Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Robert T. Kiyosaki sudah berpesan wanti-wanti.
Kalau Anda ingin mempelajari sesuatu, fahamilah dulu istilah-istilahnya.
Sayang, nasehat itu baru saya baca tahun 2001.
Tentu saja dari buku serialnya Rich Dad, Poor Dad yang terkenal itu.
Hemat saya, seharusnya nasehat tersebut sudah saya fahami di tahun 1980, saat memasuki tahun pertama berkuliah di Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (JIP-FSUI). Tanpa bekal acuan itu, jelas membuat tahun awal perkuliahan menjadi perjalanan mendaki yang terasa lebih berat.
Karena memahami istilah-istilah baru itu bukan pula hal mudah. Belum lagi dihantui konsekuensi yang ada : bila nilai-nilai Anda jeblok di tahun pertama, maka pintu drop-out terbuka dan menganga untuk Anda.
Istilah menunjukkan profesi.
Bahasa rahasia.
Juga simbol otoritas.
Saya ingat kata-kata linguis Deborah Tannen dalam bukunya You Just Don't Understand: Men and Women in Conversation (1990). Buku ini saya pinjam dari perpustakaan American Cultural Center, di Wisma Metropolitan 2, Jakarta. Kepala perpustakaannya juga dosen saya untuk mata kuliah Pengolahan Data, Ibu Siti Aisjah Anwar (Ies Prayogo).
Tannen mengatakan bahwa pola komunikasi (utamanya) kaum pria itu cerminan perebutan posisi atas dan menghindari posisi bawah dengan lawan bicara. Maka menurutnya, pemakaian istilah-istilah khusus itu merupakan senjata untuk memperoleh kemenangan dalam kompetisi bersangkutan. Kalau mitra bicara Anda tiba-tiba mengeluarkan istilah yang tidak Anda mengerti, maka dia akan merasa menang, dan Anda di matanya berada pada posisi fihak yang kalah.
Tetapi kemaruk istilah, juga tidak produktif. Itu tanda kesombongan semu yang membendung komunikasi. Dalam ranah komunikasi bisnis, bila penyampaian pesan Anda semata berorientasi kepada diri Anda sendiri dan menegasikan kepentingan konsumen, ibaratnya Anda sedang melakukan bunuh diri.
Hal itu pernah terjadi.
Di restoran masakan Cina, "Yunyam" di Semarang.
Tetapi pelaku aksi "bunuh diri" tersebut bukan sang pemilik restoran. Juga bukan tukang masaknya, misalnya dengan membuat bocor tabung gas elpji. Atau berenang dalam wajan. Pelaku "bunuh diri" itu diri saya. Pasalnya, pencantuman nama-nama asing yang serba Mandarin dalam daftar menunya telah mendorong saya melakukan aksi fatal ketika memesan makanan.
Restoran Semarang. Saya bersama mas supir dari Undip sedang bersiap menyantap makanan yang dipilih berdasar intuisi, puitis atau tidaknya nama masakan bersangkutan. Perkara cocok atau tidak dengan lidah asal tidak beracun, semuanya beres adanya.Nampak di latar depan kanan, Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak.
"Kamu pesan masakan apa, mBang ?" demikian tanya mBak Ining. Saya hanya bisa meringis. Angkat bahu. Di meja lain Ibu Lily K. Somadikarta, Ibu Rusina Syahrial Pamoentjak dan Ibu Soenarti Soebadio nampak berdiskusi secara fasih dalam memilih dari daftar menu. mBak Ining yang berbaik hati lalu mengunjungi meja saya. Mungkin saat itu saya nampak kebingungan di matanya.
Saat itu saya, di meja terpisah, hanya ditemani sopir dari Undip. Mas sopir itu, sebelumnya, ketika saya tanya mau pesan masakan apa, ia menyatakan makmum dengan pilihan saya. Undip ikut UI sajalah. Maka saya segera pede memilih masakan Cina berdasarkan kaidah-kaidah "aliran Rawamangun," kaidah-kaidah sastra. Memilih yang judulnya terdengar eksotis dan puitis.
Tetapi kepada mBak Ining itu saya katakan sejujurnya : "Trial and error, mBak."
Trio dosen saya 1980.Dari kiri : Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak, Ibu Soenarti Soebadio dan Ibu Lily K. Somadikarta. Ketiganya saya potret bulan Oktober 1982, menjelang peringatan 30 Tahun Pendidikan Perpustakaan Indonesia di mana foto-foto para pengajar sejak tahun 1950-an dipamerkan.
Flashback : 1984. Kejadian di atas berlangsung hari Senin, 26 Maret 1984, malam. Paginya, sekitar jam 05.00, kami berlima tiba di hotel, Jl. Pemuda 23, Semarang. Empat pengajar JIP-FSUI dan saya yang masih berstatus mahasiswa dengan skripsi tak selesai-selesai, didaulat menjadi nara sumber dalam Lokakarya "Pengintegrasian Program Pengembangan Perpustakaan Dengan Program Pendidikan Universitas" di Perpustakaan Pusat Universitas Diponegoro, 27-28 Maret 1984.
Berangkat naik kereta api, Minggu sore, 25 Maret 1984, dari Stasiun Senen. Di perjalanan saya ditraktir mBak Ining, nasi rames (Rp. 950,00) dan minuman soda gembira (Rp.800,00). Sempat menghabiskan bab pertama buku Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Juga melalui headphone mendengarkan lagunya duo America : "I Need You" dan juga "A Horse With No Name." Harusnya lagu dari Paul, Peter & Mary , "Five Hundred Miles" :
If you miss the train I'm on
You'll know that I'm gone
You can hear the whistle blow
A hundred miles.
"Ini sejarah," tulis saya di buku harian. Antara lain, seperti saya laporkan di majalah KJIP, karena "kami berlima segera menjadi anak buah Prabu Menakjinggo. Hotel yang kami tempati bernama Blambangan." Saya menempati kamar nomor 24. Terdapat 3 tiga tempat tidur.
Acara pertama : menulis surat untuk Bakhuri Jamaluddin. Saya lupa menulis untuk Hartadi Wibowo, teman mengobrol hari-hari sebelum berangkat ke Semarang. Kemudian tidur-tidur ayam sampai jam 08.30.
Untuk sarapan, saya diberi minuman jus dan roti oleh Ibu Soenarti. Lumayan. Terima kasih, Ibu. Lalu keluar hotel, mencari kantor pos, untuk memposkan surat ke priyayi berambut rapi asal Suruh Salatiga, yang pustakawan perpustakaan Akademi Gizi, Hang Jebat, Kebayoran Baru.
Balik dari kantorpos, kembali menulis surat. Untuk Cut Fachmaida Amien. Mahasiswi ASMI Banda Aceh. Juga Niken Chandrawati, putri Jl. Bangka yang mahasiswi ASMI, Pulomas. Siangnya, mengunjungi Perpustakaan UNDIP. Disambut Pak Gunardo dan juga Ibu Kadarsih. Makan siang di "Nglaras Roso," dan dari Ibu Soma yang asli (?) Semarang saya dapat info : "tahun 1965 restoran ini masih berdinding bambu, dan 15 tahun kemudian bergedung megah."
Saat di hotel sempat ada tamu. Ibu Soma mengenalkan tamunya, Bapak Koeshartono. Kakak beliau (info dari mBak Lini Ashdown, putri Ibu Soma,24/1/2012,almarhum Bapak Koeshartono ternyata adalah adik dari Ibu Soma). Setelah istirahat, sorenya mengunjungi Gedung Batu. Ini monumen peringatan datangnya pasukan Laksamana Cheng Ho dari China. Dilanjutkan naik ke Gombel, menikmati panorama lautan lampu kota Semarang yang dilihat menakjubkan dari atas. "San Francisco," komentar Ibu Soma. Perjalanan malam itu dipungkasi di rumah makan "Yunyam" tadi.
Sungguh kebetulan, di meja lain nampak sosok yang familier bagi saya. Pematung dan seniman serba bisa Hajar "Totok" Satoto dari Solo. Dirinya yang pernah ikut melawat ke Perancis bersama penari Sardono W. Kusumo ditemani kartunis terkenal dari Harian Kompas, GM Sudarta. Juga teman seniman lainnya.
Saya sambangi mereka, lalu mengobrol beberapa saat. Ketika kembali ke meja ibu-ibu dosen, saya katakan bahwa salah satu dari mereka adalah kartunis GM Sudarta. Ibu Soma kemudian menimpali, "istri GM Sudarta itu juga pustakawan."
Voila !
Jualan manfaat otak kanan. Ibarat seorang salesman, saya sedang beraksi menjual gaya hidup pentingnya eksploitasi otak kanan bagi kalangan pustakawan perguruan tinggi di Semarang. Tetapi status sebagai "dosen gadungan" membuat saya gugup sendiri,sebagai suatu show boleh dibilang tidak begitu sukses.
Kompas dan Cameron Diaz. Ketika hari loka karya tiba, saya diperkenalkan kepada peserta sebagai "drs" ilmu perpustakaan, yang mengajar di JIP-FSUI. Dosen super gadungan. Posisi "mendua" ini yang kiranya, antara lain, membuat saya gugup. Sehingga presentasi saya pada hari kedua, saya rasa kok kurang begitu sukses.
Padahal ketika di hotel saya sudah di-doping Ibu Soma dengan sebutan "pemuda baru." Tampil beda. Berbaju lengan panjang. Juga mengenakan dasi. Kayak bankir :-). Rada bikin kejutan. Karena selama ini saya suka pakai kaos, bahkan menjadi topik obrolan saat kami makan malam (27/3/1984) di Restoran Oen yang legendaris.
Ibu Soma merujuk kepada putranya Dedi Achdiat Somadikarta (meninggal dunia 18 Januari 1985) yang pernah mengajari angkatan saya introduksi pengolahan data memakai komputer Commodore atau Atari, yang juga suka berkaos sehari-harinya. Di restoran itu, kalau mengenang, saya harus malu besar. Karena saya benar-benar over acting, laku lajak, karena minum-minum bir di tengah ibu-ibu dosen saya.
Dasi yang saya kenakan ternyata tak mampu menyelamatkan kondisi presentasi saya, yang pengin cerita banyak itu. Bertele-tele. Dari Marshall McLuhan, Daniel Bell sampai Alvin Toffler. Kurang humor, juga miskin dramatika. Saya tahu kekurangan besar itu ketika mendengarkannya kembali dari rekaman kaset yang ada.
Syukurlah di akhir presentasi, yang antara lain saya bercerita tentang pentingnya visual literacy selain information literacy dan media literacy, saya disalami Prof. Slamet Rahardjo yang budayawan itu. Beliau rupanya terkesan dengan dongengan mengenai split brain theory yang dikembangkan Roger Wolcott Sperry (1913-1994) sehingga dirinya memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran 1981.
Merujuk teori itu dan pengalaman empiris, kalangan pustakawan nampak lebih banyak menggunakan otak kiri, dengan ciri keteraturan, logis, eksak, linier, stabilitas dan "di dalam kotak." Sementara kreativitas, fuzzy, berfikir lateral dan aksi mengguncang-guncang perahu yang menjadi ranah dominan otak kanan nampaknya banyak terabaikan.
Seorang peserta yang mengaku dosen FISIP Undip menyambangi, ia berminat memfotokopi transparansi saya. Lalu ada pula dosen Fakultas Kedokteran Undip bilang hal tak terduga. Katanya, "saya pernah kuliah audio-visual di Illinois, tetapi presentasi Anda tadi ck.ck.ck.." Terima kasih. Sebagai nara sumber itu saya memperoleh honor Rp.40.000,00.
Sayang, saat break saya tak sempat mengobrol dengan mbak Ir. Dewi E. Ramali, peserta dari Universitas Soegiyopranoto (kalau tak salah). Umpama artis Hollywood, kilau dirinya saat itu bisa disejajarkan dengan Cameron Diaz saat ini.
Berita tentang loka karya itu kemudian muncul di harian Kompas 30 Maret 1984. Sebagian besar merujuk kepada isi makalahnya Ibu Soenarti Soebadio dan mBak Siti Sumarningsih, yang menyoroti belum maksimalnya layanan referensi di perpustakaan.
Akibatnya, perpustakaan ibarat hutan gelap yang tidak mampu dijelajahi harta karunnya oleh para penggunanya. Saya ikut kecipratan rasa bangga atas publikasi yang menarik ini.
Pulang kampung nih. Rabu malam, 28 Maret 1984, rombongan akan kembali ke Jakarta. Saya mohon diri kepada Ibu Soma, minta ijin akan pulang kampung dulu ke Wonogiri. Pelbagai perangkat keras yang saya bawa, saya minta tolong kepada Pak Gunardo untuk mengirimkannya kemudian ke Rawamangun.
Sampai di rumah Wonogiri jam 21.45. Lalu mendengarkan kembali rekaman presentasiku, uh, sampai jam 2 dini hari. Esoknya (29/3/1984) pergi ke Toko Baru, membeli tiga potong kain lurik, memenuhi pesanan mBak Ining. Saya pilihkan salah satunya yang ada benang emasnya.
Ketika kembali ke Jakarta, ternyata pilihan ini rada bermasalah. mBak Ining rada protes karena adanya unsur glitter dari lurik itu, yang berkesan genit, yang mungkin kurang sreg dengan kepribadian beliau yang selalu rendah hati itu.
Comedy of Error. Terakhir kali, kalau tak salah, saya ketemu mBak Ining tahun 1997. Di Perpustakaan American Cultural Center. Di tempat yang sama, saya juga pernah ketemu rekan seangkatan saya, Sri Mulungsih Gedong Roekmi. Tentu saja ketemu Ibu Ies Prayogo, kepala perpustakaannya, yang kadang bertanya : "Kapan menikah ?"
Melalui Google, baru-baru saja ini, ketika saya mencari gambar atau foto dengan memasukkan kata kunci "lily k. somadikarta," yang muncul antara lain malah fotonya mBak Ining bersama para mahasiswanya (klik di sini). Tidak banyak perubahan dari beliau. Bahkan nampak lebih putih.
Entah karena kini ruang kerjanya terus ber-AC atau sisa hawa dingin dari kampus Universitas Wales yang berdiri tahun 1872 di Aberystwyth, Wales, masih belum luntur pada dirinya. Masih banyak cerita tentang mBak Ining dan dosen-dosen lainnya di album kenangan saya.
Terakhir : kembali ke Robert T. Kiyosaki lagi. Walau ia punya pesan wanti-wanti agar kita mempelajari dulu istilah-istilah sebelum memahami sesuatu disiplin ilmu, ternyata saya tidak melakukan hal penting tersebut ketika langsung berada di meja makan restoran "Yunyam" Semarang saat itu.
Sehingga ketika beranjak keluar dari restoran, mBak Ining kok ya masih sempat bertanya kepada saya : "Gimana mBang, trial and error-nya ?" Wah, saya hanya bisa menjawab pendek :
"Error,mBak."
Itu kejadian 26 tahun lampau.
Kini saya berandai-andai : apabila saya ditanya mengapa sejak selesai belajar tahun 1985 tetapi kemudian saya tidak dekat-dekat amat dengan dunia ilmu perpustakaan, apakah saya harus menjawab bahwa pilihan hidup saya itu merupakan hal yang "error" pula ?
Wonogiri, 21 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar