Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Kinokuniya.
Mencari-cari buku di sana saya merasa seperti sedang berlatih karate di dalamnya.
Biang keroknya adalah fasilitas antarmuka dari anjungan elektronik yang disediakan toko buku itu. Dengan alat itu konsumen dibantu untuk menemukan buku-buku yang mereka cari di toko buku bersangkutan.
Layanan serupa bisa kita temui di pelbagai toko buku terkenal di Indonesia, berupa komputer, sementara di Kinokuniya itu wujudnya seperti kios ATM.
Ini bukan toko buku Kinokuniya yang berada di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Ini toko buku jaringan yang sama tetapi luasnya hampir sebesar lapangan sepakbola. Hamparan belukar buku yang menggairahkan itu membuat saya harus mengandalkan anjungan tadi untuk menemukan buku yang saya incar. Buku tentang manajemen ilmu pengetahuan.
Muncul masalah. Keypad-nya kurang begitu ramah. Ketika telunjuk menekan terlalu lemah, huruf tidak muncul. Tetapi ketika tekanan ditingkatkan ekstra, huruf yang muncul menjadi dobel. Saya membayangkan sedang berlatih karate, melakukan exercise guna memperkuat daya tohok jari-jemari saya.
Jadi sungguh perjuangan tersendiri untuk bisa menuliskan lema yang kita cari. Baik nama pengarang, judul atau subjek buku. Sementara pengguna lain dari toko buku megah di bilangan Orchard Road, Singapura itu, sudah pula nampak mengantri.
Buku yang saya cari itu, tidak saya temukan. Saya berandai-andai, alangkah menariknya bila terminal itu bisa agak "bercanda" dengan saya. Misalnya, bila buku itu tidak ada, ia dapat menyarankan saya untuk mengunjungi toko buku terdekat yang masih menyediakannya. Bahkan melalui Internet, sambungan itu bisa bercakupan dunia pula.
Jadi antar toko buku itu data koleksinya tersambung secara elektronik, 24/7. Diperkaya pula sambungannya dengan penerbit buku dan pengarang buku bersangkutan. Bahkan terintegrasi dengan data para pembaca buku tersebut, genap dengan segala komentar yang mereka tuliskan. Mengambil jargon dari ranah ilmu perpustakaan, ijinkanlah saya menyebut gambaran itu sebagai panorama tentang katalog yang menari.
Diagram kambing. Mengilas balik ke tahun 1980, mata kuliah tentang katalog, dengan label katalogisasi dan klasifikasi, bukan mata kuliah yang saya sukai. Pengampunya adalah Ibu Lily K. Somadikarta, yang saat itu adalah juga ketua jurusan Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Beliau telah wafat,Sabtu, 18 April 2009 sekitar pukul 01.00 di RSCM Jakarta Pusat.
Cara mengajar Ibu Soma yang tegas dan direct, membuat kami yang belum mengenal akrab beliau menjadi cepat-cepat ciut nyali. Apalagi ini mata kuliah yang menentukan, apakah di tahun pertama kami langsung drop out atau berlanjut. Kuis atau tes pertama untuk mata kuliah ini saya mendapatkan nilai nyaris mendekati ambang batas kegagalan : 62.
Saat kuis, saya memang tidak menyangka diagram tentang alur proses penyimpanan dan penemuan kembali bahan pustaka itu muncul di kertas ulangan. Rupanya saya telah meremehkan jantung alur kerja perpustakaan ini. Sebab ketika mencatatnya saya telah membingkai diagram tersebut dengan garis kontur berwujud binatang kambing.
Teman sekelas saya, Subagyo Ramelan, tertawa-tawa melihat "diagram kambing" buatan saya itu.Bahkan ia mengomentari, "itu cara mencatat yang jenius." Ia yang kini membuka gerai "Safir Andaru" dan bergerak dalam bisnis batu mulia di Ciledug, Tangerang, ketika menjadi book officer di Asia Foundation pernah membantu saya memperoleh hibah puluhan buku-buku bermutu terbitan manca negara. Terima kasih, Bag.
Saya bayangkan, ke dalam mulut kambing itu masuk satu judul buku. Buku itu dikunyah, untuk diekstraksi. Wujud fisiknya disimpan di rak tertentu. Kalau jumlahnya puluhan atau ratusan, mungkin ingatan kita masih kuat mengingat sampul atau tempatnya untuk bisa ditemukan kembali ketika dibutuhkan. Tetapi ingatan manusia ada batasnya. Bila jumlah buku itu sudah mencapai ribuan, masalah muncul. Menyimpan sih gampang, tetapi saat untuk menemukan kembali, secara cepat dan akurat ?
Solusinya, data buku itu harus dicatat. Secara sistematis. Ada ilmunya. Dalam buku besar, ia dicatat berdasarkan nomor urut, tanggal pembelian/hadiah, dan sumber buku tersebut. Ini untuk administrasi internal. Sedang untuk layanan bagi pemakai perpustakaan, isi buku dianalisis dulu, diklasifikasikan menurut subjek atau perihal, dengan merujuk panduan yang baku, seperti tabel DDC, Dewey Decimal Classification dan sarana bantu lainnya.
Kemudian tergabung di dalamnya pernak-pernik data buku lainnya, yang disajikan secara sistematis dalam bentuk kartu-kartu katalog. Pengunjung dapat mengakses koleksi perpustakaan melalui bantuan katalog tersebut berdasarkan nama abjad pengarang, judul buku, sampai subjek buku.
Tetapi pemahaman publik terhadap katalog sebagai sarana temu kembali bahan pustaka di perpustakaan, bukan hal yang otomatis. Bahkan juga di kalangan intelektual. Di kolom surat pembaca majalah Tempo (16/1/1982), saya pernah mengomentari isi acara "Dunia Pustaka" di TVRI (29/11/1981). Saat itu hadir bintang tamu seperti Harsja W. Bachtiar, Tuti Indra Malaon dan Toeti Adhitama.
Protes saya adalah : mahasiswa dan juga dosen (!) harus dilatih agar mampu memahami fungsi katalog dan mahir memanfaatkannya dalam menemukan informasi yang relevan. Keterampilan serupa sekarang ini yang juga harus dilatih pada mereka, adalah pemanfaatan mesin pencari Google di Internet. Semua orang bisa menggunakan, tetapi tetap ada perbedaan signifikan antara mereka yang tidak terlatih vs mereka yang berpengetahuan tentangnya !
Konsumen adalah matahari. Itulah teori dasar dan praksis pengelolaan bahan pustaka yang jadul, yang saya pelajari di dekade awal 1980-an. Kini katalog-katalog kertas itu semakin banyak digantikan dengan sinyal-sinyal elektronik. Otomasi. Komputerisasi.
Tetapi sebagai seorang renegade, yang terciprat DNA ilmu perpustakaan tetapi tidak pernah bekerja sebagai pustakawan sejak 1985, saya tidak tahu seberapa jauh, juga seberapa sukses otomasi itu telah berjalan di pelbagai perpustakaan dunia dan Indonesia.
Kisah ini akan berlanjut di blog saya yang lainnya. Blog Esai Epistoholica. Antara lain melanjutkan raba-raba saya tentang peranti lunak Senayan Library Automation yang telah memenangkan kategori Open Source System dalam Indonesia ICT Awards 2009 yang baru lalu.
Pengembangnya, Hendro Wicaksono, alumnus JIP-FSUI 1992 (foto : baju kuning). Dalam foto ia bersama Yossy Suparyo dari Combine Resource Institution yang saya potret setelah bisa saling kenal dalam momen tak terduga.Di Jogja National Museum, 23 Juli 2010.
Jangan lupa, simak pula nasehat Gus Doerr dari Lembah Silikon tentang revolusi media sosial yang kini hot terjadi. Juga pengaruhnya terhadap masa depan Anda.
Silakan saja klik di sini atau copy/paste url ini di peramban Anda : http://tinyurl.com/262ztjd.
Terima kasih.
Wonogiri, 24-25 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar