dengan penduduknya hampir 150 juta orang merupakan ladang yang baik bagi pemasaran buku. Seperti dikatakan oleh Drs. Sukarman, KPI akan dirasakan bermanfaat bila dapat mengkhususkan diri dalam memproses buku-buku yang akan dibeli oleh perpustakaan. Ini berarti efisiensi dan menghemat ongkos sampai 15 persen. Maklumlah perpustakaan di sekolah hanya memberikan pelayanan saja, sedangkan kebanyakan para pengelolalnya masih awam dalam memproses buku seperti pembuatan katalog dan lain sebagainya.
Menurut catatan sampai di usianya yang ketiga KPI telah memiliki hampir 4000 anggota yang terdiri dari perpustakaan sekolah, perpustakaan khusus dan umum yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Namun demikian KPI belum dirasakan memasyarakat.
“Media massa itu penting. Ia seperti ‘Tuhan’ yang kedua karena pengaruh yang ditimbulkan begitu besar,” kata Drs. Bambang Haryanto ketika membicarakan dasar-dasar kehumasan dalam menunjang keberhasilan tugas-tugas perpustakaan.
Nah, kiranya KPI bisa memanfaatkan beberapa resep yang diberikannya. Selamat bekerja !
[Diunggah oleh Bambang Haryanto].
Catatan Bambang Haryanto:
Tamu undangan peringatan hari ulang tahun KPI Ke-4, 4 Januari 1986, di Pondok Putri Duyung, Ancol. Nampak dalam foto (ka-ki) : Bapak Nichlany Sudirdjo, Ketua PPIA-LIA, Bambang Soebendo dan Kanya Damayanti, keduanya waratawan harian Sinar Harapan.
Dalam mengunggah laporan Mas Bambang Soebendo ke blog ini ada sesuatu yang terasa kurang. Karena penulisnya, beberapa tahun lalu telah meninggal dunia.
Saya tahu sosoknya, tapi belum kenal, ketika kami sama-sama mengikuti Pertemuan Antar-Dewan Kesenian Se-Indonesia di Malang, 1978. Ketika melihat sosoknya di Kantor KPI sebelum rombongan berangkat ke Tugu (1985), beliau saya sapa, dengan rujukan acara di Malang itu. Kami lalu menjadi akrab. Beliau dulu adalah wartawan Sinar Harapan di Yogya. Saat itu beliau lalu saya kenalkan kepada Bapak Sulistyo Basuki.
Kantor redaksi Sinar Harapan yang ada di Otista-Cawang, bukan tempat yang asing bagi saya. Sebagai penulis freelance, saya sering harus menjemput honor kesana. Melalui Mas Bambang pula, saya bisa kenal wartawan dari Tabloid Mutiara, walau ada satu wartawati cantik, tinggi dan semampai (“dia atlet bola volley andalan kampusnya”) yang saya pengin kenal, tetapi tidak kenal namanya.
Setelah pertemuan di Tugu, kami ketemu lagi di acara HUT IV KPI 1986, di Pondok Putri Duyung, Ancol (4/1/1986). Saat itu Mas Bambang disertai wartawati Sinar Harapan yang lama sekali ingin saya ketahui namanya. Kanya Damayanti.
Kanya saat itu agak “shock” ketika dalam obrolan saya bisa memunculkan topik tentang beberapa tulisan dia yang bertopik perpustakaan. Termasuk laporannya dari Paris. Kanya ternyata masih famili dengan Bapak Subekti, redaktur sains & teknologi koran yang sama, penguasa kolom yang sering saya isi dengan artikel-artikel goresan saya.
Semoga Mas Bambang Soebendo kini senantiasa sejahtera disisiNya. Jasa Anda yang pernah jadi humasnya perpustakaan, tidak akan saya lupakan. Untuk Prof. Sulistyo Basuki, moga masih ingat saat-saat kita “mengamen” bareng di kawasan Puncak ini :-).
Wonogiri, 25/4/2012
Dimuat di Harian Sinar Harapan, 25 Januari 1985
TUGU, JABAR. – Seorang pustakawan Universitas Peking tahun 1918 memutuskan berhenti sebagai pustakawan dan terjun dalam dunia politik. Pustakawan itu kemudian terkenal seantero dunia, bukan sebagai pustakawan tetapi lebih sebagai seorang politikus. Ia tidak lain Mao Tse Tung.
Dalam buku The Book of Lists terdapat nama-nama orang besar yang memulai kariernya sebagai seorang pustakawan. Selain Mao Tse Tung, tercantum pula Edgar Hoover (pimpinan FBI), Archibald McLeish (pendiri UNESCO) sampai Cassanova (bintang fil terkenal si penakluk wanita).
Ada anekdot tentang Mao ketika ia masih menjadi pustakawan. Suatu saat ia ditanyai oleh temannya, “Mengapa Anda berhenti sebagai seorang pustkawan ?”
Dengan tenang Mao menjawab : “Karena hasil akhir tugas pustakawan itu mirip dengan definisi filsafat dasar negeri Rusia, yaitu Marxisme-Leninisme. Saya tidak menyukai garis itu. Karena itu saya keluar dari profesi sebagai seorang pustakawan..”
[Anekdot itu komplitnya : Definisi Marxisme-Leninisme adalah aksi mencari kucing hitam di kamar yang gelap, dan kucing itu sebenarnya tidak ada, tetapi si pencari lalu berteriak-teriak : “Ini dia kucingnya, saya telah menangkapnya !”-BH].
Anekdot itu diungkapkan oleh Drs. Bambang Haryanto, seorang ahli informasi bidang sains-teknologi untuk pelbagai perusahaan/industri di Jakarta. Benar atau tidak anekdot itu, dan apa pun alasannya, Mao kemudian dikenal sebagai politikus daripada seorang pustakawan.
”Anekdot atau humor Ketua Mao itu mungkin ada benarnya, karena hasil kerja seorang pustakawan itu memang tidak segera nampak dalam wujud yang nyata, karena benda yang dijual adalah informasi, “ kata Bambang Haryanto menambahkan.
Keterangan gambar : Laporan lokakarya yang ditulis Bambang Soebendo di harian Sinar Harapan, Jumat, 25 Januari 1985.
Orang buangan.Benarkah pustakawan adalah orang buangan dan perpustakaan itu tempat buangan ? Masalah itu sempat menjadi topik yang menarik dalam Lokakarya Pengelolaan Sekolah di Tugu (Jawa Barat) belum lama berselang yang diselenggarakan oleh Klub Perpustakaan Indonesia (KPI) dan PN Balai Pustaka.
Ketua Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Mastini Hardjoprakoso, MLS melemparkan pendapat itu dengan mengatakan : “Profesi sebagai seorang pustakawan sampai saat ini masih kurang menarik. Dan ada anggapan sebagian orang bahwa perpustakaan adalah tempat buangan.”
Bagai gayung bersambut, Prof. Darji Darmodiharjo, SH (Dirjen Pendidikan dasar dan Menengah) yang hadir dan membuka resmi lokakarya itu dengan nada humor menjawab : “Kalau ada yang menganggap pustakawan itu orang buangan, ya itu salah buang. Yang jelas pustakawan itu orang buangan yang baik.”
Drs. Sukarman,MLS, Kepala Pusat Pembinaan Perpustakaan Depdikbud dalam kesempatan itu menyatakan kalau ada anggapan yang kurang benar terhadap profesi pustakawan, itu bukan kesalahan masyarakat. “Kita belum berhasil memperkenalkan profesi itu kepada masyarakat. Ini merupakan tantangan kita.”
Dr. Sulityo Basuki, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra UI dengan kalem berkata : “Kita tidak perlu berkecil hati dengan anggapan itu. Yang penting kita harus sekarang juga berbuat yang bermanfaat. Kalau tidak, kita akan lebih jauh tertinggal,” kata doktor perpustakaan dan informasi dari Case Western Reserve University (AS).
Betapa besar peranan para pustakawan dan perpustakaan dalam proses pendidikan secara plastis digambarkan oleh Prof. Darji Darmodiharjo : “Pada dasarnya fungsi perpustakaan itu sebagai jantung pendidikan, tidak hanya terbatas pada lembaga pendidikan, tetapi juga mencakup masyarakat sekitarnya.”
Tugas pustakawan dan perpustakaan sekolah adalah menyediakan jasa untuk membangkitkan siswa rasa “ingin tahu” dan “sadar informasi.” Tapi bagaimana kita mengukur dan mengetahui adanya peningkatan rasa “ingin tahu” dan “sadar informasi” pada anak-anak didik kita ?
”Peningkatan itu tidak nampak ‘dengan segera,’ jawab Drs. Bambang Haryanto ketika berbicara dalam lokakarya itu. “Mungkin karena hasil kerja yang tidak nampak itu maka profesi kita masih banyak mendapat hambatan,” tambahnya.
Pustakawan itu sama dengan seorang ilmuwan, kata Drs. Sukarman. Apa sebab ? “Perpustakaan adalah sumber ilmu pengetahuan. Dan seorang pustakawan harus mampu menguasai sumber-sumber ilmu yang ada di dalamnya. Nah, menjadi seorang pustakawan tidak perlu rendah diri. Sebaliknya harus bangga karena ia bekerja untuk melayani orang lain, yaitu memberikan informasi dan sumber ilmu.”
Tema yang dipilih oleh Klub Perpustakaan Indonesia dalam memperingati hari ulang tahunnya ketiga bukan dengan pesta atau hura-hura, tetapi dengan lokakarya pantas dihargai. Apalagi masalah yang diangkat cukup menarik yaitu pengelolaan perpustakaan sekolah.
Citra. Citra atau ciri khas perpustakaan sekolah di Indonesia sampai sekarang kebanyakan kurang menggembirakan. Seperti diungkapkan Dr. Sulistyo Basuki : tak punya ruangan khusus, jam buka yang tidak jelas, koleksi kurang lengkap dan pengelolaan yang kurang profesional.
Jangankan dibandingkan dengan Eropa atau Amerika atau Singapura. Dengan Filipina yang punya hutang lebih banyak atau Muangthai yang selalu dilanda perrang, perpustakaan sekolah di Indonesia sudah jauh tertinggal.
Sebagai contoh di Filipina pembangunan sebuah sekolah selalu dibarengi dengan pembangunan perpustakaan. Dan semua mata pelajaran selalu dikaitkan dengan perpustakaan karena tujuan pendidikan di sana tidak sekadar menerima informasi, tetapi lewat perpustakaan merangsang murid untuk mencari dan menggali informasi. Sistem demikian juga diterapkan di Muangthai.
“Sistem yang demikian belum berlaku di Indonesia. Murid hanya secara pasif menerima informasi. Ini kritik saya terhadap sistem pendidikan di Indonesia mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi,” kata Dr. Sulistyo Basuki.
Sekali pun perpustakaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sekolah, namun belum semua –bahkan sebagian besar sekolah di Indonesia—belum memanfaatkan atau menganggap penting perpustakaan. Dengan kalem pula ia berkata : “Biang keroknya adalah Kepala Sekolah. Mereka tak tahu soal perpustakaan, tapi suka mengatur,” yang disambut senyum beberapa kepala sekolah yang hadir dalam lokakarya itu.
Kritik lain yang dilontarkan oleh doktor pertama ilmu perpustakaan dan informasi itu mengenai pembagian buku paket yang kurang tepat. Seorang anak SD di pegunungan menerima buku paket tentang kehidupan nelayan. “Sulit membayangkan bagi anak yang tidak pernah melihat pantai dan kehidupan nelayan,” ujarnya.
T. Tambunan, seorang pengawas pendidikan di Jakarta melihat beberapa kelemahan perpustakaan sekolah, terutama menyangkut masalah ketenagaan, koleksi dan tempat. Ia kurang sependapat kalau para kepala sekolah dijadikan biang kerok mundurnya perpustakaan sekolah.
“Kebudayaan kita kan kebudayaan instruksi. Kalau ada instruksi bahwa perpustakaan sekolah itu penting dan dimasukkan dalam daftar penilaian, pasti instruksi itu akan dilaksanakan. Dan pekerjaan kepala sekolah sekarang ini bermacam-macam. Mungkin perpustakaan belum dianggap penting,” katanya dengan senyum.
Benarkah pemerintah kurang memperhatikan perpustakaan dan nasib pengelolanya ? Pertanyaan ini banyak dilontarkan dalam lokakarya yang berlangsung selama tiga hari itu.
Jawaban dari Dirjen Dikdasmen Depdikbud Prof. Darji dan Drs. Sukarman cukup menggembirakan. Misalnya pemerintah dalam waktu dekat akan memberikan tunjangan pendidikan bagi guru-guru yang mengelola perpustakaan. Sudah ada instruksi setiap sekolah harus menyediakan perpustakaan.
“Tidak usah muluk-muluk. Kalau tidak ada tempat khusus bisa mempergunakan ruangan lain seperti ruang guru atau ruang kepala sekolah. Bahkan di pojok-pojok ruangan bisa dipergunakan untuk perpustakaan. Kalau ini tidak bisa dilaksanakan, lebih baik sekolahnya ditutup,” kata Prof. darji.
Perhatian pemerintah terhadap pengembangan perpustakaan bukan hanya besar, tetapi berlipat ganda. Sekarang ini disediakan dana tidak kurang dari Rp. 8 milyar.
“Tapi dana yang besar itu sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dengan banyak dan luas daerah yang harus dibina,” kata Drs. Sukarman. Bayangkan, sekarang ini Indonesia memiliki 150.000 Sekolah dasar, 20.000 Sekolah Lanjutan seta 65.000 desa yang akan memiliki perpustakaan.
Diharapkan dalam waktu dekat akan dikeluarkan DIP (Daftar Isian Proyek) untuk membangun gedung perpustakaan. Menurut Sukarman di tiap-tiap sekolah sebenarnya ada anggaran untuk membeli buku. “Tapi seringkali anggaran untuk membeli buku perpustakaan kalah untuk membeli kapur atau membayar honor guru,” katanya menyindir.
Seorang guru putri yang mengelola perpustakaan di SMA Negeri Depok menyatakan tidak tahu menahu kalau ada anggaran khusus untuk membeli buku. “Saya tidak tahu itu. Saya berusaha mencari sendiri lewat donator atau terpaksa memungut sewa buku,” jawabnya.
Bukan Niteklub. “Klub Perpustakaan Indonesia, bukan niteclub, lho,” kata Dra. Ny. Adwityani S. Subagio, SH., Ketua KPI ketika memperkenalkan diri kepada peserta lokakarya.
“Pada mulanya banyak yang salah faham. Dikiranya klub yang satu ini sama dengan klub-klub yang sering dikunjungi bapak-bapak. Wah, berabe, to !,” katanya dalam dialek Jawa Timur yang terkadang masih kentara.
Dalam usianya tiga tahun KPI tampak memperlihatkan kegiatan yang amat bermanfaat, walau pun belum bisa merata. KPI yang lahir tanggal 4 Januari 1982 dalam suatu pertemuan di Hotel Wisata Jakarta bertujuan sederhana : memberikan bantuan dan pelayanan kepada para anggotanya terutama yang menyangkut masalah buku dan perpustakaan.
Langkah ini sudah dimulai dengan memberikan kredit buku kepada para anggotanya sampai sekitar Rp. 600.000,00 yang dapat dicicil dalam waktu 10 bulan. Untuk tahap pertama baru PN Balai Pustaka, tapi diharapkan penerbit-penerbit lain akan bersedia menunjangnya walau pun persyaratan yang sedikit berbeda.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Nugroho Notosusanto menyambut baik kehadiran KPI ini. “Adanya organisasi yang bertujuan membantu memajukan perpustakaan, memperkenalkan dunia perbukuan dan merangsang minat baca masyarakat seperti apa yang selama ini dilakukan oleh Klub Perpustakaan Indonesia adalah sangat membantu berhasilnya wajib belajar yang menjadi bagian dari program pendidikan pemerintah.”
Indonesia dengan penduduknya hampir 150 juta orang merupakan ladang yang baik bagi pemasaran buku. Seperti dikatakan oleh Drs. Sukarman, KPI akan dirasakan bermanfaat bila dapat mengkhususkan diri dalam memproses buku-buku yang akan dibeli oleh perpustakaan. Ini berarti efisiensi dan menghemat ongkos sampai 15 persen. Maklumlah perpustakaan di sekolah hanya memberikan pelayanan saja, sedangkan kebanyakan para pengelolalnya masih awam dalam memproses buku seperti pembuatan katalog dan lain sebagainya.
Menurut catatan sampai di usianya yang ketiga KPI telah memiliki hampir 4000 anggota yang terdiri dari perpustakaan sekolah, perpustakaan khusus dan umum yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Namun demikian KPI belum dirasakan memasyarakat.
“Media massa itu penting. Ia seperti ‘Tuhan’ yang kedua karena pengaruh yang ditimbulkan begitu besar,” kata Drs. Bambang Haryanto ketika membicarakan dasar-dasar kehumasan dalam menunjang keberhasilan tugas-tugas perpustakaan.
Nah, kiranya KPI bisa memanfaatkan beberapa resep yang diberikannya. Selamat bekerja !
[Diunggah oleh Bambang Haryanto].
Catatan Bambang Haryanto:
Tamu undangan peringatan hari ulang tahun KPI Ke-4, 4 Januari 1986, di Pondok Putri Duyung, Ancol. Nampak dalam foto (ka-ki) : Bapak Nichlany Sudirdjo, Ketua PPIA-LIA, Bambang Soebendo dan Kanya Damayanti, keduanya waratawan harian Sinar Harapan.
Dalam mengunggah laporan Mas Bambang Soebendo ke blog ini ada sesuatu yang terasa kurang. Karena penulisnya, beberapa tahun lalu telah meninggal dunia.
Saya tahu sosoknya, tapi belum kenal, ketika kami sama-sama mengikuti Pertemuan Antar-Dewan Kesenian Se-Indonesia di Malang, 1978. Ketika melihat sosoknya di Kantor KPI sebelum rombongan berangkat ke Tugu (1985), beliau saya sapa, dengan rujukan acara di Malang itu. Kami lalu menjadi akrab. Beliau dulu adalah wartawan Sinar Harapan di Yogya. Saat itu beliau lalu saya kenalkan kepada Bapak Sulistyo Basuki.
Kantor redaksi Sinar Harapan yang ada di Otista-Cawang, bukan tempat yang asing bagi saya. Sebagai penulis freelance, saya sering harus menjemput honor kesana. Melalui Mas Bambang pula, saya bisa kenal wartawan dari Tabloid Mutiara, walau ada satu wartawati cantik, tinggi dan semampai (“dia atlet bola volley andalan kampusnya”) yang saya pengin kenal, tetapi tidak kenal namanya.
Setelah pertemuan di Tugu, kami ketemu lagi di acara HUT IV KPI 1986, di Pondok Putri Duyung, Ancol (4/1/1986). Saat itu Mas Bambang disertai wartawati Sinar Harapan yang lama sekali ingin saya ketahui namanya. Kanya Damayanti.
Kanya saat itu agak “shock” ketika dalam obrolan saya bisa memunculkan topik tentang beberapa tulisan dia yang bertopik perpustakaan. Termasuk laporannya dari Paris. Kanya ternyata masih famili dengan Bapak Subekti, redaktur sains & teknologi koran yang sama, penguasa kolom yang sering saya isi dengan artikel-artikel goresan saya.
Semoga Mas Bambang Soebendo kini senantiasa sejahtera disisiNya. Jasa Anda yang pernah jadi humasnya perpustakaan, tidak akan saya lupakan. Untuk Prof. Sulistyo Basuki, moga masih ingat saat-saat kita “mengamen” bareng di kawasan Puncak ini :-).
Wonogiri, 25/4/2012
Selasa, 17 April 2012
18 April 2012 : Tiga Tahun Ibu Lily K. Somadikarta Berpulang
Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Tanggal bersejarah. Samuel P. Huntington, ilmuwan politik AS yang terkenal dengan tesis benturan peradaban, lahir 18 April 1927. Komedian sohor AS,Conan O'Brien, lahir 18 April 1963. Pesepakbola asal Swedia, Stefan Schwarz, lahir pada tanggal yang sama di tahun 1969.
Ahli botani Inggris, Erasmus Darwin, wafat pada tanggal 18 April 1802. Albert Einstein, wafat 18 April 1955. Thor Heyerdahl, penjelajah Norwegia yang terkenal dengan perahu “Ra”-nya, wafat pada tanggal yang sama, tahun 2002.
Dunia pendidikan ilmu perpustakaan Indonesia, pada tanggal yang sama di tahun 2009, telah kehilangan salah satu tokohnya yang terkemuka. Ibu Lily Koeshartini Somadikarta (foto), telah menghadap Sang Khalik. Beliau dimakamkan di Pemakaman Umum Blender, Kebon Pedes, Bogor.
Catatan kenangan. Melalui bantuan Google, saya bisa menemukan beberapa catatan menarik. Yang tidak saya temui via Internet, tetapi berdasar cerita dari putrinya mBak Lini Ashdown yang tinggal di Inggris, ada hal yang mengejutkan bagi saya.
Ternyata Ibu Soma itu menyukai sepakbola. Bahkan mBak Lini cerita, beliau sampai rela bangun dini hari untuk menonton tayangan pertandingan sepakbola di televisi. Umpama informasi ini saya ketahui saat saya menjadi mahasiswa beliau di Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (saat itu) di tahun 1980, pasti beliau akan saya ajak mengobrol tentang permainan si kulit bundar tersebut.
Reuni Tiga Generasi. Dalam acara reuni Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI 2008 nampak dari kiri Hartadi Wibowo (mahasiswa angkatan masuk 1980), putrinya Tyas "Yaz" Anggraeni yang juga mahasiswa JIP, Ibu Lily K. Somadikarta dan rekan seangkatan Hartadi Wibowo, Rizal Saiful-haq. Rizal ini mengikuti jejak Ibu Soma sebagai pengajar dan ketua jurusan Ilmu Perpustakaan di UIN Jakarta.
Memutar kenangan tentang beliau, antara lain tersaji laporan gegap gempita :-) tentang kegiatan mahasiswa JIP-FSUI pada bulan Juni 2006 ketika menyelenggarakan pesta untuk merayakan hari ulang tahun Ibu Soma (1/6/1926) dan Ibu Soenarti Soebadio.
Sebelumnya, di tahun 2003, mahasiswi JIP-FSUI Rosmi Julitasari dengan bimbingan Putu Laxman Pendit telah menulis skripsi berjudul Pemikiran Lily K. Somadikarta : Pendidikan dan Ilmuwan Di Bidang Ilmu Perpustakaan. Ketika Ibu Soma wafat, penulis yang sama dan dikabarkan sedang menulis biografi Ibu Soma telah menuliskan obituari yang menyentuh.
Judulnya : Mengenang Lily K. Somadikarta: Perintis Pendidikan Ilmu Perpustakaan di Indonesia. Rosmi Julitasari mengakhiri tulisan panjang yang mencakup sejarah perjalanan karier Ibu Soma itu dengan doa :
”Selamat jalan, Ibu Lily K. Somadikarta. Saya yakin Ibu akan damai di sana, karena para malaikat pasti bergegap gempita menyambut umat Tuhan seperti Ibu, yang telah menanamkan ilmu di pemikiran banyak orang yang telah Ibu didik.”
“Istri saya, itu orang yang paling terdekat,” demikian Profesor Soekarja Somadikarta, suami Ibu Soma, ketika diwawancarai oleh wartawan Radio BBC Siaran Indonesia Heyder Affan, 30/11/2011 (Audio). Saat itu Bapak Soma baru saja memperoleh penghargaan Habibie Award 2011 atas dedikasinya pada bidang ilmu dasar.
Dan tatkala istrinya meninggal dunia, Somadikarta merasa kehilangan. Dia mengaku 'sakit' kalau teringat sosok sang mendiang.
“Tapi itu takdir,” imbuhnya cepat-cepat, dengan nada bergetar.
“Saya bersujud kepada Tuhan... Itu takdir, ndak bisa diapa-apakan”.
Profesor Soma mengaku almarhumah istrinya berperan besar atas perjalanan hidupnya.
Selama 54 tahun mengarungi hidup bersama (dan dikaruniai dua orang anak), membuat Soma dan pasangan hidupnya itu saling mengenal. Berulangkali ditinggal untuk kepentingan akademis (yang bisa menghabiskan 3 atau 4 bulan), menurut sang profesor, istrinya bisa menerima kenyataan seperti itu.
“Istri saya begitu menghargai....Itu yang tidak bisa saya melupakan,” katanya, lirih.
Peristirahatan abadi. Di lingkup rindang pohon besar, terletak makam Ibu Somadikarta, yang dijadikan satu dengan putra beliau, Dedi A. Somadikarta yang mendahului menghadap Sang Khalik tanggal 18 Januari 1985.
Dalam blog saya. Sebagai mahasiswa beliau, sungguh suatu kehormatan ketika saya memperoleh kepercayaan dari beliau dan juga dari jurusan untuk hal-hal tertentu. Ketika jurusan akan melakukan pembelian sarana fotografi, saya mendapat tugas untuk mendaftar kamera, lensa dan sarana penunjang lainnya yang pantas untuk dibeli.
Belum lagi pengalaman menarik di bulan Maret 1984 ketika menyertai Ibu Soma, Ibu Soenarti Soebadio, Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak dan mBak Siti “Ining” Sumarningsih, untuk tur menjadi nara sumber dalam seminar di Perpustakaan Universitas Diponegoro di Semarang. Lengkapnya :
Dosen JIP Gadungan Beraksi di UNDIP Semarang
Ajaran Ibu Soma,Gus Doerr dan Katalog Yang Menari
Reuni JIP-FSUI 2008, Reuni Tiga Generasi.
Tanggal 10 dan 11 Desember 2011, dengan bantuan informasi dan panduan dari mBak Lini dan Bapak Soma, saya akhirnya dapat berziarah ke makam Ibu Somadikarta. Hari pertama, saya membawa kamera digital yang layar LCD-nya sudah rusak. Hasil fotonya, tidak memuaskan. Saat itu saya dipandu oleh juru kunci, yaitu Andri (No. HP-nya : 087711144692).
Esoknya, saya dapat pinjaman kamera yang lebih “waras” milik adik saya yang wartawan Tabloid BOLA, Broto Happy W. dan sebagai warga Bogor, saya bisa memotret lebih baik.Ada rasa kelegaan bisa mendoakan beliau. Semoga Ibu Somadikarta senantiasa sejahtera di sisiNya.
Ketika mengetik tulisan ini saya mengirimkan SMS kepada Bapak Somadikarta. Beliau menjawab : "Sdr Bambang yang baik, banyak tks utk sms dan doa'nya utk Ibu. Kami br dr makam Ibu. Lini dg teman2nya sekarang sedang ke makam teman dekatnya di luar Bogor. Salam hangat jg dr Lini, dan smg Anda trs produktif menulis, SS." (18/4/2018 : 10.43.30).
Terima kasih kembali, Bapak Soma.
Wonogiri, 18/4/2012
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Tanggal bersejarah. Samuel P. Huntington, ilmuwan politik AS yang terkenal dengan tesis benturan peradaban, lahir 18 April 1927. Komedian sohor AS,Conan O'Brien, lahir 18 April 1963. Pesepakbola asal Swedia, Stefan Schwarz, lahir pada tanggal yang sama di tahun 1969.
Ahli botani Inggris, Erasmus Darwin, wafat pada tanggal 18 April 1802. Albert Einstein, wafat 18 April 1955. Thor Heyerdahl, penjelajah Norwegia yang terkenal dengan perahu “Ra”-nya, wafat pada tanggal yang sama, tahun 2002.
Dunia pendidikan ilmu perpustakaan Indonesia, pada tanggal yang sama di tahun 2009, telah kehilangan salah satu tokohnya yang terkemuka. Ibu Lily Koeshartini Somadikarta (foto), telah menghadap Sang Khalik. Beliau dimakamkan di Pemakaman Umum Blender, Kebon Pedes, Bogor.
Catatan kenangan. Melalui bantuan Google, saya bisa menemukan beberapa catatan menarik. Yang tidak saya temui via Internet, tetapi berdasar cerita dari putrinya mBak Lini Ashdown yang tinggal di Inggris, ada hal yang mengejutkan bagi saya.
Ternyata Ibu Soma itu menyukai sepakbola. Bahkan mBak Lini cerita, beliau sampai rela bangun dini hari untuk menonton tayangan pertandingan sepakbola di televisi. Umpama informasi ini saya ketahui saat saya menjadi mahasiswa beliau di Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (saat itu) di tahun 1980, pasti beliau akan saya ajak mengobrol tentang permainan si kulit bundar tersebut.
Reuni Tiga Generasi. Dalam acara reuni Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI 2008 nampak dari kiri Hartadi Wibowo (mahasiswa angkatan masuk 1980), putrinya Tyas "Yaz" Anggraeni yang juga mahasiswa JIP, Ibu Lily K. Somadikarta dan rekan seangkatan Hartadi Wibowo, Rizal Saiful-haq. Rizal ini mengikuti jejak Ibu Soma sebagai pengajar dan ketua jurusan Ilmu Perpustakaan di UIN Jakarta.
Memutar kenangan tentang beliau, antara lain tersaji laporan gegap gempita :-) tentang kegiatan mahasiswa JIP-FSUI pada bulan Juni 2006 ketika menyelenggarakan pesta untuk merayakan hari ulang tahun Ibu Soma (1/6/1926) dan Ibu Soenarti Soebadio.
Sebelumnya, di tahun 2003, mahasiswi JIP-FSUI Rosmi Julitasari dengan bimbingan Putu Laxman Pendit telah menulis skripsi berjudul Pemikiran Lily K. Somadikarta : Pendidikan dan Ilmuwan Di Bidang Ilmu Perpustakaan. Ketika Ibu Soma wafat, penulis yang sama dan dikabarkan sedang menulis biografi Ibu Soma telah menuliskan obituari yang menyentuh.
Judulnya : Mengenang Lily K. Somadikarta: Perintis Pendidikan Ilmu Perpustakaan di Indonesia. Rosmi Julitasari mengakhiri tulisan panjang yang mencakup sejarah perjalanan karier Ibu Soma itu dengan doa :
”Selamat jalan, Ibu Lily K. Somadikarta. Saya yakin Ibu akan damai di sana, karena para malaikat pasti bergegap gempita menyambut umat Tuhan seperti Ibu, yang telah menanamkan ilmu di pemikiran banyak orang yang telah Ibu didik.”
“Istri saya, itu orang yang paling terdekat,” demikian Profesor Soekarja Somadikarta, suami Ibu Soma, ketika diwawancarai oleh wartawan Radio BBC Siaran Indonesia Heyder Affan, 30/11/2011 (Audio). Saat itu Bapak Soma baru saja memperoleh penghargaan Habibie Award 2011 atas dedikasinya pada bidang ilmu dasar.
Dan tatkala istrinya meninggal dunia, Somadikarta merasa kehilangan. Dia mengaku 'sakit' kalau teringat sosok sang mendiang.
“Tapi itu takdir,” imbuhnya cepat-cepat, dengan nada bergetar.
“Saya bersujud kepada Tuhan... Itu takdir, ndak bisa diapa-apakan”.
Profesor Soma mengaku almarhumah istrinya berperan besar atas perjalanan hidupnya.
Selama 54 tahun mengarungi hidup bersama (dan dikaruniai dua orang anak), membuat Soma dan pasangan hidupnya itu saling mengenal. Berulangkali ditinggal untuk kepentingan akademis (yang bisa menghabiskan 3 atau 4 bulan), menurut sang profesor, istrinya bisa menerima kenyataan seperti itu.
“Istri saya begitu menghargai....Itu yang tidak bisa saya melupakan,” katanya, lirih.
Peristirahatan abadi. Di lingkup rindang pohon besar, terletak makam Ibu Somadikarta, yang dijadikan satu dengan putra beliau, Dedi A. Somadikarta yang mendahului menghadap Sang Khalik tanggal 18 Januari 1985.
Dalam blog saya. Sebagai mahasiswa beliau, sungguh suatu kehormatan ketika saya memperoleh kepercayaan dari beliau dan juga dari jurusan untuk hal-hal tertentu. Ketika jurusan akan melakukan pembelian sarana fotografi, saya mendapat tugas untuk mendaftar kamera, lensa dan sarana penunjang lainnya yang pantas untuk dibeli.
Belum lagi pengalaman menarik di bulan Maret 1984 ketika menyertai Ibu Soma, Ibu Soenarti Soebadio, Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak dan mBak Siti “Ining” Sumarningsih, untuk tur menjadi nara sumber dalam seminar di Perpustakaan Universitas Diponegoro di Semarang. Lengkapnya :
Tanggal 10 dan 11 Desember 2011, dengan bantuan informasi dan panduan dari mBak Lini dan Bapak Soma, saya akhirnya dapat berziarah ke makam Ibu Somadikarta. Hari pertama, saya membawa kamera digital yang layar LCD-nya sudah rusak. Hasil fotonya, tidak memuaskan. Saat itu saya dipandu oleh juru kunci, yaitu Andri (No. HP-nya : 087711144692).
Esoknya, saya dapat pinjaman kamera yang lebih “waras” milik adik saya yang wartawan Tabloid BOLA, Broto Happy W. dan sebagai warga Bogor, saya bisa memotret lebih baik.Ada rasa kelegaan bisa mendoakan beliau. Semoga Ibu Somadikarta senantiasa sejahtera di sisiNya.
Ketika mengetik tulisan ini saya mengirimkan SMS kepada Bapak Somadikarta. Beliau menjawab : "Sdr Bambang yang baik, banyak tks utk sms dan doa'nya utk Ibu. Kami br dr makam Ibu. Lini dg teman2nya sekarang sedang ke makam teman dekatnya di luar Bogor. Salam hangat jg dr Lini, dan smg Anda trs produktif menulis, SS." (18/4/2018 : 10.43.30).
Terima kasih kembali, Bapak Soma.
Wonogiri, 18/4/2012
Langganan:
Postingan (Atom)