Oleh : Gustina Sofia
Email : gustinasofia (at) yahoo.com
Assalam,
Barusan saya iseng browsing.
Ternyata iseng-iseng berhadiah, ketemu blog jipfsui80.
Apa kabar kawan-kawan ?
Semoga semua sehat dan gembira selalu.
Senang rasanya dan kangen sekali setelah membaca nama-nama angkatan 80.
Terima kasih mas Bambang yang telah menyediakan tempat kita berkomunikasi.
Sekali-sekali saya masih ketemu Pak Sungkono.
Dengan Yon Emizola dan Tuti Sundari,masih keep in touch.
Ada teman-teman yang sudah mendahului kita.
Yaitu Pak Uhum Lantang Siagian dan Djuhar.
Semoga mereka bahagia di alam sana.
Oh ya, bbrp waktu yg lalu saya ikutan reuni angkatan 81.
Gpp, yg ptg ketemuan, he3.
Salam,
Gustina Sofia
Blog Mengenang Masa-Masa Berkuliah dan Berbagi Cerita Masa Kini Alumni Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Angkatan 1980
Jumat, 17 Desember 2010
Kamis, 25 November 2010
Boorstin, Anez, Cinta Buku Kaum Pustakawan
Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
"Teknologi mendekatkan yang jauh.
Tetapi juga menjauhkan yang dekat."
Pencetus ucapan ini pernah berkunjung ke Rawamangun. Kampus Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kalau tak salah sekitar tahun 1985.
Daniel J. Boorstin.
Pustakawan dari Library of Congress, Amerika Serikat.
Saya tidak mengikuti pertemuan itu. Tetapi hanya membacanya dari surat kabar Kompas. Saat itu di jurusan, seingat saya, juga tidak muncul umyung atau tersebarnya kicau-kicau kehebohan terkait dengan kunjungan pustakawan istimewa itu.
Toh saat itu saya merasa dekat dengan beliau. Dirujuk dari iklan-iklan klub buku di majalah-majalah favorit saya seperti The Atlantic Monthly, Discover, Omni, Popular Science sampai Science Digest yang saya baca-baca dan pinjam dari perpustakaan Lembaga Indonesia Amerika (LIA), lalu terantuk dengan salah satu buku karya Daniel J. Boorstin. Buku itu, ajaibnya pula, akhirnya bisa saya pinjam dari perpustakaan PDII-LIPI pada saat-saat itu pula.
Tahun 1985-an itu, minat bacaan saya terkait beragam majalah di atas adalah kuatnya bius kontroversi terkait Perang Bintang, program SDI (Strategic Defence Initiative)-nya Presiden Reagan yang dicanangkan tahun 1983. Yaitu upaya AS menempatkan senjata laser di satelit untuk mencegat dan menghancurkan serangan peluru kendali dari Uni Sovyet. Nama-nama ilmuwan nuklir AS yang ngetop dan terlibat dalam pembicaraan antara lain Edward Teller sampai Hans Bethe.
Tahun-tahun sebelumnya, perang di kepulauan Falklands, perang Malvinas, membuat saya mabuk fotokopi. Kebetulan di seberang tempat kos saya, yaitu di kios fotokopi yang menyatu dengan Apotik Rini, Jl. Balai Pustaka Timur, juga dipajang majalah TIME terbaru. Majalahnya tidak laku, tetapi kios fotokopinya memperoleh penghasilan dari jasa menfotokopi majalah tersebut.
Obrolan mengenai beragam persenjataan perang yang dipakai di wilayah Argentina itu, ternyata juga menarik bagi Pak Ahmad Royani. Jadi di ruang perpustakaan JIP, kami malah asyik saling mengobrolkan tentang senjata. Sayang di koleksi perpustakaan jurusan itu sepertinya tak ada buku-buku referensi terbitan Jane's, yang khusus melaporkan beragam jenis persenjataan mutakhir.
Sampai-sampai senior saya, Bambang Sutejo dari LAPAN-RI yang angkatan 1979, nampak terheran-heran. Ia seangkatan dengan Indira Saraswati, Juliana Surya, Julian E. Warsol, Masykur Irsyam, Pranajaya,Suwarto sampai Yusye Milawati.
Antara lain karena Bambang Sutejo merasa tak bisa nyambung dengan materi obrolan seorang dosen yang lemah lembut dengan mahasiswanya yang berprofil urakan mengenai topik yang begitu esoterik itu.
Kembali ke Boorstin. Bukunya yang berkisah mengenai perjuangan para hero dan pionir ilmu pengetahuan.
[Cerita akan berlanjut]
Wonogiri, 26 November 2010
Email : jip80fsui (at) gmail.com
"Teknologi mendekatkan yang jauh.
Tetapi juga menjauhkan yang dekat."
Pencetus ucapan ini pernah berkunjung ke Rawamangun. Kampus Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kalau tak salah sekitar tahun 1985.
Daniel J. Boorstin.
Pustakawan dari Library of Congress, Amerika Serikat.
Saya tidak mengikuti pertemuan itu. Tetapi hanya membacanya dari surat kabar Kompas. Saat itu di jurusan, seingat saya, juga tidak muncul umyung atau tersebarnya kicau-kicau kehebohan terkait dengan kunjungan pustakawan istimewa itu.
Toh saat itu saya merasa dekat dengan beliau. Dirujuk dari iklan-iklan klub buku di majalah-majalah favorit saya seperti The Atlantic Monthly, Discover, Omni, Popular Science sampai Science Digest yang saya baca-baca dan pinjam dari perpustakaan Lembaga Indonesia Amerika (LIA), lalu terantuk dengan salah satu buku karya Daniel J. Boorstin. Buku itu, ajaibnya pula, akhirnya bisa saya pinjam dari perpustakaan PDII-LIPI pada saat-saat itu pula.
Tahun 1985-an itu, minat bacaan saya terkait beragam majalah di atas adalah kuatnya bius kontroversi terkait Perang Bintang, program SDI (Strategic Defence Initiative)-nya Presiden Reagan yang dicanangkan tahun 1983. Yaitu upaya AS menempatkan senjata laser di satelit untuk mencegat dan menghancurkan serangan peluru kendali dari Uni Sovyet. Nama-nama ilmuwan nuklir AS yang ngetop dan terlibat dalam pembicaraan antara lain Edward Teller sampai Hans Bethe.
Tahun-tahun sebelumnya, perang di kepulauan Falklands, perang Malvinas, membuat saya mabuk fotokopi. Kebetulan di seberang tempat kos saya, yaitu di kios fotokopi yang menyatu dengan Apotik Rini, Jl. Balai Pustaka Timur, juga dipajang majalah TIME terbaru. Majalahnya tidak laku, tetapi kios fotokopinya memperoleh penghasilan dari jasa menfotokopi majalah tersebut.
Obrolan mengenai beragam persenjataan perang yang dipakai di wilayah Argentina itu, ternyata juga menarik bagi Pak Ahmad Royani. Jadi di ruang perpustakaan JIP, kami malah asyik saling mengobrolkan tentang senjata. Sayang di koleksi perpustakaan jurusan itu sepertinya tak ada buku-buku referensi terbitan Jane's, yang khusus melaporkan beragam jenis persenjataan mutakhir.
Sampai-sampai senior saya, Bambang Sutejo dari LAPAN-RI yang angkatan 1979, nampak terheran-heran. Ia seangkatan dengan Indira Saraswati, Juliana Surya, Julian E. Warsol, Masykur Irsyam, Pranajaya,Suwarto sampai Yusye Milawati.
Antara lain karena Bambang Sutejo merasa tak bisa nyambung dengan materi obrolan seorang dosen yang lemah lembut dengan mahasiswanya yang berprofil urakan mengenai topik yang begitu esoterik itu.
Kembali ke Boorstin. Bukunya yang berkisah mengenai perjuangan para hero dan pionir ilmu pengetahuan.
[Cerita akan berlanjut]
Wonogiri, 26 November 2010
Label:
anez,
arkeologi,
bambang haryanto,
buku,
cinta buku,
daniel j. boorstin,
jip-fsui,
perpustakaan,
pustakawan library of congress,
widhiana laneza
Sabtu, 20 November 2010
Ipit, Sri Mulungsih, dan Otak Mubazir di Perpustakaan
Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Tak hanya mBah Maridjan.
Candi Borobudur ikut pula kena getahnya.
Menjadi korban amukan Gunung Merapi.
Koran-koran mewartakan upaya pembersihan lapisan abu volkanik yang menyelimuti candi megah di Magelang itu. Abu asal Merapi diketahui memiliki kandungan belerang yang bila dibiarkan akan mampu merusak batu patung dan ukiran di candi terkenal tersebut.
Dalam pemberitaaan itu disertakan pula foto patung yang masih utuh, dengan kepala berisi ukiran rambut yang khas.
Pada hari Kamis 25 Juni 1981, sosok patung semacam itu menjadi bahan obrolan mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI Angkatan 1980.
Ketika itu kami sedang melakoni karya wisata dengan menjelajahi perpustakaan-perpustakaan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.Rekreasinya, mengunjungi candi sohor tersebut.
Merujuk salah satu patung yang torsonya lengkap tetapi kepalanya sudah tidak ada di tempat, Gemuru Ritonga, teman kami, nyeletuk yang bikin kita terbahak. Mahasiswa yang suka guyon dan kami terkadang aktif mengerjakan proyek "microfiche" bersama untuk mata-mata kuliah sulit di luar mata kuliah jurusan itu :-(, tinggalnya di daerah Kayuputih, Rawamangun.
Ia bermotor Honda dengan plat merah dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN). Menunjuk kepala patung yang hilang itu Gemuru Ritonga mengatakan : "Sedang dibawa ke salon."
Canda yang terasa masih elegan.
Pasalnya, ada juga canda yang radikal saat itu. Dilakukan teman mahasiswa lain, yang juga berkuliah dengan naik motor berplat merah. Ia memperlakukan khasanah candi dengan canda yang tidak terduga-duga.
Lokasinya di stupa Kuntobimo.
Ketika merasa tangannya tidak mampu menyentuh sosok patung yang terlindung dalam stupa, ia berganti strategi. Kali ini dengan memasukkan kakinya.
Ia berhasil.
Entah cita-cita besar apa yang ingin ia raih dengan upaya nakal itu. Tetapi 29 tahun kemudian pada kartu namanya tercantum berderet gelar akademis yang menghias dan menjepit, dari depan dan dari belakang namanya.
Kalau saja saya tahu khasiat magis Kuntobimo sehebat seperti itu, saya pasti akan ikut-ikutan bergaya melakukan "tendangan kung-fu" terukur lewat lubang, guna menyentuh sosok patung yang selalu menjadi buah bibir para wisatawan itu.
Dua pasang matabola. Tanggal 27 Juni 1981 pagi, rombongan wisatawan mahasiswa itu tiba kembali di kampus Rawamangun.
Tetapi dua hari kemudian, the three musketeers yang terdiri A.C. Sungkana Hadi, Hartadi Wibowo dan saya, harus kembali melakukan "serangan oemoem" ke Yogya lagi.
Berangkatnya dari terminal bis Pulogadung, sore hari. Bahkan sempat diantar, aku tulis di buku harian sebagai dengan "hangat," oleh Arlima "Ipit" Mulyono dan Sri Mulungsih yang berulang tahun 22 November (foto, Juni 1981).
Tidak ada kencan sebelumnya ("jaman itu belum ada HP"), tiba-tiba di terminal yang sama kami kepergok dengan Bakhuri Jamaluddin.
Kami berempat ini dapat dikatakan ramai-ramai sedang pulang kampung. Rombongan yang menuju Yogya memiliki cerita pribadi dan kaitan emosional masing-masing dengan kota pelajar tersebut.
A.C. Sungkana Hadi adalah priyayi Yoja kelahiran Gunung Kidul. Berkuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Kini kepala perpustakaan Universitas Cenderawasih di Jayapura. Hartadi Wibowo yang asal Cilacap, lama berkuliah di Yogyakarta. Kini eksekutif di Bank Mandiri, Jakarta. Lebih detilnya, silakan wawancara beliau sendiri.
Saya sendiri, sejak SD klas 3 (1964), ayah saya Kastanto Hendrowiharso, bekerja di Yogya. Sampai tahun 1976. Walau keluarganya masih di Wonogiri. Saat liburan, saya selalu "pulang" ke Yogya pula. Bahkan pada tahun 1970-1972 saya bersekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta, di Jetis.
Sementara itu Bakhuri Jamaluddin juga pulang kampung. Menuju kotanya Roy Marten, di mana ada desa bernama Suruh, yang merupakan tempat kelahirannya. Salatiga.
Kami berempat meninggalkan Jakarta memiliki tujuan sama : melakukan praktek kerja perpustakaan. A.C. Sungkana Hadi dan saya di IKIP Yogyakarta (kini UNY). Hartadi Wibowo di Perpustakaan Umum Yogyakarta. Sementara Bakhuri Jamaluddin di Universtas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Mengenal pribadi. Di Perpustakaan IKIP Yogyakarta kami dapat bimbingan dari Ibu Suatminah, kepala perpustakaan. Ibu Suatminah belajar kursus ilmu perpustakaan satu angkatan dengan Ibu Soenarti Soebadio di tahun 1950-an. Pembimbing lainnya, Pak Sri Marnodi, alumnus JIP-FSUI.
Dalam berinteraksi dengan mereka, bahkan saya sempat pula nunut mobil Honda Civic-nya Bu Suatminah, ketika pulang dan diturunkan di sekitar komplek UGM di Bulaksumur. Saya tinggal di kos adik saya,Mayor Haristanto, di Babarsari.Di dekat komplek kampus UGM pula. Ia lagi libur kuliahnya di Fisipol UGM dan tempat kosnya saya pakai sebagai markas.
Ketika saling kontak via surat dengan Bakhuri, ia mengatakan jadi minder membaca nama "Mayor" itu. Bahkan ia sempat menguatirkan tas ransel militernya ketika hendak main ke Yogya. Padahal "mayor" itu bukan nama pangkat, tetapi nama paraban belaka yang terpakai sampai saat ini.
Bakhuri datang Sabtu, 11 Juli 1981. Kembali ke Salatiga, esok harinya. Saat itu saya juga menerima surat dari Arlima Mulyono, Jakarta. Kabar darinya membikin cemas. Saya tulis di buku harian : "siap-siap wae akan dimarahi bu Narti : bab Perancis."
Sekadar kilas balik : Arlima, Sri Mulungsih, Zulherman dan saya, mengikuti kuliah bahasa sumber 1 dan 2, Bahasa Perancis. Tetapi, kecuali Sri Mulungsih, ketika menjalani separo semester kedua kami bertiga berkomplot. Untuk mogok, mangkir, desersi di tengah jalan. Tanpa melapor ke Ibu Narti, sekretaris jurusan. Itulah sumber kecemasan saya gara-gara surat Ipit tadi.
Tanggal 7 Juli 1981. Saya sempat jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Di. Jl. Jenderal Sudirman. Pada tahun 1970, tempat ini adalah tempat prakteknya dokter gigi Sudomo. Di tempat ini gigi saya dicabut.
Mungkin ini "hukuman," gara-gara saya tergiur membeli undian dengan hadiah sepeda Phoenix, walau dengan tujuan agar bisa bersekolah dari Kotabaru menuju Jetis lebih menyenangkan ketimbang jalan kaki semata.
Mengejutkan, di toko buku itu saya ketemu Nusantoro. Ia saya kenal saat bersekolah di SMA St. Yosef, Solo, sebagai aktivis drama. Kami berinteraksi di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT), Sasonomulyo, Baluwarti. Sebagai aktivis kesenian saya menjadi "kepala sekolah" Workshop Melukis Anak-anak Gallery Mandungan, Muka Kraton Surakarta.
Nusantoro yang bekerja di toko buku Gramedia itu segera membantu saya. Ketika saya memutuskan membeli buku karya Robert O'Brien dan Joanne Soderman (ed.), The Basic Guide to Research Sources (1975), saya memperoleh potongan harga. Terima kasih, Nunus.
Buku ini cocok sebagai bahan mata kuliah Bahan Referensi Umum (BRU) yang diampu Ibu Soenarti Soebadio dan mBak Siti "Ining" Sumarningsih. Sebagai penulis dan blogger, inti ajaran dari mata kuliah satu ini terus saja saya praktekkan hingga saat ini.
Tanggal 14 Juli 1981, ketika Perancis merayakan hari kemerdekaan, saya mendapat surat dari Zulherman, Jakarta. Isinya : tawaran ikatan dinas dari Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional (PDIN, kini PDII-LIPI) telah menanti. "P-4 juga menanti," begitu saya tulis di buku harian.
Zulherman dan saya sebelumnya memang pernah menghadap Ibu Mimi D. Aman dari PDIN. Kami mencari informasi mengenai peluang ikatan dinas di lembaganya. Naik bis Mayasari 300 dari Rawamangun sampai Gatot Subroto, dibayari Zul dengan karcisnya. Zul kemudian, ketika lulus, mengambil peluang tersebut. Sedang saya saat itu, ketika mendengar ada kata "P-4," malah memunculkan rasa ragu untuk melaju.
Dalam faham saya, ikut P-4 yang wajib bagi pegawai negeri yang baru terekrut tidak lain mengikuti program sterilisasi. Upaya indoktrinasi yang membuat para pegawai negeri menjadi patuh pada rezim Orde Baru yang sangat kuat cakarnya saat itu.
Konser di kamar. Selama praktek kerja di IKIP Yogyakarta itu, yang saya sukai adalah ketika bertugas di bagian sirkulasi.
Walau pun demikian, ketika mengerjakan katalogisasi dan klasifikasi,juga bisa kami buat menarik.
Saat itu saya dan Pak Sungkana (foto : paling kiri bersama Yan Husardi di ruang pengolahan pustaka, Perpustakaan IKIP Yogyakarta, 25 Juni 1981) segera mengunci kamar kerja kita ketika mulai bekerja.
Untuk menghalau rasa bosan, kami ngerumpi tentang banyak hal. Termasuk tentang gaya pria gagah yang reporter berita TVRI asal Manado, yang saat itu tampil begitu "barat dan keren." Namanya Willy Karamoy. Kami pun segera menirukannya. Juga menirukan suasana upacara kenegaraan 17 Agustus seperti dilaporkan di televisi. Termasuk nyanyi-nyanyinya.
Aksi kita ini pernah dikomentari oleh Ibu Suatminah sebagai "menunjukkan perasaan bahagia kami berdua ketika bekerja di perpustakaan."
Saat itu saya ketularan salah satu kebiasaan dari Pak Sungkono yang membekas.Sayangnya, bukan ketularan kecerdasan beliau dalam menyerap mata kuliah. Tetapi tentang aksi meraih sehat dengan ulah menendang-nendang udara.
Aksi itu dia peragakan bila kita sama-sama turun tangga. Sambil turun, kaki kiri dan kaki kanan bergantian menendang udara. "Untuk melancarkan aliran darah kembali di kaki-kaki kita," nasehatnya. Setelah lama hanya duduk-duduk saja, rasanya nasehat beliau itu benar adanya.
Bersibuk-ria di bagian layanan itu menyenangkan karena, bagi saya, bisa ketemu banyak orang. Macam-macam orang. Bisa melihat mahasiswi-mahasiswi cantik. Saya senang melihat Ida Prastini, dari bahasa Inggris.
Pada tanggal 11 Agustus 1981 ia nampak chic dengan dres warna kuning dengan syal merah. Kami bisa sedikit mengobrolkan isi buku dramanya Arthur Miller, Death of Salesman (1951), buku yang saat itu hendak ia pinjam.
Tetapi sayang, saya tidak sempat menemui Siti Rubiyati Latifa asal Ponorogo. Mahasiswi Ekonomi Perusahaan Angkatan 1978 itu di foto nampak cantik sekali.
Tanggal 10 Agustus 1981. Senin. Di rumah familinya Pak Sungkana Hadi, di barat THR, malam itu kami mengobrolkan isi surat yang dikirimkan Sri Mulungsih. Saya tulis di buku harian bahwa, "surat Sri dramatis."
Ceritanya tentang empat teman dekat kami yang terpaksa harus drop out. Malam itu Teddy juga ikut bergabung, akhirnya saya malah tidur di sini. Saya menutup cerita malam itu dengan kalimat : Berhimpunnya 3 Sekawan Pemalas ! Malas mencicil dalam mengerjakan laporan praktek kerja di Yogya tersebut.
Pustakawan tidak mendengarkan. Praktek kerja lapangan (PKL) bagi mahasiswa ilmu perpustakaan telah kami lakoni. Materinya benar-benar klop.
Tetapi saya sering memergoki, ketika sesuatu perpustakaan menjadi tempat PKL untuk pelajar dan bukan mahasiswa ilmu perpustakaan. Anehnya,mereka cenderung memperoleh perlakuan yang sama dengan kami.
Mereka itu nampak selalu dicekoki dengan pemahaman dasar dan bahkan "dipaksa" melakukan praktek-praktek kerja pengelolaan perpustakaan.Tak ada yang salah fatal. Tetapi, hemat saya, kurang pada tempatnya.
Beberapa tahun lalu saya telah menulis surat pembaca di harian Kompas Jawa Tengah untuk mendiskusikan pendekatan miopia kalangan pustakawan selama ini. Dimuat : Selasa, 17 Juli 2007.
Otak Mubazir di Perpustakaan
Musim liburan banyak digunakan para pelajar untuk melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL). Kegiatan yang positif dan bermanfaat. Salah satu tempat mereka melaksanakan PKL adalah perpustakaan.
Ketika mengamati dan menyimaki pelaksanaan PKL selama ini, boleh saya katakan para pelajar itu lebih banyak menganggurkan otak mereka. Karena jenis pekerjaan yang diberikan kepada mereka kebanyakan seputar pekerjaan rutin administratif, yang bahkan lulusan pendidikan yang lebih rendah pun mampu melaksanakannya.
Saya usulkan, para pelajar tersebut juga diajar untuk memanfaatkan secara maksimal khasanah pengetahuan yang dimiliki perpustakaan. Misalnya, mereka didorong memilih buku-buku nonfiksi/ilmu pengetahuan yang menjadi minatnya, kemudian diminta menuliskan pendapatnya. Karya tersebut kemudian dipajang di papan informasi atau dipresentasikan bersama teman lain, guru, juga pustakawan setempat.
Mereka juga bisa diajak berdiskusi mengenai problem aktual seputar minat baca/menulis dan pengelolaan perpustakaan di kotanya. Juga tidak kalah penting, mereka didorong untuk memiliki rasa percaya diri untuk menulis, mengemukakan pendapat, termasuk menulis surat pembaca.
Saya percaya, tantangan mengasah intelektualitas itu akan menjadi pengalaman yang menarik. Karena otak mereka tidak dibiarkan mubazir, sekaligus mereka mendapatkan pengalaman nyata betapa gagasan atau aspirasi mereka dihargai.
Bagi perpustakaan, suara anak-anak muda sebagai konsumennya itu patut didengarkan dan diapresiasi !
Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612
Wonogiri, 21 November 2010
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Tak hanya mBah Maridjan.
Candi Borobudur ikut pula kena getahnya.
Menjadi korban amukan Gunung Merapi.
Koran-koran mewartakan upaya pembersihan lapisan abu volkanik yang menyelimuti candi megah di Magelang itu. Abu asal Merapi diketahui memiliki kandungan belerang yang bila dibiarkan akan mampu merusak batu patung dan ukiran di candi terkenal tersebut.
Dalam pemberitaaan itu disertakan pula foto patung yang masih utuh, dengan kepala berisi ukiran rambut yang khas.
Pada hari Kamis 25 Juni 1981, sosok patung semacam itu menjadi bahan obrolan mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI Angkatan 1980.
Ketika itu kami sedang melakoni karya wisata dengan menjelajahi perpustakaan-perpustakaan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.Rekreasinya, mengunjungi candi sohor tersebut.
Merujuk salah satu patung yang torsonya lengkap tetapi kepalanya sudah tidak ada di tempat, Gemuru Ritonga, teman kami, nyeletuk yang bikin kita terbahak. Mahasiswa yang suka guyon dan kami terkadang aktif mengerjakan proyek "microfiche" bersama untuk mata-mata kuliah sulit di luar mata kuliah jurusan itu :-(, tinggalnya di daerah Kayuputih, Rawamangun.
Ia bermotor Honda dengan plat merah dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN). Menunjuk kepala patung yang hilang itu Gemuru Ritonga mengatakan : "Sedang dibawa ke salon."
Canda yang terasa masih elegan.
Pasalnya, ada juga canda yang radikal saat itu. Dilakukan teman mahasiswa lain, yang juga berkuliah dengan naik motor berplat merah. Ia memperlakukan khasanah candi dengan canda yang tidak terduga-duga.
Lokasinya di stupa Kuntobimo.
Ketika merasa tangannya tidak mampu menyentuh sosok patung yang terlindung dalam stupa, ia berganti strategi. Kali ini dengan memasukkan kakinya.
Ia berhasil.
Entah cita-cita besar apa yang ingin ia raih dengan upaya nakal itu. Tetapi 29 tahun kemudian pada kartu namanya tercantum berderet gelar akademis yang menghias dan menjepit, dari depan dan dari belakang namanya.
Kalau saja saya tahu khasiat magis Kuntobimo sehebat seperti itu, saya pasti akan ikut-ikutan bergaya melakukan "tendangan kung-fu" terukur lewat lubang, guna menyentuh sosok patung yang selalu menjadi buah bibir para wisatawan itu.
Dua pasang matabola. Tanggal 27 Juni 1981 pagi, rombongan wisatawan mahasiswa itu tiba kembali di kampus Rawamangun.
Tetapi dua hari kemudian, the three musketeers yang terdiri A.C. Sungkana Hadi, Hartadi Wibowo dan saya, harus kembali melakukan "serangan oemoem" ke Yogya lagi.
Berangkatnya dari terminal bis Pulogadung, sore hari. Bahkan sempat diantar, aku tulis di buku harian sebagai dengan "hangat," oleh Arlima "Ipit" Mulyono dan Sri Mulungsih yang berulang tahun 22 November (foto, Juni 1981).
Tidak ada kencan sebelumnya ("jaman itu belum ada HP"), tiba-tiba di terminal yang sama kami kepergok dengan Bakhuri Jamaluddin.
Kami berempat ini dapat dikatakan ramai-ramai sedang pulang kampung. Rombongan yang menuju Yogya memiliki cerita pribadi dan kaitan emosional masing-masing dengan kota pelajar tersebut.
A.C. Sungkana Hadi adalah priyayi Yoja kelahiran Gunung Kidul. Berkuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Kini kepala perpustakaan Universitas Cenderawasih di Jayapura. Hartadi Wibowo yang asal Cilacap, lama berkuliah di Yogyakarta. Kini eksekutif di Bank Mandiri, Jakarta. Lebih detilnya, silakan wawancara beliau sendiri.
Saya sendiri, sejak SD klas 3 (1964), ayah saya Kastanto Hendrowiharso, bekerja di Yogya. Sampai tahun 1976. Walau keluarganya masih di Wonogiri. Saat liburan, saya selalu "pulang" ke Yogya pula. Bahkan pada tahun 1970-1972 saya bersekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta, di Jetis.
Sementara itu Bakhuri Jamaluddin juga pulang kampung. Menuju kotanya Roy Marten, di mana ada desa bernama Suruh, yang merupakan tempat kelahirannya. Salatiga.
Kami berempat meninggalkan Jakarta memiliki tujuan sama : melakukan praktek kerja perpustakaan. A.C. Sungkana Hadi dan saya di IKIP Yogyakarta (kini UNY). Hartadi Wibowo di Perpustakaan Umum Yogyakarta. Sementara Bakhuri Jamaluddin di Universtas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Mengenal pribadi. Di Perpustakaan IKIP Yogyakarta kami dapat bimbingan dari Ibu Suatminah, kepala perpustakaan. Ibu Suatminah belajar kursus ilmu perpustakaan satu angkatan dengan Ibu Soenarti Soebadio di tahun 1950-an. Pembimbing lainnya, Pak Sri Marnodi, alumnus JIP-FSUI.
Dalam berinteraksi dengan mereka, bahkan saya sempat pula nunut mobil Honda Civic-nya Bu Suatminah, ketika pulang dan diturunkan di sekitar komplek UGM di Bulaksumur. Saya tinggal di kos adik saya,Mayor Haristanto, di Babarsari.Di dekat komplek kampus UGM pula. Ia lagi libur kuliahnya di Fisipol UGM dan tempat kosnya saya pakai sebagai markas.
Ketika saling kontak via surat dengan Bakhuri, ia mengatakan jadi minder membaca nama "Mayor" itu. Bahkan ia sempat menguatirkan tas ransel militernya ketika hendak main ke Yogya. Padahal "mayor" itu bukan nama pangkat, tetapi nama paraban belaka yang terpakai sampai saat ini.
Bakhuri datang Sabtu, 11 Juli 1981. Kembali ke Salatiga, esok harinya. Saat itu saya juga menerima surat dari Arlima Mulyono, Jakarta. Kabar darinya membikin cemas. Saya tulis di buku harian : "siap-siap wae akan dimarahi bu Narti : bab Perancis."
Sekadar kilas balik : Arlima, Sri Mulungsih, Zulherman dan saya, mengikuti kuliah bahasa sumber 1 dan 2, Bahasa Perancis. Tetapi, kecuali Sri Mulungsih, ketika menjalani separo semester kedua kami bertiga berkomplot. Untuk mogok, mangkir, desersi di tengah jalan. Tanpa melapor ke Ibu Narti, sekretaris jurusan. Itulah sumber kecemasan saya gara-gara surat Ipit tadi.
Tanggal 7 Juli 1981. Saya sempat jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Di. Jl. Jenderal Sudirman. Pada tahun 1970, tempat ini adalah tempat prakteknya dokter gigi Sudomo. Di tempat ini gigi saya dicabut.
Mungkin ini "hukuman," gara-gara saya tergiur membeli undian dengan hadiah sepeda Phoenix, walau dengan tujuan agar bisa bersekolah dari Kotabaru menuju Jetis lebih menyenangkan ketimbang jalan kaki semata.
Mengejutkan, di toko buku itu saya ketemu Nusantoro. Ia saya kenal saat bersekolah di SMA St. Yosef, Solo, sebagai aktivis drama. Kami berinteraksi di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT), Sasonomulyo, Baluwarti. Sebagai aktivis kesenian saya menjadi "kepala sekolah" Workshop Melukis Anak-anak Gallery Mandungan, Muka Kraton Surakarta.
Nusantoro yang bekerja di toko buku Gramedia itu segera membantu saya. Ketika saya memutuskan membeli buku karya Robert O'Brien dan Joanne Soderman (ed.), The Basic Guide to Research Sources (1975), saya memperoleh potongan harga. Terima kasih, Nunus.
Buku ini cocok sebagai bahan mata kuliah Bahan Referensi Umum (BRU) yang diampu Ibu Soenarti Soebadio dan mBak Siti "Ining" Sumarningsih. Sebagai penulis dan blogger, inti ajaran dari mata kuliah satu ini terus saja saya praktekkan hingga saat ini.
Tanggal 14 Juli 1981, ketika Perancis merayakan hari kemerdekaan, saya mendapat surat dari Zulherman, Jakarta. Isinya : tawaran ikatan dinas dari Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional (PDIN, kini PDII-LIPI) telah menanti. "P-4 juga menanti," begitu saya tulis di buku harian.
Zulherman dan saya sebelumnya memang pernah menghadap Ibu Mimi D. Aman dari PDIN. Kami mencari informasi mengenai peluang ikatan dinas di lembaganya. Naik bis Mayasari 300 dari Rawamangun sampai Gatot Subroto, dibayari Zul dengan karcisnya. Zul kemudian, ketika lulus, mengambil peluang tersebut. Sedang saya saat itu, ketika mendengar ada kata "P-4," malah memunculkan rasa ragu untuk melaju.
Dalam faham saya, ikut P-4 yang wajib bagi pegawai negeri yang baru terekrut tidak lain mengikuti program sterilisasi. Upaya indoktrinasi yang membuat para pegawai negeri menjadi patuh pada rezim Orde Baru yang sangat kuat cakarnya saat itu.
Konser di kamar. Selama praktek kerja di IKIP Yogyakarta itu, yang saya sukai adalah ketika bertugas di bagian sirkulasi.
Walau pun demikian, ketika mengerjakan katalogisasi dan klasifikasi,juga bisa kami buat menarik.
Saat itu saya dan Pak Sungkana (foto : paling kiri bersama Yan Husardi di ruang pengolahan pustaka, Perpustakaan IKIP Yogyakarta, 25 Juni 1981) segera mengunci kamar kerja kita ketika mulai bekerja.
Untuk menghalau rasa bosan, kami ngerumpi tentang banyak hal. Termasuk tentang gaya pria gagah yang reporter berita TVRI asal Manado, yang saat itu tampil begitu "barat dan keren." Namanya Willy Karamoy. Kami pun segera menirukannya. Juga menirukan suasana upacara kenegaraan 17 Agustus seperti dilaporkan di televisi. Termasuk nyanyi-nyanyinya.
Aksi kita ini pernah dikomentari oleh Ibu Suatminah sebagai "menunjukkan perasaan bahagia kami berdua ketika bekerja di perpustakaan."
Saat itu saya ketularan salah satu kebiasaan dari Pak Sungkono yang membekas.Sayangnya, bukan ketularan kecerdasan beliau dalam menyerap mata kuliah. Tetapi tentang aksi meraih sehat dengan ulah menendang-nendang udara.
Aksi itu dia peragakan bila kita sama-sama turun tangga. Sambil turun, kaki kiri dan kaki kanan bergantian menendang udara. "Untuk melancarkan aliran darah kembali di kaki-kaki kita," nasehatnya. Setelah lama hanya duduk-duduk saja, rasanya nasehat beliau itu benar adanya.
Bersibuk-ria di bagian layanan itu menyenangkan karena, bagi saya, bisa ketemu banyak orang. Macam-macam orang. Bisa melihat mahasiswi-mahasiswi cantik. Saya senang melihat Ida Prastini, dari bahasa Inggris.
Pada tanggal 11 Agustus 1981 ia nampak chic dengan dres warna kuning dengan syal merah. Kami bisa sedikit mengobrolkan isi buku dramanya Arthur Miller, Death of Salesman (1951), buku yang saat itu hendak ia pinjam.
Tetapi sayang, saya tidak sempat menemui Siti Rubiyati Latifa asal Ponorogo. Mahasiswi Ekonomi Perusahaan Angkatan 1978 itu di foto nampak cantik sekali.
Tanggal 10 Agustus 1981. Senin. Di rumah familinya Pak Sungkana Hadi, di barat THR, malam itu kami mengobrolkan isi surat yang dikirimkan Sri Mulungsih. Saya tulis di buku harian bahwa, "surat Sri dramatis."
Ceritanya tentang empat teman dekat kami yang terpaksa harus drop out. Malam itu Teddy juga ikut bergabung, akhirnya saya malah tidur di sini. Saya menutup cerita malam itu dengan kalimat : Berhimpunnya 3 Sekawan Pemalas ! Malas mencicil dalam mengerjakan laporan praktek kerja di Yogya tersebut.
Pustakawan tidak mendengarkan. Praktek kerja lapangan (PKL) bagi mahasiswa ilmu perpustakaan telah kami lakoni. Materinya benar-benar klop.
Tetapi saya sering memergoki, ketika sesuatu perpustakaan menjadi tempat PKL untuk pelajar dan bukan mahasiswa ilmu perpustakaan. Anehnya,mereka cenderung memperoleh perlakuan yang sama dengan kami.
Mereka itu nampak selalu dicekoki dengan pemahaman dasar dan bahkan "dipaksa" melakukan praktek-praktek kerja pengelolaan perpustakaan.Tak ada yang salah fatal. Tetapi, hemat saya, kurang pada tempatnya.
Beberapa tahun lalu saya telah menulis surat pembaca di harian Kompas Jawa Tengah untuk mendiskusikan pendekatan miopia kalangan pustakawan selama ini. Dimuat : Selasa, 17 Juli 2007.
Otak Mubazir di Perpustakaan
Musim liburan banyak digunakan para pelajar untuk melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL). Kegiatan yang positif dan bermanfaat. Salah satu tempat mereka melaksanakan PKL adalah perpustakaan.
Ketika mengamati dan menyimaki pelaksanaan PKL selama ini, boleh saya katakan para pelajar itu lebih banyak menganggurkan otak mereka. Karena jenis pekerjaan yang diberikan kepada mereka kebanyakan seputar pekerjaan rutin administratif, yang bahkan lulusan pendidikan yang lebih rendah pun mampu melaksanakannya.
Saya usulkan, para pelajar tersebut juga diajar untuk memanfaatkan secara maksimal khasanah pengetahuan yang dimiliki perpustakaan. Misalnya, mereka didorong memilih buku-buku nonfiksi/ilmu pengetahuan yang menjadi minatnya, kemudian diminta menuliskan pendapatnya. Karya tersebut kemudian dipajang di papan informasi atau dipresentasikan bersama teman lain, guru, juga pustakawan setempat.
Mereka juga bisa diajak berdiskusi mengenai problem aktual seputar minat baca/menulis dan pengelolaan perpustakaan di kotanya. Juga tidak kalah penting, mereka didorong untuk memiliki rasa percaya diri untuk menulis, mengemukakan pendapat, termasuk menulis surat pembaca.
Saya percaya, tantangan mengasah intelektualitas itu akan menjadi pengalaman yang menarik. Karena otak mereka tidak dibiarkan mubazir, sekaligus mereka mendapatkan pengalaman nyata betapa gagasan atau aspirasi mereka dihargai.
Bagi perpustakaan, suara anak-anak muda sebagai konsumennya itu patut didengarkan dan diapresiasi !
Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612
Wonogiri, 21 November 2010
Minggu, 07 November 2010
Like waking up, like coming home
Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Supir truk,Walter Raleigh dan Steve Jobs.
Memiliki bahasa dan aksi yang berbeda tentang cinta sejati.
Walter Raleigh (1552-1618), penjelajah dan kerabat Istana Inggris, mengatakan bahwa "true love is a durable fire, in the mind ever burning, never sick, never old, never dead". Cinta sejati adalah api abadi, selalu membara di hati, tanpa pernah sakit, uzur, atau pun mati.
Supir truk memasang slogan di bak truknya :
"Aku tunggu jandamu."
Steve Jobs, pendiri perusahaan Apple Corporation., dengan aksi.
"Apple adalah kekasih tercinta Jobs ketika kuliah dan kini mereka bertemu kembali dalam pesta reuni setelah 20 tahun berpisah. Steve Jobs kini telah menikah, mempunyai anak dan hidupnya bahagia.
Ketika bertemu kembali dengan kekasihnya itu, ia lihat gadisnya telah kecanduan berat alkohol, dikelilingi konco-konco yang begundal dan preman serta menghancurkan hidupnya sendiri. Walau pun demikian, nurani Jobs menilai mantan kekasihnya itu adalah seorang gadis cantik yang pernah membuainya dengan kalimat bahwa dialah satu-satunya cintanya di dunia.
Lalu apa yang Jobs kerjakan ? Tentu saja ia tak ingin menikahinya. Tetapi dirinya tidak bisa lepas tangan begitu saja karena ia masih menyayanginya. Maka ia ajak kekasihnya itu ke panti rehabilitasi korban alkohol, membantunya untuk bergaul dengan teman-teman baru yang yang lebih baik, dan mengharap yang terbaik bagi masa depannya."
Demikianlah pelukisan dengan kias yang romantis dari Larry Ellison, CEO Oracle dan sahabat karib Jobs, mengenai hubungan emosional antara Jobs dengan Apple. Cerita itu terdapat dalam artikel "Geger Kisah Cinta Ulang Apple dan Jobs" yang dimuat di harian Media Indonesia, 11 September 1997 : 12.
Dari struk kwitansi honorarium tulisan yang ditandatangani redaktur bidang Wicaksono ("di dunia blogger Indonesia kini ia lebih dikenal sebagai nDoro Kakung), saya memperoleh honor Rp. 166.700,00. Dipotong pajak 10 persen, Rp. 16.700,00. Honor bersih : Rp. 150.000,00.
Setelah sempat ditendang selama 12 tahun dari kursi direksi Apple, kisah cinta ulang Steve Paul Jobs dan Apple yang diteguhkan kembali di pentas MacWorld di Boston 6 Agustus 1997, akhir ceritanya ibarat dalam dongeng semata.
Apple yang didirikan oleh putra mahasiswa asal Syria yang kemudian menjadi ilmuwan politik, Abdulfattah Jandali dan Joanne Carole Schieble, tetapi diadopsi dan diasuh keluarga Paul dan Clara Jobs di Mountain View, California, kini tersohor menghasilkan produk-produk yang inovatif. Dunia pun kemudian mengenal iTunes, iPods, iPhones, MacBook Air dan lain sebagainya.
Menurut koran Inggris, The Guardian, di bawah komando Jobs yang masa mudanya pernah memadu cinta dengan penyanyi ballada Joan Baez itu, pada tahun 2000 Apple bernilai 5 milyar dollar dan kini senilai 170 milyar dollar.
Cinta belum mati. Kita semua menyukai dongeng semacam itu. Kita mencandui kisah-kisah tentang insan yang kehilangan peluang untuk bersama pada kesempatan pertama, tetapi kemudian mereka mampu meraihnya kembali pada kesempatan yang kedua.
"Sebagai generasi Baby Boomers yang menghadapi fase terakhir dari hidup kita, banyak di antara kita yang bertahun-tahun berkelana, berpindah-pindah tempat untuk meningkatkan pendidikan atau peluang profesional kita, tiba-tiba kini mendambakan familiarity, sesuatu yang telah lama kita kenali dan akrabi.
Yaitu seseorang yang dapat berbagi tawa untuk lelucon yang sama, yang memahami hal-hal ganjil di antara kita, yang membuat kita tetap saja merasa muda dan cantik. Beberapa di antara mereka menyalakan kembali hubungan lamanya, kadang menghidupkan lagi api asmara, mulai mengingat siapa diri kita di masa lalu, dan terkadang melihat kesempatan untuk bisa mengunjungi rumah itu kembali.
Di antaranya memiliki keberanian untuk memulai hidup baru, sebagian lainnya menghindar. Ada yang menikmati masa-masa indah, sedang lainnya macet di tengah jalan."
Itulah warna-warni kehidupan.
Terima kasih saya kepada Ilene Serlin, psikolog klinis, pendiri dan direktur Union Street Health Associates and the Arts Medicine Program di California Pacific Medical Center. Dalam artikel di blognya berjudul " Reunion: Couples Talk About Second Chances with Their First Loves", yang saya kutip bagian awalnya di atas itu, kita dapat hanyut untuk merasakan bahwa tidak muskil betapa api lama, cinta pertama, the eternal flame itu, masih mampu berkobaran untuk membawa kehangatan dan kebahagiaan bagi pelakunya.
Ada cerita tentang Teri Rosen, penulis. Tinggal di New York. Ketika hendak mengikuti acara reuni 40 tahun sekolah menengahnya, Oktober 2006, putri remajanya wanti-wanti : "Kau di sana akan bertemu dengan pria impianmu, Ma." Ia memang bertemu dengan Ken, cinta pertamanya. Ken kini pemain poker profesional. Tinggal di California. Keduanya berstatus cerai. Pertemuan itu disusul dengan saling bertukar email, lalu ribuan obrolan melalui telepon.
February 2007, ketemuan di Las Vegas. "Dalam penerbangan, saya telah berusaha menguliahi diri sendiri secara tegas tentang resiko bertindak impulsif, tetapi semua itu terlupakan ketika memandangi dirinya. Ketika pulang saya dihujani nasehat oleh teman-teman akrab saya, yang memperlakukan saya ibarat remaja yang tidak terkontrol tingkah lakunya."
Mei 2007 : Keduanya pindah ke Las Vegas. Tulis Teri, "Ken dan saya membeli rumah bersama dan memulai kehidupan yang selama ini selalu kami bayangkan."
Sekarang : "Kami begitu berbahagia karena telah mampu menggusur ke masa lalu kerinduan-kerinduan yang saya gurat dalam puisi. Berbahagia karena kita tidak lagi menjadikan geografi, rasa takut, sinisme, atau apa pun jua menjadi penghalang bagi jalan kami berdua. Itu berarti bahwa dunia bagi kami tidaklah terlalu terlambat, betapa kita masih memiliki kesempatan untuk memadukan sejarah secara bersama-sama."
Selamat untuk Ken.
Selamat juga untuk Teri.
Seperti pulang kembali. Saya bukan Steve Jobs. Perpustakaan Indonesia saat ini juga bukan identik dengan kondisi perusahaan Apple yang dalam kondisi parah seperti saat itu. Umpama pun benar, jelas saya bukan solusi untuk keparahan itu pula.
Saya juga bukan Ken atau Teri.
Tetapi peristiwa reuni dengan masa lalu, seperti halnya mereka, walau hanya melalui media-media maya, rupanya diam-diam memiliki dampak yang kurang lebih serupa.
Sebagai seseorang yang pernah berkuliah ilmu perpustakaan, tetapi kemudian jalan hidup membuat semua khasanah pengetahuan itu terbengkalai, tersingkir dan terabaikan hampir selama seperempat abad, tiba-tiba muncul dorongan untuk kembali. Blog ini kemudian lahir karena dorongan yang sama, untuk kembali.
Ada rentetan keajaiban kecil-kecil yang saya rasakan ketika bisa menuliskan kembali nama-nama teman kuliah saya di blog ini. Termasuk ketika merasa ada yang kurang, sepertinya salah, lalu bisa menemukan nama yang benar. Juga saat menuliskan nama-nama dosen. Termasuk ketika menuliskan cerita interaksi saya dengan mereka di masa lalu. Rasanya seperti menelusuri lorong-lorong gua dan menemukan kembali butir-butir mutiara kenangan, betapa masa itu dengan perspektif masa kini menjadi nampak menjadi berkilauan.
Saya merasa berharga bisa menuliskan itu semua.
Suatu kebetulan, reuni lain yang juga bermakna, saya alami pula di dunia maya. Kalau sedang jatuh cinta, seperti guyonan Warkop, dengan memandangi genting rumah sang kekasih saja sudah mampu menerbitkan kebahagiaan, bagaimana kalau sudah puluhan tahun tak ada kabar, kemudian di Facebook kita bisa menemukan akun dirinya ?
Walter Raleigh memang benar adanya. John Denver dalam lirik lagunya "Perhaps Love" juga memiliki cerita yang memancarkan pesona :
Perhaps love is like the ocean
Full of conflict, full of change
Like a fire when it's cold outside
Or thunder when it rains
If I should live forever
And all my dreams come true
My memories of love will be of you.
Tetapi saya tidak akan meniru ekspresi jujur sang supir truk itu. Misalnya segera mengirimkan message kepadanya dengan ucapan : "Aku tunggu jandamu." Tetapi biarlah kosmis mendengar dan menyampaikan kabar indah, sekaligus menggelisahkan itu. Untuk dia, saya akan mengutip baris akhir dari puisi Teri Rosen untuk Ken ketika memperingati satu tahun reuni mereka :
I-love-you, he says, is just the beginning.
This feels, she says, like a reunion.
Like waking up.
Like coming home.
Wonogiri, 7 November 2010
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Supir truk,Walter Raleigh dan Steve Jobs.
Memiliki bahasa dan aksi yang berbeda tentang cinta sejati.
Walter Raleigh (1552-1618), penjelajah dan kerabat Istana Inggris, mengatakan bahwa "true love is a durable fire, in the mind ever burning, never sick, never old, never dead". Cinta sejati adalah api abadi, selalu membara di hati, tanpa pernah sakit, uzur, atau pun mati.
Supir truk memasang slogan di bak truknya :
"Aku tunggu jandamu."
Steve Jobs, pendiri perusahaan Apple Corporation., dengan aksi.
"Apple adalah kekasih tercinta Jobs ketika kuliah dan kini mereka bertemu kembali dalam pesta reuni setelah 20 tahun berpisah. Steve Jobs kini telah menikah, mempunyai anak dan hidupnya bahagia.
Ketika bertemu kembali dengan kekasihnya itu, ia lihat gadisnya telah kecanduan berat alkohol, dikelilingi konco-konco yang begundal dan preman serta menghancurkan hidupnya sendiri. Walau pun demikian, nurani Jobs menilai mantan kekasihnya itu adalah seorang gadis cantik yang pernah membuainya dengan kalimat bahwa dialah satu-satunya cintanya di dunia.
Lalu apa yang Jobs kerjakan ? Tentu saja ia tak ingin menikahinya. Tetapi dirinya tidak bisa lepas tangan begitu saja karena ia masih menyayanginya. Maka ia ajak kekasihnya itu ke panti rehabilitasi korban alkohol, membantunya untuk bergaul dengan teman-teman baru yang yang lebih baik, dan mengharap yang terbaik bagi masa depannya."
Demikianlah pelukisan dengan kias yang romantis dari Larry Ellison, CEO Oracle dan sahabat karib Jobs, mengenai hubungan emosional antara Jobs dengan Apple. Cerita itu terdapat dalam artikel "Geger Kisah Cinta Ulang Apple dan Jobs" yang dimuat di harian Media Indonesia, 11 September 1997 : 12.
Dari struk kwitansi honorarium tulisan yang ditandatangani redaktur bidang Wicaksono ("di dunia blogger Indonesia kini ia lebih dikenal sebagai nDoro Kakung), saya memperoleh honor Rp. 166.700,00. Dipotong pajak 10 persen, Rp. 16.700,00. Honor bersih : Rp. 150.000,00.
Setelah sempat ditendang selama 12 tahun dari kursi direksi Apple, kisah cinta ulang Steve Paul Jobs dan Apple yang diteguhkan kembali di pentas MacWorld di Boston 6 Agustus 1997, akhir ceritanya ibarat dalam dongeng semata.
Apple yang didirikan oleh putra mahasiswa asal Syria yang kemudian menjadi ilmuwan politik, Abdulfattah Jandali dan Joanne Carole Schieble, tetapi diadopsi dan diasuh keluarga Paul dan Clara Jobs di Mountain View, California, kini tersohor menghasilkan produk-produk yang inovatif. Dunia pun kemudian mengenal iTunes, iPods, iPhones, MacBook Air dan lain sebagainya.
Menurut koran Inggris, The Guardian, di bawah komando Jobs yang masa mudanya pernah memadu cinta dengan penyanyi ballada Joan Baez itu, pada tahun 2000 Apple bernilai 5 milyar dollar dan kini senilai 170 milyar dollar.
Cinta belum mati. Kita semua menyukai dongeng semacam itu. Kita mencandui kisah-kisah tentang insan yang kehilangan peluang untuk bersama pada kesempatan pertama, tetapi kemudian mereka mampu meraihnya kembali pada kesempatan yang kedua.
"Sebagai generasi Baby Boomers yang menghadapi fase terakhir dari hidup kita, banyak di antara kita yang bertahun-tahun berkelana, berpindah-pindah tempat untuk meningkatkan pendidikan atau peluang profesional kita, tiba-tiba kini mendambakan familiarity, sesuatu yang telah lama kita kenali dan akrabi.
Yaitu seseorang yang dapat berbagi tawa untuk lelucon yang sama, yang memahami hal-hal ganjil di antara kita, yang membuat kita tetap saja merasa muda dan cantik. Beberapa di antara mereka menyalakan kembali hubungan lamanya, kadang menghidupkan lagi api asmara, mulai mengingat siapa diri kita di masa lalu, dan terkadang melihat kesempatan untuk bisa mengunjungi rumah itu kembali.
Di antaranya memiliki keberanian untuk memulai hidup baru, sebagian lainnya menghindar. Ada yang menikmati masa-masa indah, sedang lainnya macet di tengah jalan."
Itulah warna-warni kehidupan.
Terima kasih saya kepada Ilene Serlin, psikolog klinis, pendiri dan direktur Union Street Health Associates and the Arts Medicine Program di California Pacific Medical Center. Dalam artikel di blognya berjudul " Reunion: Couples Talk About Second Chances with Their First Loves", yang saya kutip bagian awalnya di atas itu, kita dapat hanyut untuk merasakan bahwa tidak muskil betapa api lama, cinta pertama, the eternal flame itu, masih mampu berkobaran untuk membawa kehangatan dan kebahagiaan bagi pelakunya.
Ada cerita tentang Teri Rosen, penulis. Tinggal di New York. Ketika hendak mengikuti acara reuni 40 tahun sekolah menengahnya, Oktober 2006, putri remajanya wanti-wanti : "Kau di sana akan bertemu dengan pria impianmu, Ma." Ia memang bertemu dengan Ken, cinta pertamanya. Ken kini pemain poker profesional. Tinggal di California. Keduanya berstatus cerai. Pertemuan itu disusul dengan saling bertukar email, lalu ribuan obrolan melalui telepon.
February 2007, ketemuan di Las Vegas. "Dalam penerbangan, saya telah berusaha menguliahi diri sendiri secara tegas tentang resiko bertindak impulsif, tetapi semua itu terlupakan ketika memandangi dirinya. Ketika pulang saya dihujani nasehat oleh teman-teman akrab saya, yang memperlakukan saya ibarat remaja yang tidak terkontrol tingkah lakunya."
Mei 2007 : Keduanya pindah ke Las Vegas. Tulis Teri, "Ken dan saya membeli rumah bersama dan memulai kehidupan yang selama ini selalu kami bayangkan."
Sekarang : "Kami begitu berbahagia karena telah mampu menggusur ke masa lalu kerinduan-kerinduan yang saya gurat dalam puisi. Berbahagia karena kita tidak lagi menjadikan geografi, rasa takut, sinisme, atau apa pun jua menjadi penghalang bagi jalan kami berdua. Itu berarti bahwa dunia bagi kami tidaklah terlalu terlambat, betapa kita masih memiliki kesempatan untuk memadukan sejarah secara bersama-sama."
Selamat untuk Ken.
Selamat juga untuk Teri.
Seperti pulang kembali. Saya bukan Steve Jobs. Perpustakaan Indonesia saat ini juga bukan identik dengan kondisi perusahaan Apple yang dalam kondisi parah seperti saat itu. Umpama pun benar, jelas saya bukan solusi untuk keparahan itu pula.
Saya juga bukan Ken atau Teri.
Tetapi peristiwa reuni dengan masa lalu, seperti halnya mereka, walau hanya melalui media-media maya, rupanya diam-diam memiliki dampak yang kurang lebih serupa.
Sebagai seseorang yang pernah berkuliah ilmu perpustakaan, tetapi kemudian jalan hidup membuat semua khasanah pengetahuan itu terbengkalai, tersingkir dan terabaikan hampir selama seperempat abad, tiba-tiba muncul dorongan untuk kembali. Blog ini kemudian lahir karena dorongan yang sama, untuk kembali.
Ada rentetan keajaiban kecil-kecil yang saya rasakan ketika bisa menuliskan kembali nama-nama teman kuliah saya di blog ini. Termasuk ketika merasa ada yang kurang, sepertinya salah, lalu bisa menemukan nama yang benar. Juga saat menuliskan nama-nama dosen. Termasuk ketika menuliskan cerita interaksi saya dengan mereka di masa lalu. Rasanya seperti menelusuri lorong-lorong gua dan menemukan kembali butir-butir mutiara kenangan, betapa masa itu dengan perspektif masa kini menjadi nampak menjadi berkilauan.
Saya merasa berharga bisa menuliskan itu semua.
Suatu kebetulan, reuni lain yang juga bermakna, saya alami pula di dunia maya. Kalau sedang jatuh cinta, seperti guyonan Warkop, dengan memandangi genting rumah sang kekasih saja sudah mampu menerbitkan kebahagiaan, bagaimana kalau sudah puluhan tahun tak ada kabar, kemudian di Facebook kita bisa menemukan akun dirinya ?
Walter Raleigh memang benar adanya. John Denver dalam lirik lagunya "Perhaps Love" juga memiliki cerita yang memancarkan pesona :
Perhaps love is like the ocean
Full of conflict, full of change
Like a fire when it's cold outside
Or thunder when it rains
If I should live forever
And all my dreams come true
My memories of love will be of you.
Tetapi saya tidak akan meniru ekspresi jujur sang supir truk itu. Misalnya segera mengirimkan message kepadanya dengan ucapan : "Aku tunggu jandamu." Tetapi biarlah kosmis mendengar dan menyampaikan kabar indah, sekaligus menggelisahkan itu. Untuk dia, saya akan mengutip baris akhir dari puisi Teri Rosen untuk Ken ketika memperingati satu tahun reuni mereka :
I-love-you, he says, is just the beginning.
This feels, she says, like a reunion.
Like waking up.
Like coming home.
Wonogiri, 7 November 2010
Jumat, 05 November 2010
Library 2.0, Pustakawan dan Miopia Kita
Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Miopia. Rabun dekat.
Ketidakmampuan memusatkan pandangan pada obyek yang jauh.
Banyak di antara kita yang menderita karenanya.
Di perempatan Gladag Solo, 12 Juli 2008, demo aksi diam yang mengangkat istilah miopia itu telah kami lakukan. Hari itu adalah tepat 8 tahun pencetusan Hari Suporter Nasional.
Kami, sebagian pentolan kelompok suporter sepakbola Pasoepati Solo, melakukan demo (foto di bawah) sebagai perwujudan otokritik terhadap diri kami sendiri : komunitas suporter sepakbola Indonesia.
"Suporter Indonesia = Useful Idiots !"
"Suporter Indonesia, suporter myopia !"
Karena kami selama ini memang menderita miopia, cadok, rabun jauh. Kami hanya mampu melihat hal-hal yang dekat, misalnya bersemangat mengobarkan fanatisme sempit terhadap klub berdasarkan primodialisme yang berlebihan, bahkan rela dibela dengan nyawa. Dengan bekal yang sama kami siap berkonflik, bertarung secara fisik melawan suporter kota lain.
Tidak pula merasa bersalah ketika konflik itu membuat kerusuhan, keonaran dan ketidaktertiban. Lalu merasa dengan kecadokan semacam itu kami sudah merasa cukup. Merasa sehat. Merasa dunia sepakbola Indonesia sudah beres-beres saja adanya.
Kami tidak menyadari terancam hanya menjadi useful idiot, orang-orang yang bagai kerbau dicocok hidung, karena tidak berani memiliki fikiran atau pendirian yang mandiri. Termasuk tidak menyadari bahwa konflik-konflik antarsuporter itu mungkin sengaja "dipelihara," seperti halnya pelbagai konflik di tanah air, sehingga dapat memberikan keuntungan kepada sekelompok aktor intelektual tertentu.
Misalnya, konflik antarsuporter itu dapat dibisniskan dalam bentuk ajang pertemuan antarsuporter, membuat deklarasi ini dan itu, dan ketika waktu berjalan semua hal itu mudah terlupakan. Ingat, bangsa kita adalah bangsa yang pelupa. Lalu ketika muncul konflik antarsuporter lagi, terlebih lagi dengan munculnya korban jiwa, maka siklus bisnis itu berjalan kembali. Kecadokan kronis kami telah dipelihara untuk meraih keuntungan bagi sebagian orang, dengan kami yang bebal ini sebagai tumbalnya.
Ritus dari siklus-siklus semacam sudah juga membuat kami kebal, sehingga mungkin sudah kami tidurkan apa itu yang namanya hati nurani. Akibatnya kemudian, kami menjadi tidak hirau dengan apa yang terjadi di Senayan, tempat Nurdin Halid dan kroninya bercokol di kantor PSSI selama ini. Tidak hirau pula terhadap prestasi tim nasional yang terseyok-seyok, bahkan pernah bonyok oleh tim Laos, dan kini statusnya tidak lagi terhormat di tingkat Asia Tenggara sekali pun.
Presiden yang miopia. Syukurlah, kecadokan tidak hanya monopoli komunitas suporter belaka. Ia juga menulari calon presiden dan presiden. Menjelang kampanye presiden di tahun 2004, saya telah menulis artikel berjudul "Internet Sebagai Senjata Kampanye Presiden," yang dimuat di Harian Kompas, Senin, 8 Maret 2004.
Saat itu saya membandingkan eksekusi situs kampanyenya kandidat Partai Demokrat AS, John Kerry, dengan situs salah satu calon presiden kita, Amien Rais yang dikelola oleh think tank-nya, The Amien Rais Center (ARC). Hemat saya, situs ini tidak ubahnya baru mengalihkan media cetak ke dalam bentuk digital. Pemahaman terhadap Internet yang mendasari eksekusinya ini baru mengolah isi (content), tetapi belum mengeksplorasi pentingnya konteks (context) media berbasis Internet.
Pengelola situs ARC nampak berasumsi bahwa peselancar datang ke situsnya semata-mata untuk membaca-baca berita terbaru mengenai diri Amien Rais. Eksekusi situs web hanya sebagai koran digital itu mengakibatkan peluang simpatisan untuk ikut menjadi bagian integral isi situs secara signifikan, serius terkendala.
Paling-paling hanya boleh memberi komentar untuk sesuatu berita, atau ikut jajak pendapat, yang tidak ubahnya seperti pembaca menulis di kolom surat pembaca di media cetak. Tidak ada pula tautan untuk beragam situs tak resmi PAN atau Amien Rais, tak ada pula blog para pendukungnya.
Bandingkan dengan situs John Kerry. "Selamat datang di situs saya, tetapi ini bukan milik saya pribadi. Ini juga situs milik Anda, yang membukakan peluang untuk melakukan perubahan bagi tanah air kita demi menjadikan Amerika kembali pada jalurnya, dengan memensiunkan George W. Bush, serta memilih arah benar untuk negara yang sama-sama kita cintai ini !" Itulah salam John F. Kerry, senator Partai Demokrat dari Massachusetts, yang kandidat presiden di Pemilu 2004, dalam situs web resminya [www.johnkerry.com].
Sungguh kampanye politik yang hebat, sekaligus menunjukkan pemahaman terhadap Internet yang juga tepat. Situs web John Kerry oleh pengamat strategi kampanye memakai Internet didaulat sebagai nomor dua di belakang situs web kandidat lainnya, Howard Dean. Ucapan bahwa situsnya bukan hanya miliknya semata, ditunjukkkan dengan tersajinya tautan untuk situs web tak resminya, fasilitas chat dan puluhan blog milik para pendukungnya di Internet.
Riuhnya para blogger mengisi situs Kerry itu memicu interaksi unik dan kreatif ketika dukungannya tidak hanya sekedar kata-kata di dunia maya. Dua orang blogger setianya, Tom AZ (Arizona) dan Mark (Iowa) memutuskan berlomba saat mendukung tim baseball favoritnya dan sekaligus mendukung gerakan pengumpulan dana "Satu Juta Dollar Melalui Internet Bagi John Kerry" yang ditutup akhir September 2003.
Caranya : ketika tim baseball Arizona State Sun Devils dukungan Tom AZ bertanding melawan tim Hawkeyes dari Iowa yang didukung Mark, keduanya sepakat mendonasikan dua dollar untuk setiap angka yang dihasilkan tim yang didukungnya dalam pertandingan tersebut untuk John Kerry.
Ilustrasi tadi menunjukkan John Kerry membuka peluang dan akses agar konstituennya saling berinteraksi dalam mendukung kampanyenya di Internet. Tim sukses Kerry menyadari bahwa kampanye bermedia Internet jauh lebih efektif apabila tidak dijalankan secara monolitis, terpusat, top-down, melainkan justru digerakkan menurut norma Internet sebagai media yang egaliter, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Di sinilah kedigdayaan Internet menyelipkan pesan politik yang luhur, bahwa keberhasilan kandidat dalam memanfaatkannya untuk kampanye justru harus memberi peluang dan mendorong konstituennya buka suara, sementara para kandidat itu pun harus pula membuka lebar-lebar telinganya guna menyerap aspirasi dan suara rakyatnya.
Bagaimana di Indonesia ? Silakan periksa saja situs [http://www.presidensby.info], situs resmi presiden SBY kita Tidak ada fasilitas bagi peselancar untuk menulis sesuatu komentar atau umpan balik di sana. Dengan merujuk panduan Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun dalam Rules of The Net (1996) bahwa "If a website has no feedback mechanism, forget it," maka sebaiknya keberadaan situs Pak Beye yang tidak interaktif itu, mau tak mau, kita lupakan saja ?
"The power of the masses.
A new figure emerges : the prosumer, a producer and consumer of information.
Anyone can be a prosumer."
Miopia dan pustakawan kita. Itulah sepotong narasi dari video berjudul "Prometeus - The Media Revolution" yang diputar pada helat pertemuan aktivis media akar rumput di Jagongan Media Rakyat (JMR) 2010 di Jogja National Museum Yogyakarta, 24 Juli 2010.
Penampilnya adalah rekan yang saya kenal melalui Internet, pegiat budaya Internet Sehat, Donny Budi Utoyo, dari ICT Watch Jakarta. Mungkin saya satu-satunya penonton yang memiliki DNA ilmu perpustakaan yang hadir untuk menyerap pengetahuan dari Mas Donny ini.
Sementara di ruang yang lain, pada saat yang sama, berkumpul para pustakawan dari Yogyakarta dan sekitarnya sedang asyik mengikuti presentasi tentang Senayan Library Management Systems (SLiMS) yang dilakukan langsung oleh Hendro Wicaksono, head developer SLiMS yang juga alumnus Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Angkatan 1992.
Kalau saja waktu bisa diputar balik, betapa makin menariknya bila komunitas pustakawan dan pegiat SLiMS di Yogya saat itu dapat pula menyerap wawasan dari sajian video di atas. Dan juga video lainnya dari YouTube yang berkisah mengenai "Social Media Revolution" yang sedang menggelegak. Aksentuasinya terasa semakin menegas melalui hentakan lagu hip-hop Fat Boy Slim sebagai ilustrasinya : "Right here, right now ; right here, right now ; right here, right now !".
Revolusi media sosial memang telah terjadi sekarang ini. Juga sebenarnya deras melanda dunia perpustakaan. Itulah badai yang disebut Library 2.0, di mana gelombang besar baru kaum prosumer sedang menanti di depan pintu-pintu perpustakaan. Untuk menjadi semakin terbuka lebar bagi aspirasi mereka.
Adalah John Blyberg dalam artikelnya 11 Reasons Why Library 2.0 Exists and Matters antara lain mengutip pendapat Michael Stephens.
Katanya,"Library 2.0 sederhananya merupakan upaya membuat perpustakaan, baik fisik atau maya, lebih interaktif, kolaboratif dan digerakkan oleh kebutuhan komunitas yang mendukungnya. Contohnya dengan memasukkan fasilitas blog, arena bermain di malam hari bagi remaja, sampai situs kolaborasi untuk pemajangan foto-foto mereka.
Daya dorong utamanya adalah membuat pembaca bisa mengunjungi perpustakaan kembali dengan membuat perpustakaan relevan bagi kebutuhan dan keinginan mereka dalam kehidupannya sehari-hari…membuat perpustakaan sebagai tujuan dan bukan sebagai hal yang difikirkan belakangan."
Artikel John Blyberg itu saya baca melalui akses Internet di Perpustakaan Umum Wonogiri, hari Jumat pagi (5/11). Sebelum nongkrong pada salah satu dari 6 komputer yang ada, saya menemui Pak Budi Prasetyo. Beliau kemudian bercerita tentang dua putranya yang menjadi relawan di Mentawai dan Merapi. Sosok lain yang saya temui adalah Muhammad Julianto.
Yang pertama adalah pensiunan guru SMP dan yang kedua adalah pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Solo. Saya salami rada hangat karena artikelnya mengenai perombakan budaya birokrasi di Wonogiri seiring terpilihnya bupati baru dimuat di harian Solopos beberapa hari yang lalu.
Kami bertiga ini, selain pengunjung tetap, kami secara tidak resmi atau bahkan resmi merupakan anggota "dewan perpustakaan" dari perpustakaan umum ini. Tidak resmi karena tidak ada SK-nya. Tetapi juga resmi karena secara "tiban" pernah menandatangani surat-surat resmi mereka.
Karena ketika perpustakaan ini beberapa bulan lalu mendapatkan anggaran secara "tiba-tiba" dari Provinsi Jawa Tengah untuk menambah koleksi, 78 juta rupiah (kalau tak salah ingat), kami bertiga diminta untuk ikut tanda tangan dalam berkas-berkas proposalnya. Dengan senang hati, kami membubuhkan tanda tangan. Entah apa kemudian kelanjutannya.
Merujuk momen spesial itu, mungkinkah aksi kami bertiga ini sudah menjadi bagian dari pelaksanaan mazhab Library 2.0 di Wonogiri ini ? Boleh jadi. Karena sebagai orang luar kami telah ikut sedikit dalam menentukan kebijakan pengembangan perpustakaan. Tetapi kalau hanya melibatkan kami bertiga, betapa elitis diri kami, sekaligus betapa masih kurang kolaboratifnya perpustakaan bersangkutan untuk bisa melayani khalayak yang lebih banyak.
Bagaimana isu Library 2.0 menderu di kota lain ? Siang harinya saya mencoba mencari tahu. Saya mengirimkan SMS ke Ahmad Subhan di Yogyakarta :
"Gimana Merapi ? Wah, acrku jd nr sumber di Ykt, 6-7/11 ditunda. Btw, di komunitas SLiMS apa prnah ada isu2 obrolan ttg katalogisasi sosial ? Jg Library 2.0 ? Salam." (Jumat, 5 November 2010 : 13.22.34).
"Merapi bikin repot lg pak :D. Kayaknya komunitas SLiMS blom pernah mengadakan diskusi dua topik itu." (Jumat, 5 November 2010 : 14.55.58).
Terima kasih, Subhan.
Apakah jawaban dari Subhan ini dapat didaulat sebagai cerminan bahwa komunitas pustakawan kita, yang melek teknologi informasi pun, masih mengidap miopia terhadap sosok Library 2.0 yang mengetuk-etuk pintu kita ?
Sebagai pencinta sepakbola sekaligus pencetus hari Suporter Nasional 12 Juli (2000) saya telah berdemo, menggugat kaum saya sendiri, di perempatan Gladag Solo dua tahun yang lalu. Kini, sebagai seseorang yang masih memiliki rasa cinta terhadap ilmu perpustakaan dan kepustakawanan, ijinkanlah saya kembali berdemo untuk kawan-kawan, kaum saya sendiri.
Saya akan mengacung-acungkan banner dengan tulisan berisi pertanyaan :
"Pustakawan Indonesia,
pustakawan miopia ?"
Wonogiri, 6 November 2010
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Miopia. Rabun dekat.
Ketidakmampuan memusatkan pandangan pada obyek yang jauh.
Banyak di antara kita yang menderita karenanya.
Di perempatan Gladag Solo, 12 Juli 2008, demo aksi diam yang mengangkat istilah miopia itu telah kami lakukan. Hari itu adalah tepat 8 tahun pencetusan Hari Suporter Nasional.
Kami, sebagian pentolan kelompok suporter sepakbola Pasoepati Solo, melakukan demo (foto di bawah) sebagai perwujudan otokritik terhadap diri kami sendiri : komunitas suporter sepakbola Indonesia.
"Suporter Indonesia = Useful Idiots !"
"Suporter Indonesia, suporter myopia !"
Karena kami selama ini memang menderita miopia, cadok, rabun jauh. Kami hanya mampu melihat hal-hal yang dekat, misalnya bersemangat mengobarkan fanatisme sempit terhadap klub berdasarkan primodialisme yang berlebihan, bahkan rela dibela dengan nyawa. Dengan bekal yang sama kami siap berkonflik, bertarung secara fisik melawan suporter kota lain.
Tidak pula merasa bersalah ketika konflik itu membuat kerusuhan, keonaran dan ketidaktertiban. Lalu merasa dengan kecadokan semacam itu kami sudah merasa cukup. Merasa sehat. Merasa dunia sepakbola Indonesia sudah beres-beres saja adanya.
Kami tidak menyadari terancam hanya menjadi useful idiot, orang-orang yang bagai kerbau dicocok hidung, karena tidak berani memiliki fikiran atau pendirian yang mandiri. Termasuk tidak menyadari bahwa konflik-konflik antarsuporter itu mungkin sengaja "dipelihara," seperti halnya pelbagai konflik di tanah air, sehingga dapat memberikan keuntungan kepada sekelompok aktor intelektual tertentu.
Misalnya, konflik antarsuporter itu dapat dibisniskan dalam bentuk ajang pertemuan antarsuporter, membuat deklarasi ini dan itu, dan ketika waktu berjalan semua hal itu mudah terlupakan. Ingat, bangsa kita adalah bangsa yang pelupa. Lalu ketika muncul konflik antarsuporter lagi, terlebih lagi dengan munculnya korban jiwa, maka siklus bisnis itu berjalan kembali. Kecadokan kronis kami telah dipelihara untuk meraih keuntungan bagi sebagian orang, dengan kami yang bebal ini sebagai tumbalnya.
Ritus dari siklus-siklus semacam sudah juga membuat kami kebal, sehingga mungkin sudah kami tidurkan apa itu yang namanya hati nurani. Akibatnya kemudian, kami menjadi tidak hirau dengan apa yang terjadi di Senayan, tempat Nurdin Halid dan kroninya bercokol di kantor PSSI selama ini. Tidak hirau pula terhadap prestasi tim nasional yang terseyok-seyok, bahkan pernah bonyok oleh tim Laos, dan kini statusnya tidak lagi terhormat di tingkat Asia Tenggara sekali pun.
Presiden yang miopia. Syukurlah, kecadokan tidak hanya monopoli komunitas suporter belaka. Ia juga menulari calon presiden dan presiden. Menjelang kampanye presiden di tahun 2004, saya telah menulis artikel berjudul "Internet Sebagai Senjata Kampanye Presiden," yang dimuat di Harian Kompas, Senin, 8 Maret 2004.
Saat itu saya membandingkan eksekusi situs kampanyenya kandidat Partai Demokrat AS, John Kerry, dengan situs salah satu calon presiden kita, Amien Rais yang dikelola oleh think tank-nya, The Amien Rais Center (ARC). Hemat saya, situs ini tidak ubahnya baru mengalihkan media cetak ke dalam bentuk digital. Pemahaman terhadap Internet yang mendasari eksekusinya ini baru mengolah isi (content), tetapi belum mengeksplorasi pentingnya konteks (context) media berbasis Internet.
Pengelola situs ARC nampak berasumsi bahwa peselancar datang ke situsnya semata-mata untuk membaca-baca berita terbaru mengenai diri Amien Rais. Eksekusi situs web hanya sebagai koran digital itu mengakibatkan peluang simpatisan untuk ikut menjadi bagian integral isi situs secara signifikan, serius terkendala.
Paling-paling hanya boleh memberi komentar untuk sesuatu berita, atau ikut jajak pendapat, yang tidak ubahnya seperti pembaca menulis di kolom surat pembaca di media cetak. Tidak ada pula tautan untuk beragam situs tak resmi PAN atau Amien Rais, tak ada pula blog para pendukungnya.
Bandingkan dengan situs John Kerry. "Selamat datang di situs saya, tetapi ini bukan milik saya pribadi. Ini juga situs milik Anda, yang membukakan peluang untuk melakukan perubahan bagi tanah air kita demi menjadikan Amerika kembali pada jalurnya, dengan memensiunkan George W. Bush, serta memilih arah benar untuk negara yang sama-sama kita cintai ini !" Itulah salam John F. Kerry, senator Partai Demokrat dari Massachusetts, yang kandidat presiden di Pemilu 2004, dalam situs web resminya [www.johnkerry.com].
Sungguh kampanye politik yang hebat, sekaligus menunjukkan pemahaman terhadap Internet yang juga tepat. Situs web John Kerry oleh pengamat strategi kampanye memakai Internet didaulat sebagai nomor dua di belakang situs web kandidat lainnya, Howard Dean. Ucapan bahwa situsnya bukan hanya miliknya semata, ditunjukkkan dengan tersajinya tautan untuk situs web tak resminya, fasilitas chat dan puluhan blog milik para pendukungnya di Internet.
Riuhnya para blogger mengisi situs Kerry itu memicu interaksi unik dan kreatif ketika dukungannya tidak hanya sekedar kata-kata di dunia maya. Dua orang blogger setianya, Tom AZ (Arizona) dan Mark (Iowa) memutuskan berlomba saat mendukung tim baseball favoritnya dan sekaligus mendukung gerakan pengumpulan dana "Satu Juta Dollar Melalui Internet Bagi John Kerry" yang ditutup akhir September 2003.
Caranya : ketika tim baseball Arizona State Sun Devils dukungan Tom AZ bertanding melawan tim Hawkeyes dari Iowa yang didukung Mark, keduanya sepakat mendonasikan dua dollar untuk setiap angka yang dihasilkan tim yang didukungnya dalam pertandingan tersebut untuk John Kerry.
Ilustrasi tadi menunjukkan John Kerry membuka peluang dan akses agar konstituennya saling berinteraksi dalam mendukung kampanyenya di Internet. Tim sukses Kerry menyadari bahwa kampanye bermedia Internet jauh lebih efektif apabila tidak dijalankan secara monolitis, terpusat, top-down, melainkan justru digerakkan menurut norma Internet sebagai media yang egaliter, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Di sinilah kedigdayaan Internet menyelipkan pesan politik yang luhur, bahwa keberhasilan kandidat dalam memanfaatkannya untuk kampanye justru harus memberi peluang dan mendorong konstituennya buka suara, sementara para kandidat itu pun harus pula membuka lebar-lebar telinganya guna menyerap aspirasi dan suara rakyatnya.
Bagaimana di Indonesia ? Silakan periksa saja situs [http://www.presidensby.info], situs resmi presiden SBY kita Tidak ada fasilitas bagi peselancar untuk menulis sesuatu komentar atau umpan balik di sana. Dengan merujuk panduan Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun dalam Rules of The Net (1996) bahwa "If a website has no feedback mechanism, forget it," maka sebaiknya keberadaan situs Pak Beye yang tidak interaktif itu, mau tak mau, kita lupakan saja ?
"The power of the masses.
A new figure emerges : the prosumer, a producer and consumer of information.
Anyone can be a prosumer."
Miopia dan pustakawan kita. Itulah sepotong narasi dari video berjudul "Prometeus - The Media Revolution" yang diputar pada helat pertemuan aktivis media akar rumput di Jagongan Media Rakyat (JMR) 2010 di Jogja National Museum Yogyakarta, 24 Juli 2010.
Penampilnya adalah rekan yang saya kenal melalui Internet, pegiat budaya Internet Sehat, Donny Budi Utoyo, dari ICT Watch Jakarta. Mungkin saya satu-satunya penonton yang memiliki DNA ilmu perpustakaan yang hadir untuk menyerap pengetahuan dari Mas Donny ini.
Sementara di ruang yang lain, pada saat yang sama, berkumpul para pustakawan dari Yogyakarta dan sekitarnya sedang asyik mengikuti presentasi tentang Senayan Library Management Systems (SLiMS) yang dilakukan langsung oleh Hendro Wicaksono, head developer SLiMS yang juga alumnus Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Angkatan 1992.
Kalau saja waktu bisa diputar balik, betapa makin menariknya bila komunitas pustakawan dan pegiat SLiMS di Yogya saat itu dapat pula menyerap wawasan dari sajian video di atas. Dan juga video lainnya dari YouTube yang berkisah mengenai "Social Media Revolution" yang sedang menggelegak. Aksentuasinya terasa semakin menegas melalui hentakan lagu hip-hop Fat Boy Slim sebagai ilustrasinya : "Right here, right now ; right here, right now ; right here, right now !".
Revolusi media sosial memang telah terjadi sekarang ini. Juga sebenarnya deras melanda dunia perpustakaan. Itulah badai yang disebut Library 2.0, di mana gelombang besar baru kaum prosumer sedang menanti di depan pintu-pintu perpustakaan. Untuk menjadi semakin terbuka lebar bagi aspirasi mereka.
Adalah John Blyberg dalam artikelnya 11 Reasons Why Library 2.0 Exists and Matters antara lain mengutip pendapat Michael Stephens.
Katanya,"Library 2.0 sederhananya merupakan upaya membuat perpustakaan, baik fisik atau maya, lebih interaktif, kolaboratif dan digerakkan oleh kebutuhan komunitas yang mendukungnya. Contohnya dengan memasukkan fasilitas blog, arena bermain di malam hari bagi remaja, sampai situs kolaborasi untuk pemajangan foto-foto mereka.
Daya dorong utamanya adalah membuat pembaca bisa mengunjungi perpustakaan kembali dengan membuat perpustakaan relevan bagi kebutuhan dan keinginan mereka dalam kehidupannya sehari-hari…membuat perpustakaan sebagai tujuan dan bukan sebagai hal yang difikirkan belakangan."
Artikel John Blyberg itu saya baca melalui akses Internet di Perpustakaan Umum Wonogiri, hari Jumat pagi (5/11). Sebelum nongkrong pada salah satu dari 6 komputer yang ada, saya menemui Pak Budi Prasetyo. Beliau kemudian bercerita tentang dua putranya yang menjadi relawan di Mentawai dan Merapi. Sosok lain yang saya temui adalah Muhammad Julianto.
Yang pertama adalah pensiunan guru SMP dan yang kedua adalah pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Solo. Saya salami rada hangat karena artikelnya mengenai perombakan budaya birokrasi di Wonogiri seiring terpilihnya bupati baru dimuat di harian Solopos beberapa hari yang lalu.
Kami bertiga ini, selain pengunjung tetap, kami secara tidak resmi atau bahkan resmi merupakan anggota "dewan perpustakaan" dari perpustakaan umum ini. Tidak resmi karena tidak ada SK-nya. Tetapi juga resmi karena secara "tiban" pernah menandatangani surat-surat resmi mereka.
Karena ketika perpustakaan ini beberapa bulan lalu mendapatkan anggaran secara "tiba-tiba" dari Provinsi Jawa Tengah untuk menambah koleksi, 78 juta rupiah (kalau tak salah ingat), kami bertiga diminta untuk ikut tanda tangan dalam berkas-berkas proposalnya. Dengan senang hati, kami membubuhkan tanda tangan. Entah apa kemudian kelanjutannya.
Merujuk momen spesial itu, mungkinkah aksi kami bertiga ini sudah menjadi bagian dari pelaksanaan mazhab Library 2.0 di Wonogiri ini ? Boleh jadi. Karena sebagai orang luar kami telah ikut sedikit dalam menentukan kebijakan pengembangan perpustakaan. Tetapi kalau hanya melibatkan kami bertiga, betapa elitis diri kami, sekaligus betapa masih kurang kolaboratifnya perpustakaan bersangkutan untuk bisa melayani khalayak yang lebih banyak.
Bagaimana isu Library 2.0 menderu di kota lain ? Siang harinya saya mencoba mencari tahu. Saya mengirimkan SMS ke Ahmad Subhan di Yogyakarta :
"Gimana Merapi ? Wah, acrku jd nr sumber di Ykt, 6-7/11 ditunda. Btw, di komunitas SLiMS apa prnah ada isu2 obrolan ttg katalogisasi sosial ? Jg Library 2.0 ? Salam." (Jumat, 5 November 2010 : 13.22.34).
"Merapi bikin repot lg pak :D. Kayaknya komunitas SLiMS blom pernah mengadakan diskusi dua topik itu." (Jumat, 5 November 2010 : 14.55.58).
Terima kasih, Subhan.
Apakah jawaban dari Subhan ini dapat didaulat sebagai cerminan bahwa komunitas pustakawan kita, yang melek teknologi informasi pun, masih mengidap miopia terhadap sosok Library 2.0 yang mengetuk-etuk pintu kita ?
Sebagai pencinta sepakbola sekaligus pencetus hari Suporter Nasional 12 Juli (2000) saya telah berdemo, menggugat kaum saya sendiri, di perempatan Gladag Solo dua tahun yang lalu. Kini, sebagai seseorang yang masih memiliki rasa cinta terhadap ilmu perpustakaan dan kepustakawanan, ijinkanlah saya kembali berdemo untuk kawan-kawan, kaum saya sendiri.
Saya akan mengacung-acungkan banner dengan tulisan berisi pertanyaan :
"Pustakawan Indonesia,
pustakawan miopia ?"
Wonogiri, 6 November 2010
Rabu, 03 November 2010
Sup Keong Racun Untuk Pustakawan
Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
"Pratiwi, istri saya ?"
"Ya !"
Hotel Borobudur International, Jakarta.
Tanggal : 24 November 2004.
Di tempat inilah potongan dialog di atas itu terjadi. Antara Prof. Sarlito Wirawan Sarwono dan saya. Saat itu para finalis Mandom Resolution Award (MRA) 2004 bersama para juri, sedang menikmati rehat makan siang.
Prof. Sarlito adalah ketua juri, didampingi wartawan senior Maria Hartiningsih dari harian Kompas dan psikolog dan penyanyi, Tika Bisono. Saya yang bakal menghadapi ketiga juri itu pada keesokan harinya, saat itu sedang mencari-cari akal untuk memecah es dalam berinteraksi dengan mereka.
Sebagai orang yang beruntung mengenyam pendidikan ilmu perpustakaan, sebelum berangkat ke Jakarta saya sudah melakukan riset cukup memadai tentang ketiganya. Di saat makan siang itulah saya memutuskan bahwa Mas Ito, panggilan populer Prof. Sarlito, merupakan sasaran pertama yang harus saya serang.
Di depan beliau, mesin waktu saya segera meluncur. Mundur kembali ke tahun 1984. Saat itu A.C. Sungkana Hadi, Hartadi Wibowo dan saya mendapat tugas dari Ibu Lily K. Somadikarta. Tugas menarik. Melakukan wawancara tentang pendapat para kepala perpustakaan di lingkungan Universitas Indonesia mengenai perpustakaan pusat UI yang akan dibangun di kampus baru, di Depok.
"Saya adik kelas mBak Pratiwi, di JIP-FSUI. Pada tahun 1984 saya pernah mewawancarai beliau di kampus Fakultas Psikologi UI di Rawamangun," begitu jurus saya dalam melepaskan tendangan kung-fu ke arah Mas Ito. Benteng itu kiranya runtuh. Saya, nampaknya, di mata beliau kemudian berstatus bukan sebagai orang asing lagi. Tetapi sama-sama sebagai keluarga alumni UI.
Sebagai salah satu dari 20 finalis kontes Mandom Resolution Award 2004, setelah lolos seleksi dari 923 peserta se-Indonesia, di depan para juri itu saya menjual resolusi meluncurkan 100 blog untuk warga komunitas Epistoholik Indonesia. Entah karena resolusi saya ini termasuk baik, atau karena ada dua juri yang sama-sama dari UI, saya akhirnya memperoleh kemenangan. Posisi ketiga dari 10 juara.
Duta-duta Mandom. Sepuluh pemenang Mandom Resolution Award 2004 berpose sesudah menerima penghargaan. Nomor tiga dari kiri adalah Hariyadi (Yogyakarta), Dian Safitri (Jakarta), Bagyo Anggono (Wonogiri), Hisyam Zamroni (Karimunjawa), Slamet Sudarmaji (Yogyakarta), Deny Wibisono (Jombang), Ilham Prayudi (Jakarta), Bambang Haryanto (Wonogiri), Soleman Betawai (Jakarta) dan Tarjum Samad (Subang).Paling kanan Prof. Sarlito Wirawan Sarwono.
Momen yang tak akan terlupakan. Agar silaturahmi dengan Mas Ito tidak langsung putus, pada akhir bulan Januari 2005 tiba-tiba saya merasa harus mengirimkan sesuatu yang unik untuk beliau. Setelah terkirim, saya baru tahu bahwa pada awal Februari adalah hari ulang tahun beliau.
Foto Mas Ito yang sedang bermain seks, maksud saya sax (ophone), saya pajang dalam sebuah vertical banner, spanduk tegak, lumayan besar. Juga tercantum cerita dan foto cucu cantik, kesayangan beliau. Benda itu kini terpasang di kantor beliau, di kampus Fakultas Psikologi UI di Depok.
Bahkan saat Mas Ito bersedia menulis endorsement untuk buku humor saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Imania, 2010), cerita tentang spanduk tegak itu juga muncul. Konon, kini tempat spanduk itu dipasang telah menjadi tourist spot favorit bagi mereka yang "rada-rada norak," begitu keterangan berbau canda Mas Ito dalam email kepada saya, untuk berfoto-foto ria bersama dirinya.
Perempuan hebat. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono adalah salah satu tokoh terpandang di republik ini. Beliau memiliki istri seorang pustakawati. Ibu Lily K. Somadikarta, di Semarang pada tanggal 26 Maret 1984 pernah memberi tahu saya bahwa istri dari kartunis terpandang Indonesia, GM Sudarta, adalah pula seorang pustakawati.
Guru besar emeritus terkenal dari Universitas Airlangga, Prof. Sutandyo Wignyosubroto, istrinya adalah juga pustakawati. Beliau adalah almarhumah Ibu Asmi Sutandyo, yang pada tahun 1982 juga berkuliah di JIP-FSUI. Saya berinteraksi dengan beliau saat saya menjadi asisten pengajar untuk mata kuliah praktek Media Teknologi. Sementara, tokoh pers Indonesia terkenal, Atmakusumah, punya istri Sri Roemiati Atmakusumah, yang pustakawati, dan kebetulan sama-sama satu angkatan di JIP-FSUI 1980.
Dari Bakhuri Jamaluddin saya dapat info bahwa aktor pemenang Citra, Tio Pakusadewo, merupakan putra dari pustakawati di lingkungan DPR RI. Lanjutan data ini, silakan Anda lanjutkan sendiri - tetapi mohon saya juga dikabari.
Mengenang tepat 6 tahun bertemu Mas Ito di Hotel Borobudur (di SMS beliau pernah bercanda dengan menyebutnya sebagai "hotel kita"), tiba-tiba ada hal yang mengusik hati saya saat ini. Hal-hal yang menarik tentang para pustakawati di atas bukankah layak untuk ditelisik, dibedah, dihimpun, disusun, kemudian dijadikan sebagai isi buku yang sarat inspirasi bagi profesi ini ?
Kita kenal ada ujaran bahwa di balik para pria yang sukses pasti terdapat perempuan yang istimewa. Untuk seorang Mas Ito, Prof. Tandyo atau Bapak Atmakusumah, bukankah dapat dikeduk kisah-kisah human interest yang kaya mengenai peran istri-istri mereka yang pustakawati itu dalam kehidupan sukses, juga suka dan duka, bersama segenap keluarga mereka ?
Untuk penyajian himpunan cerita-cerita manusiawi dan inspiratif ini kita dapat berkaca dari sukses serial buku terkenal dengan payung judul Chicken Soup karya kolaborasi Jack Canfield, Mark Victor Hansen dan kawan-kawannya. Terdapat belasan judul (foto) yang sebagian besar menjadi buku-buku laris.
Saya tidak tahu apakah ada seri yang membahas profesi pustakawan, sebab saya hanya memiliki Chicken Soup for the Sports Fan's Soul (2000) yang saya beli di toko buku Gramedia, Jl. Pajajaran, Bogor, 30 Agustus 2002.
Buku-buku seperti itu, yang mampu bercerita tentang pustakawan dalam sorot lensa pandang yang manusiawi, yang mampu menyentuh hati dan jiwa, sangatlah dibutuhkan bagi profesi satu ini. Senyatanya kita sangat kekurangan cerita, termasuk biografi para pustakawan.
Maafkan bila cakrawala saya yang sempit ini. Tetapi ketika sempat membolak-balik koleksi buku tentang perpustakaan dan pustakawan yang ada di Perpustakaan Umum Wonogiri, yang ada hanya buku-buku "resmi" melulu. Buku-buku yang kering. Pustaka yang barangkali hanya cocok dibaca untuk menghadapi ujian dan sesudah ujian pantas untuk dilupakan. Karena buku-buku itu belum mampu menjangkau hati.
Jerangkong yang menari. Di Internet, bagaimana ? Pada pelbagai situs dan blog yang dikelola pustakawan atau pustakawati kita, yang selama ini bisa saya temui, nampaknya kurang lebih serupa. Nyaris tidak ada yang berkisah tentang "jerangkong- jerangkong yang menari" yang muncul dari lemari-lemari para pustakawan Indonesia selama ini.
"Jika Anda punya jerangkong, kerangka manusia, di dalam lemari Anda, keluarkanlah. Dan menarilah bersamanya," begitu nasehat Caroline MacKenzie seperti dikutip Susan Shaughnessy dalam bukunya Walking on Alligators : A Book of Meditations for Writers (1993) yang edisi bahasa Indonesianya berjudul Berani Berekspresi : Buku Meditasi Untuk Para Penulis ( 2004).
"Penulis harus menari bersama jerangkong, tulang kerangka mereka sendiri !," timpal Susan Shaughnessy atas pendapat Carolyn MacKenzie tadi. Kerangka manusia adalah kiasan untuk hal yang paling Anda hindari untuk dituliskan. Misalnya rasa malu yang membuat Anda bergidik dan menciut, yang pada akhirnya akan muncul juga dalam tulisan Anda.
Mengapa ? Karena menurutnya di sanalah energi jiwa Anda tertimbun. Dengan menuliskannya, Anda meratakannya. Energi itu mengalir ke dalam tulisan Anda dan membuatnya hidup. Jerangkong itu kering dan tidak bernyawa. Tetapi mereka bisa menari.
Dengan media blog inilah saya selama ini mencoba menari. Dengan menuliskan surat-surat cinta. Menceritakan sisi-sisi kehidupan pribadi. Minimal itulah sosok blog yang bisa saya serap dari inspirasi diva blogger Halley Suit yang di tahun 2004 didaulat The Anita Borg Institute sebagai "Online Diva" dalam artikelnya yang menarik.
Dalam tulisannya berjudul "Alpha Female Blogging" (2004) antara lain ia menyatakan : "A blog is a love letter. Blogging is nothing, if not personal and full of life……[blogs are] one of the last places where you can still tell the truth… A blog is my head, open to you, day and night, at your convenience. They are changing and they are changing us - how we communicate, how we think, how we care about one another and how we join together to change the world. "
Terima kasih, Halley.
Bagi saya kini,perkara apakah blog ini dapat didaulat sebagai semangkuk sup ayam yang lezat atau hambar bagi kalangan pustakawan, saya tidak tahu. Yang saya tahu pasti, isinya tidak mengandung keong racun di dalamnya.
Wonogiri, 3 November 2010
Diketik sambil menikmati "Clair de lune"-nya Claude Debussy.
Email : jip80fsui (at) gmail.com
"Pratiwi, istri saya ?"
"Ya !"
Hotel Borobudur International, Jakarta.
Tanggal : 24 November 2004.
Di tempat inilah potongan dialog di atas itu terjadi. Antara Prof. Sarlito Wirawan Sarwono dan saya. Saat itu para finalis Mandom Resolution Award (MRA) 2004 bersama para juri, sedang menikmati rehat makan siang.
Prof. Sarlito adalah ketua juri, didampingi wartawan senior Maria Hartiningsih dari harian Kompas dan psikolog dan penyanyi, Tika Bisono. Saya yang bakal menghadapi ketiga juri itu pada keesokan harinya, saat itu sedang mencari-cari akal untuk memecah es dalam berinteraksi dengan mereka.
Sebagai orang yang beruntung mengenyam pendidikan ilmu perpustakaan, sebelum berangkat ke Jakarta saya sudah melakukan riset cukup memadai tentang ketiganya. Di saat makan siang itulah saya memutuskan bahwa Mas Ito, panggilan populer Prof. Sarlito, merupakan sasaran pertama yang harus saya serang.
Di depan beliau, mesin waktu saya segera meluncur. Mundur kembali ke tahun 1984. Saat itu A.C. Sungkana Hadi, Hartadi Wibowo dan saya mendapat tugas dari Ibu Lily K. Somadikarta. Tugas menarik. Melakukan wawancara tentang pendapat para kepala perpustakaan di lingkungan Universitas Indonesia mengenai perpustakaan pusat UI yang akan dibangun di kampus baru, di Depok.
"Saya adik kelas mBak Pratiwi, di JIP-FSUI. Pada tahun 1984 saya pernah mewawancarai beliau di kampus Fakultas Psikologi UI di Rawamangun," begitu jurus saya dalam melepaskan tendangan kung-fu ke arah Mas Ito. Benteng itu kiranya runtuh. Saya, nampaknya, di mata beliau kemudian berstatus bukan sebagai orang asing lagi. Tetapi sama-sama sebagai keluarga alumni UI.
Sebagai salah satu dari 20 finalis kontes Mandom Resolution Award 2004, setelah lolos seleksi dari 923 peserta se-Indonesia, di depan para juri itu saya menjual resolusi meluncurkan 100 blog untuk warga komunitas Epistoholik Indonesia. Entah karena resolusi saya ini termasuk baik, atau karena ada dua juri yang sama-sama dari UI, saya akhirnya memperoleh kemenangan. Posisi ketiga dari 10 juara.
Duta-duta Mandom. Sepuluh pemenang Mandom Resolution Award 2004 berpose sesudah menerima penghargaan. Nomor tiga dari kiri adalah Hariyadi (Yogyakarta), Dian Safitri (Jakarta), Bagyo Anggono (Wonogiri), Hisyam Zamroni (Karimunjawa), Slamet Sudarmaji (Yogyakarta), Deny Wibisono (Jombang), Ilham Prayudi (Jakarta), Bambang Haryanto (Wonogiri), Soleman Betawai (Jakarta) dan Tarjum Samad (Subang).Paling kanan Prof. Sarlito Wirawan Sarwono.
Momen yang tak akan terlupakan. Agar silaturahmi dengan Mas Ito tidak langsung putus, pada akhir bulan Januari 2005 tiba-tiba saya merasa harus mengirimkan sesuatu yang unik untuk beliau. Setelah terkirim, saya baru tahu bahwa pada awal Februari adalah hari ulang tahun beliau.
Foto Mas Ito yang sedang bermain seks, maksud saya sax (ophone), saya pajang dalam sebuah vertical banner, spanduk tegak, lumayan besar. Juga tercantum cerita dan foto cucu cantik, kesayangan beliau. Benda itu kini terpasang di kantor beliau, di kampus Fakultas Psikologi UI di Depok.
Bahkan saat Mas Ito bersedia menulis endorsement untuk buku humor saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Imania, 2010), cerita tentang spanduk tegak itu juga muncul. Konon, kini tempat spanduk itu dipasang telah menjadi tourist spot favorit bagi mereka yang "rada-rada norak," begitu keterangan berbau canda Mas Ito dalam email kepada saya, untuk berfoto-foto ria bersama dirinya.
Perempuan hebat. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono adalah salah satu tokoh terpandang di republik ini. Beliau memiliki istri seorang pustakawati. Ibu Lily K. Somadikarta, di Semarang pada tanggal 26 Maret 1984 pernah memberi tahu saya bahwa istri dari kartunis terpandang Indonesia, GM Sudarta, adalah pula seorang pustakawati.
Guru besar emeritus terkenal dari Universitas Airlangga, Prof. Sutandyo Wignyosubroto, istrinya adalah juga pustakawati. Beliau adalah almarhumah Ibu Asmi Sutandyo, yang pada tahun 1982 juga berkuliah di JIP-FSUI. Saya berinteraksi dengan beliau saat saya menjadi asisten pengajar untuk mata kuliah praktek Media Teknologi. Sementara, tokoh pers Indonesia terkenal, Atmakusumah, punya istri Sri Roemiati Atmakusumah, yang pustakawati, dan kebetulan sama-sama satu angkatan di JIP-FSUI 1980.
Dari Bakhuri Jamaluddin saya dapat info bahwa aktor pemenang Citra, Tio Pakusadewo, merupakan putra dari pustakawati di lingkungan DPR RI. Lanjutan data ini, silakan Anda lanjutkan sendiri - tetapi mohon saya juga dikabari.
Mengenang tepat 6 tahun bertemu Mas Ito di Hotel Borobudur (di SMS beliau pernah bercanda dengan menyebutnya sebagai "hotel kita"), tiba-tiba ada hal yang mengusik hati saya saat ini. Hal-hal yang menarik tentang para pustakawati di atas bukankah layak untuk ditelisik, dibedah, dihimpun, disusun, kemudian dijadikan sebagai isi buku yang sarat inspirasi bagi profesi ini ?
Kita kenal ada ujaran bahwa di balik para pria yang sukses pasti terdapat perempuan yang istimewa. Untuk seorang Mas Ito, Prof. Tandyo atau Bapak Atmakusumah, bukankah dapat dikeduk kisah-kisah human interest yang kaya mengenai peran istri-istri mereka yang pustakawati itu dalam kehidupan sukses, juga suka dan duka, bersama segenap keluarga mereka ?
Untuk penyajian himpunan cerita-cerita manusiawi dan inspiratif ini kita dapat berkaca dari sukses serial buku terkenal dengan payung judul Chicken Soup karya kolaborasi Jack Canfield, Mark Victor Hansen dan kawan-kawannya. Terdapat belasan judul (foto) yang sebagian besar menjadi buku-buku laris.
Saya tidak tahu apakah ada seri yang membahas profesi pustakawan, sebab saya hanya memiliki Chicken Soup for the Sports Fan's Soul (2000) yang saya beli di toko buku Gramedia, Jl. Pajajaran, Bogor, 30 Agustus 2002.
Buku-buku seperti itu, yang mampu bercerita tentang pustakawan dalam sorot lensa pandang yang manusiawi, yang mampu menyentuh hati dan jiwa, sangatlah dibutuhkan bagi profesi satu ini. Senyatanya kita sangat kekurangan cerita, termasuk biografi para pustakawan.
Maafkan bila cakrawala saya yang sempit ini. Tetapi ketika sempat membolak-balik koleksi buku tentang perpustakaan dan pustakawan yang ada di Perpustakaan Umum Wonogiri, yang ada hanya buku-buku "resmi" melulu. Buku-buku yang kering. Pustaka yang barangkali hanya cocok dibaca untuk menghadapi ujian dan sesudah ujian pantas untuk dilupakan. Karena buku-buku itu belum mampu menjangkau hati.
Jerangkong yang menari. Di Internet, bagaimana ? Pada pelbagai situs dan blog yang dikelola pustakawan atau pustakawati kita, yang selama ini bisa saya temui, nampaknya kurang lebih serupa. Nyaris tidak ada yang berkisah tentang "jerangkong- jerangkong yang menari" yang muncul dari lemari-lemari para pustakawan Indonesia selama ini.
"Jika Anda punya jerangkong, kerangka manusia, di dalam lemari Anda, keluarkanlah. Dan menarilah bersamanya," begitu nasehat Caroline MacKenzie seperti dikutip Susan Shaughnessy dalam bukunya Walking on Alligators : A Book of Meditations for Writers (1993) yang edisi bahasa Indonesianya berjudul Berani Berekspresi : Buku Meditasi Untuk Para Penulis ( 2004).
"Penulis harus menari bersama jerangkong, tulang kerangka mereka sendiri !," timpal Susan Shaughnessy atas pendapat Carolyn MacKenzie tadi. Kerangka manusia adalah kiasan untuk hal yang paling Anda hindari untuk dituliskan. Misalnya rasa malu yang membuat Anda bergidik dan menciut, yang pada akhirnya akan muncul juga dalam tulisan Anda.
Mengapa ? Karena menurutnya di sanalah energi jiwa Anda tertimbun. Dengan menuliskannya, Anda meratakannya. Energi itu mengalir ke dalam tulisan Anda dan membuatnya hidup. Jerangkong itu kering dan tidak bernyawa. Tetapi mereka bisa menari.
Dengan media blog inilah saya selama ini mencoba menari. Dengan menuliskan surat-surat cinta. Menceritakan sisi-sisi kehidupan pribadi. Minimal itulah sosok blog yang bisa saya serap dari inspirasi diva blogger Halley Suit yang di tahun 2004 didaulat The Anita Borg Institute sebagai "Online Diva" dalam artikelnya yang menarik.
Dalam tulisannya berjudul "Alpha Female Blogging" (2004) antara lain ia menyatakan : "A blog is a love letter. Blogging is nothing, if not personal and full of life……[blogs are] one of the last places where you can still tell the truth… A blog is my head, open to you, day and night, at your convenience. They are changing and they are changing us - how we communicate, how we think, how we care about one another and how we join together to change the world. "
Terima kasih, Halley.
Bagi saya kini,perkara apakah blog ini dapat didaulat sebagai semangkuk sup ayam yang lezat atau hambar bagi kalangan pustakawan, saya tidak tahu. Yang saya tahu pasti, isinya tidak mengandung keong racun di dalamnya.
Wonogiri, 3 November 2010
Diketik sambil menikmati "Clair de lune"-nya Claude Debussy.
Minggu, 31 Oktober 2010
Peppy, Buku Seks dan Pustakawan Dunia
Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Di gunung itu musibah telah terjadi.
Salah satu dari dua pendaki gunung terperosok.
Kecebur jurang.
Pendaki gunung yang selamat segera berteriak di bibir jurang. "Bert ! Bert ! Apakah kamu selamat ?" Tak ada sahutan. Setelah berteriak beberapa kali, hati John bergembira. Temannya ternyata masih hidup.
"OK, John. Aku selamat. Tetapi badanku, kakiku, lenganku, patah semua !"
"Bagaimana kalau kau kutarik ke atas dengan tali ?"
"Agak sulit, John. Satu-satunya cara, tali itu harus aku gigit dengan gigi-gigiku."
Demikianlah John mulai menarik sobat kentalnya itu. Usaha itu nampaknya berjalan baik. Sesekali John berteriak :
"Kau masih OK, Bert ?"
"U-uuh," Bert mendengus.
Begitulah komunikasi aneh itu terus terjadi. Bert selalu menjawab dengan dengusan. Menjelang sepuluh meter, rasa kegembiraan mereka berdua pun memuncak. Saking gembiranya, John berteriak lagi : "Kau masih kuat, kan Bert ?" Karena terpagut oleh rasa gembira, Bert pun segera menjawab dengan teriakan keras : "Yaa! Yaaaaaaaaa…."
Gelombang Ketiga sampai Cinta. Saya sudah lupa judul buku kumpulan lelucon yang memuat kisah lucu dan tragis dari Bert dan John tadi. Tetapi saya ingat, buku itu saya beli dari toko buku Gramedia Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tahun 1980-1981-an.
Ketika masa-masa berkuliah, toko buku ini adalah tempat favorit untuk dikunjungi. Sebetulnya juga ada toko lainnya, di Jl. Gajah Mada. Tetapi untuk menjangkaunya dari Rawamangun lebih ribet dibanding kemudahan nyengklak bis PPD No 38, 39 atau Mayasari 300, untuk sampai di Blok M. Atau gratisan membonceng rekan kuliah, Bakhuri Jamaluddin, yang bertempat tinggal di kawasan Hang Jebat, Kebayoran Baru, tersebut.
Di toko Blok M itu saya pernah membeli buku lainnya. Antara lain, karya Alfin Toffler, The Third Wave (1981). Setelah mendapat honor tulisan berjudul "Ensiklopedia : Jagat Ilmu Pengetahuan Dalam Satu Sajian" di majalah Gadis edisi No.6/10/1983, pada tanggal 6 Oktober 1983, buku idaman itu bisa saya miliki. Buku Toffler sebelumnya, Future Shock, sering disebut-sebut oleh teman saya yang berasal dari Padang, Zulherman.
Buku lainnya adalah karya Mildred Meiers dan Jack Knapp, 5600 Jokes For All Occasions (1980). Saya beli tanggal 25 Oktober 1986, saat memergoki Gus Dur dan sempat bertukar lelucon saat itu. Bahkan momen itu kemudian menjadi ilustrasi cerita dalam artikel saya, "Komedi dan Komedian : Kejujuran Mengolok Diri Sendiri" yang dimuat di kolom Teroka, harian Kompas, 27/1/2007 : h. 14.
Di toko buku yang sama, tahun 1982, terbeli pula buku berbau astrologi, Star Sign for Lovers. Saya tidak tahu di mana kini buku itu berada. Tetapi saat membelinya saya kepergok, tak bisa menghindar, untuk ketemu secara tak terduga dengan Miduk. Ini nama panggilan kesayangan diantara keluarganya di Solo, sosok yang saya sebut sebagai wanita indah dalam hidup saya. Saat itu dia bersama suaminya. Sedang berbadan dua.
Tahun 2005 saya pernah menulis di salah satu blog saya, cerita tentang momen pertemuan tak terduga itu. Termasuk penggalan kisah di tahun 1978 saat Miduk memberi saya teks lagu indah dari The Bee Gees yang bergaya disko, "How Deep Is Your Love."
Di dalam tulisan blog itu sempat saya kutipkan tuturan penjelajah dan kerabat Istana Inggris, Walter Raleigh (1552-1618), bahwa "true love is a durable fire, in the mind ever burning, never sick, never old, never dead". Cinta sejati itu adalah api abadi, selalu membara di hati, tanpa pernah sakit, uzur, atau pun mati.
Saya pikir, dan saya harap, cerita di blog itu baru akan dibaca nanti oleh anak atau cucunya. Tetapi dasar Internet, semua rahasia apa pun yang terpajang di dalamnya akan mudah sampai kepada yang berhak. Kejutan lalu terjadi.
Pada hari Senin siang, 22 Maret 2010 saya mendapatkan telepon surprise. Dari Jakarta. Dari Krisandari, adik terkecilnya Miduk, yang kebetulan murid saya di sanggar melukis anak-anak di tahun 1979-1980 di Solo. Setelah mengobrol, nDari menyimpulkan isi blog itu dalam SMSnya :
"Iya mas..ceritane lucu bngt..menyenangkan..Dan kita jd inget Ibu yg sabare sakpole.Klo hari geneh punya anak perempuan 6 ?? ["Cantik-cantik semuanya !" - BH] Cepet stroke kali ya..hahaha.. Ada salam dari mb Miduk, mb Nina, mb Diah, Agus & tdk lupa sahabat saya Anita barusan sy fax tulisan mas Hari ke Anita. Maklum dia ga bs buka email. Gaptek. Mtrnwn semoga tdk terganggu. Sugeng siang." (22/3/2010 : 12.13.17).
Inter-librarian loan. Kembali ke buku kumpulan lelucon tadi. Isi lainnya yang saya ingat adalah cerita tentang seorang arsitek yang dengan bangga mengajak kliennya untuk memeriksa bagian dalam gedung opera yang baru saja ia rampungkan. Sang arsitek itu bilang dengan rada arogan :
"Akustik gedung ini sangatlah hebat ?"
"Apa ?" sergah sang klien.
Lelucon lainnya, saya sudah lupa. Buku itu juga tidak saya miliki lagi. Pada tahun 1981-1982-an, buku itu saya pinjamkan kepada Peppy Marlianti. Mahasiswi JIP-FSUI Angkatan 1981. Ia seangkatan dengan Ahmad Supanto, Andriaty Selvina, Balqis, Sofie Yusuf, Yohanes Sumaryanto (dosen JIP), dan juga Utami Budi Rahayu Hariyadi (juga dosen JIP kini).
Peppy yang baik hati itu, gantian meminjami saya buku menarik, The Book of Lists susunan Irving Wallace, David Wallechinsky dan Amy Wallace. Halaman yang memuat data tahun terbit, sudah tidak ada. Pada Bab 15 yang memuat daftar yang sepertinya dianggap bermuatan pornografi, halaman 315-336, telah hilang. Pada daftar isi, info untuk halaman itu diblok dengan spidol hitam.
Bila ditelusuri dari indeks ("dasar pustakawan, kan ?") isi yang hilang itu antara lain : berisi daftar tokoh yang meninggal dunia saat berhubungan seks, perilaku seks tokoh-tokoh wanita terkenal sampai cerita perihal perilaku seks menyimpang kaum pria.
Lupakanlah seks. Mohon maaf, mbah Sigmund Freud. Karena masih banyak daftar yang menarik dari buku itu, selain mengurusi arena selangkangan. Bahkan isi-isi menarik itu telah saya jadikan sebagai bahan tulisan untuk surat-surat kabar. Termasuk untuk majalah Klub Perpustakaan Indonesia (KPI), Pembimbing Pembaca, yang dipimpin Ibu Adwityani Soebagjo, dan redaksinya Reno "Errie" Ilham Nasroen.
Misalnya cerita tentang perilaku eksentrik Victor Hugo (1802-1855), pengarang The Hunchback of Notre Dame dan Les Miserables yang tersohor itu. Konon, bila Hugo mentok saat menulis, ia lalu meminta pembantunya untuk mencopoti seluruh pakaiannya. Lalu ia tinggal di kamar, dan karena merasa tak ada hal lain yang ia lakukan, maka Hugo pun kembali menulis !
Daftar menarik lainnya adalah tentang para pustakawan terkenal dunia. Misalnya Mao Tse Tung (1893-1976). Pada tahun 1918 dia menjabat sebagai asisten pustakawan pada Universitas Bejing. Ketika berpandangan bahwa masa depannya tak menjanjikan, Mao banting setir ke bidang politik, yang akhirnya mampu meraih posisi sebagai Ketua Partai Komunis China.
Tokoh pustakawan lainnya adalah Gottfried von Leibniz (1646-1716), filsuf, matematikus, diplomat dan raksasa intelektual Jerman saat itu. Ia menjabat sebagai pustakawan di kota Hanover 1676 dan Wolfenbuttel tahun 1691. Perayu perempuan termashur pernah menjadi pustakawan dari Count von Waldstein di Dux Bohemia selama 13 tahun. Dia adalah Casanova. Nama aslinya : Giovani Giacomo Casanova de Seingalt (1725-1798).
Nama sohor lainnya : David Hume, August Strinberg, John Braine, Paus Pius XI, Sam Walter Foss, Archibald Mac Leish, sampai J. Edgar Hoover (1895-1972), bos FBI yang terkenal sukses menguber-uber bandit kakap karismatis John Dillinger sampai raja Mafia Al Capone. Hoover ketika muda menjadi pesuruh dan kataloger di Perpustakaan Konggres AS.
Di mana kini Peppy ? Berita terbaru terkait Reuni JIP 2008, saat Hartadi Wibowo menelpon saya, ia tidak menyebut nama Peppy. Saya juga belum mencoba mencari-carinya melalui Google atau Facebook. Syukurlah, saya baru menemukannya via Facebook. Silakan klik di sini. Kalau nanti Anda bisa kontak (permintaan saya menjadi teman belum ditanggapi), tolong kabarkan semoga Peppy sudah lupa dengan buku The Book of Lists miliknya itu.
Sebab dengan cara menyimpan bukunya itu, saya masih bisa terus mengingat sosoknya, yang charming, berkacamata, yang menawan dan baik hati itu. Di tasnya, terkadang tersimpan sebungkus rokok :-). Juga bisa mengenang momen saat kami bersama-sama, antara lain Hartadi Wibowo dan lalu ketemu pula dengan Peggy Juanita Umbara, bergulat di Hotel Borobudur. Rabu, 30 Mei 1984.
Siang hari. Bukan di malam hari.
Bukan di kamar. Tetapi di ruang pertemuan.
Walau saya merasa tidak melamar, tetapi hari itu saya ikut dipanggil untuk ikut melaksanakan tes tertulis untuk menjadi karyawan arsip dan pustakawan pada perusahaan minyak terbesar kelima di dunia, asal Perancis : Total Indonesie. Kalau lolos tes, bekerjanya nanti di Balikpapan.
Saat itu saya belum minta maaf kepada Teddy dan Peppy, karena pagi itu saya terlambat bangun. Tentunya membuat mereka jengkel, harus menunggu saya mandi. Sesudah tes, kami mengobrol. Peppy cerita tentang beberapa jebakan pertanyaan dalam tes bahasa Inggris tadi. Tetapi yang rada seru, kami berbagi cerita mengenai besaran gaji yang kami minta, dan diisikan dalam formulir sebelum tes.
Terdengar bunyi riuh : juta, juta dan jutaan !
Harga calon lulusan pendidikan ilmu perpustakaan yang saat itu lagi terbang di awan.
Murtad, kecebur jurang. Beberapa hari sesudah tes itu, di ruang kantor dosen JIP, saya ikut mengobrol dengan ibu-ibu dosen. Antara lain saya bercanda, bahwa sesudah lulus nanti, mungkin saya akan bekerja di Balikpapan.
Entah kenapa, saya kok saat itu tiba-tiba terantuk kepada pandangan Ibu Lily K. Somadikarta, Ketua Jurusan JIP-FSUI. Sepertinya beliau mengirim sinyal ucapan : "Bambang, kau jangan pergi ke sana."
Terima kasih, Ibu Soma.
Begitulah kisah hidupku yang kemudian terjadi.
Saya memang tidak pernah pergi ke Balikpapan. Sampai kini. Tetapi juga tidak ke Depok yang kampus JIP-FSUI.Bahkan malah kecebur jurang gelap, sehingga menjadi "murtad" habis-habisan. Karena selama ini tidak bersetia sekali kepada DNA saya, dunia ilmu perpustakaan dan kepustakawanan.
Mengambil tamsil tentang pendaki gunung tadi, mungkin saya adalah gambaran tokoh Bert yang terperosok masuk jurang. Patah tangan, patah kaki, tetapi syukurlah, masih selamat.
Kini saya sedang mendaki lagi. Mungkin itu upaya saya untuk berusaha menebus dosa-dosa lama saya tersebut. Semoga semuanya belum menjadi sangat terlambat !
Wonogiri, 31 Oktober 2010
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Di gunung itu musibah telah terjadi.
Salah satu dari dua pendaki gunung terperosok.
Kecebur jurang.
Pendaki gunung yang selamat segera berteriak di bibir jurang. "Bert ! Bert ! Apakah kamu selamat ?" Tak ada sahutan. Setelah berteriak beberapa kali, hati John bergembira. Temannya ternyata masih hidup.
"OK, John. Aku selamat. Tetapi badanku, kakiku, lenganku, patah semua !"
"Bagaimana kalau kau kutarik ke atas dengan tali ?"
"Agak sulit, John. Satu-satunya cara, tali itu harus aku gigit dengan gigi-gigiku."
Demikianlah John mulai menarik sobat kentalnya itu. Usaha itu nampaknya berjalan baik. Sesekali John berteriak :
"Kau masih OK, Bert ?"
"U-uuh," Bert mendengus.
Begitulah komunikasi aneh itu terus terjadi. Bert selalu menjawab dengan dengusan. Menjelang sepuluh meter, rasa kegembiraan mereka berdua pun memuncak. Saking gembiranya, John berteriak lagi : "Kau masih kuat, kan Bert ?" Karena terpagut oleh rasa gembira, Bert pun segera menjawab dengan teriakan keras : "Yaa! Yaaaaaaaaa…."
Gelombang Ketiga sampai Cinta. Saya sudah lupa judul buku kumpulan lelucon yang memuat kisah lucu dan tragis dari Bert dan John tadi. Tetapi saya ingat, buku itu saya beli dari toko buku Gramedia Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tahun 1980-1981-an.
Ketika masa-masa berkuliah, toko buku ini adalah tempat favorit untuk dikunjungi. Sebetulnya juga ada toko lainnya, di Jl. Gajah Mada. Tetapi untuk menjangkaunya dari Rawamangun lebih ribet dibanding kemudahan nyengklak bis PPD No 38, 39 atau Mayasari 300, untuk sampai di Blok M. Atau gratisan membonceng rekan kuliah, Bakhuri Jamaluddin, yang bertempat tinggal di kawasan Hang Jebat, Kebayoran Baru, tersebut.
Di toko Blok M itu saya pernah membeli buku lainnya. Antara lain, karya Alfin Toffler, The Third Wave (1981). Setelah mendapat honor tulisan berjudul "Ensiklopedia : Jagat Ilmu Pengetahuan Dalam Satu Sajian" di majalah Gadis edisi No.6/10/1983, pada tanggal 6 Oktober 1983, buku idaman itu bisa saya miliki. Buku Toffler sebelumnya, Future Shock, sering disebut-sebut oleh teman saya yang berasal dari Padang, Zulherman.
Buku lainnya adalah karya Mildred Meiers dan Jack Knapp, 5600 Jokes For All Occasions (1980). Saya beli tanggal 25 Oktober 1986, saat memergoki Gus Dur dan sempat bertukar lelucon saat itu. Bahkan momen itu kemudian menjadi ilustrasi cerita dalam artikel saya, "Komedi dan Komedian : Kejujuran Mengolok Diri Sendiri" yang dimuat di kolom Teroka, harian Kompas, 27/1/2007 : h. 14.
Di toko buku yang sama, tahun 1982, terbeli pula buku berbau astrologi, Star Sign for Lovers. Saya tidak tahu di mana kini buku itu berada. Tetapi saat membelinya saya kepergok, tak bisa menghindar, untuk ketemu secara tak terduga dengan Miduk. Ini nama panggilan kesayangan diantara keluarganya di Solo, sosok yang saya sebut sebagai wanita indah dalam hidup saya. Saat itu dia bersama suaminya. Sedang berbadan dua.
Tahun 2005 saya pernah menulis di salah satu blog saya, cerita tentang momen pertemuan tak terduga itu. Termasuk penggalan kisah di tahun 1978 saat Miduk memberi saya teks lagu indah dari The Bee Gees yang bergaya disko, "How Deep Is Your Love."
Di dalam tulisan blog itu sempat saya kutipkan tuturan penjelajah dan kerabat Istana Inggris, Walter Raleigh (1552-1618), bahwa "true love is a durable fire, in the mind ever burning, never sick, never old, never dead". Cinta sejati itu adalah api abadi, selalu membara di hati, tanpa pernah sakit, uzur, atau pun mati.
Saya pikir, dan saya harap, cerita di blog itu baru akan dibaca nanti oleh anak atau cucunya. Tetapi dasar Internet, semua rahasia apa pun yang terpajang di dalamnya akan mudah sampai kepada yang berhak. Kejutan lalu terjadi.
Pada hari Senin siang, 22 Maret 2010 saya mendapatkan telepon surprise. Dari Jakarta. Dari Krisandari, adik terkecilnya Miduk, yang kebetulan murid saya di sanggar melukis anak-anak di tahun 1979-1980 di Solo. Setelah mengobrol, nDari menyimpulkan isi blog itu dalam SMSnya :
"Iya mas..ceritane lucu bngt..menyenangkan..Dan kita jd inget Ibu yg sabare sakpole.Klo hari geneh punya anak perempuan 6 ?? ["Cantik-cantik semuanya !" - BH] Cepet stroke kali ya..hahaha.. Ada salam dari mb Miduk, mb Nina, mb Diah, Agus & tdk lupa sahabat saya Anita barusan sy fax tulisan mas Hari ke Anita. Maklum dia ga bs buka email. Gaptek. Mtrnwn semoga tdk terganggu. Sugeng siang." (22/3/2010 : 12.13.17).
Inter-librarian loan. Kembali ke buku kumpulan lelucon tadi. Isi lainnya yang saya ingat adalah cerita tentang seorang arsitek yang dengan bangga mengajak kliennya untuk memeriksa bagian dalam gedung opera yang baru saja ia rampungkan. Sang arsitek itu bilang dengan rada arogan :
"Akustik gedung ini sangatlah hebat ?"
"Apa ?" sergah sang klien.
Lelucon lainnya, saya sudah lupa. Buku itu juga tidak saya miliki lagi. Pada tahun 1981-1982-an, buku itu saya pinjamkan kepada Peppy Marlianti. Mahasiswi JIP-FSUI Angkatan 1981. Ia seangkatan dengan Ahmad Supanto, Andriaty Selvina, Balqis, Sofie Yusuf, Yohanes Sumaryanto (dosen JIP), dan juga Utami Budi Rahayu Hariyadi (juga dosen JIP kini).
Peppy yang baik hati itu, gantian meminjami saya buku menarik, The Book of Lists susunan Irving Wallace, David Wallechinsky dan Amy Wallace. Halaman yang memuat data tahun terbit, sudah tidak ada. Pada Bab 15 yang memuat daftar yang sepertinya dianggap bermuatan pornografi, halaman 315-336, telah hilang. Pada daftar isi, info untuk halaman itu diblok dengan spidol hitam.
Bila ditelusuri dari indeks ("dasar pustakawan, kan ?") isi yang hilang itu antara lain : berisi daftar tokoh yang meninggal dunia saat berhubungan seks, perilaku seks tokoh-tokoh wanita terkenal sampai cerita perihal perilaku seks menyimpang kaum pria.
Lupakanlah seks. Mohon maaf, mbah Sigmund Freud. Karena masih banyak daftar yang menarik dari buku itu, selain mengurusi arena selangkangan. Bahkan isi-isi menarik itu telah saya jadikan sebagai bahan tulisan untuk surat-surat kabar. Termasuk untuk majalah Klub Perpustakaan Indonesia (KPI), Pembimbing Pembaca, yang dipimpin Ibu Adwityani Soebagjo, dan redaksinya Reno "Errie" Ilham Nasroen.
Misalnya cerita tentang perilaku eksentrik Victor Hugo (1802-1855), pengarang The Hunchback of Notre Dame dan Les Miserables yang tersohor itu. Konon, bila Hugo mentok saat menulis, ia lalu meminta pembantunya untuk mencopoti seluruh pakaiannya. Lalu ia tinggal di kamar, dan karena merasa tak ada hal lain yang ia lakukan, maka Hugo pun kembali menulis !
Daftar menarik lainnya adalah tentang para pustakawan terkenal dunia. Misalnya Mao Tse Tung (1893-1976). Pada tahun 1918 dia menjabat sebagai asisten pustakawan pada Universitas Bejing. Ketika berpandangan bahwa masa depannya tak menjanjikan, Mao banting setir ke bidang politik, yang akhirnya mampu meraih posisi sebagai Ketua Partai Komunis China.
Tokoh pustakawan lainnya adalah Gottfried von Leibniz (1646-1716), filsuf, matematikus, diplomat dan raksasa intelektual Jerman saat itu. Ia menjabat sebagai pustakawan di kota Hanover 1676 dan Wolfenbuttel tahun 1691. Perayu perempuan termashur pernah menjadi pustakawan dari Count von Waldstein di Dux Bohemia selama 13 tahun. Dia adalah Casanova. Nama aslinya : Giovani Giacomo Casanova de Seingalt (1725-1798).
Nama sohor lainnya : David Hume, August Strinberg, John Braine, Paus Pius XI, Sam Walter Foss, Archibald Mac Leish, sampai J. Edgar Hoover (1895-1972), bos FBI yang terkenal sukses menguber-uber bandit kakap karismatis John Dillinger sampai raja Mafia Al Capone. Hoover ketika muda menjadi pesuruh dan kataloger di Perpustakaan Konggres AS.
Di mana kini Peppy ? Berita terbaru terkait Reuni JIP 2008, saat Hartadi Wibowo menelpon saya, ia tidak menyebut nama Peppy. Saya juga belum mencoba mencari-carinya melalui Google atau Facebook. Syukurlah, saya baru menemukannya via Facebook. Silakan klik di sini. Kalau nanti Anda bisa kontak (permintaan saya menjadi teman belum ditanggapi), tolong kabarkan semoga Peppy sudah lupa dengan buku The Book of Lists miliknya itu.
Sebab dengan cara menyimpan bukunya itu, saya masih bisa terus mengingat sosoknya, yang charming, berkacamata, yang menawan dan baik hati itu. Di tasnya, terkadang tersimpan sebungkus rokok :-). Juga bisa mengenang momen saat kami bersama-sama, antara lain Hartadi Wibowo dan lalu ketemu pula dengan Peggy Juanita Umbara, bergulat di Hotel Borobudur. Rabu, 30 Mei 1984.
Siang hari. Bukan di malam hari.
Bukan di kamar. Tetapi di ruang pertemuan.
Walau saya merasa tidak melamar, tetapi hari itu saya ikut dipanggil untuk ikut melaksanakan tes tertulis untuk menjadi karyawan arsip dan pustakawan pada perusahaan minyak terbesar kelima di dunia, asal Perancis : Total Indonesie. Kalau lolos tes, bekerjanya nanti di Balikpapan.
Saat itu saya belum minta maaf kepada Teddy dan Peppy, karena pagi itu saya terlambat bangun. Tentunya membuat mereka jengkel, harus menunggu saya mandi. Sesudah tes, kami mengobrol. Peppy cerita tentang beberapa jebakan pertanyaan dalam tes bahasa Inggris tadi. Tetapi yang rada seru, kami berbagi cerita mengenai besaran gaji yang kami minta, dan diisikan dalam formulir sebelum tes.
Terdengar bunyi riuh : juta, juta dan jutaan !
Harga calon lulusan pendidikan ilmu perpustakaan yang saat itu lagi terbang di awan.
Murtad, kecebur jurang. Beberapa hari sesudah tes itu, di ruang kantor dosen JIP, saya ikut mengobrol dengan ibu-ibu dosen. Antara lain saya bercanda, bahwa sesudah lulus nanti, mungkin saya akan bekerja di Balikpapan.
Entah kenapa, saya kok saat itu tiba-tiba terantuk kepada pandangan Ibu Lily K. Somadikarta, Ketua Jurusan JIP-FSUI. Sepertinya beliau mengirim sinyal ucapan : "Bambang, kau jangan pergi ke sana."
Terima kasih, Ibu Soma.
Begitulah kisah hidupku yang kemudian terjadi.
Saya memang tidak pernah pergi ke Balikpapan. Sampai kini. Tetapi juga tidak ke Depok yang kampus JIP-FSUI.Bahkan malah kecebur jurang gelap, sehingga menjadi "murtad" habis-habisan. Karena selama ini tidak bersetia sekali kepada DNA saya, dunia ilmu perpustakaan dan kepustakawanan.
Mengambil tamsil tentang pendaki gunung tadi, mungkin saya adalah gambaran tokoh Bert yang terperosok masuk jurang. Patah tangan, patah kaki, tetapi syukurlah, masih selamat.
Kini saya sedang mendaki lagi. Mungkin itu upaya saya untuk berusaha menebus dosa-dosa lama saya tersebut. Semoga semuanya belum menjadi sangat terlambat !
Wonogiri, 31 Oktober 2010
The Hunt For Red October 1982
Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
September Ceria. Vina Panduwinata.
The Hunt for Red October. Sean Connery.
November Rain. Gun's N Roses.
Badai Bulan Desember. Ucok Harahap.
Pada bulan Oktober 1982, ramuan suasana dari judul-judul di atas ibarat masuk dalam mesin blender. Dan mesin itu menggerung serta berpusaran di dalam dada saya. Dalam hidup saya.
Di dalamnya teraduk badai rasa was-was. Gugup. Suasana ceria setelah semua badai itu lewat. Disambung hujan rasa syukur. Tetapi, sebelum kegembiraan mekar, haruslah melewati momen-momen yang cukup menegangkan.
Itulah momen ketika saya terjun dalam suasana perburuan di bulan Oktober 1982 tersebut. Perburuan untuk lulus ujian lisan sarjana. Ujian komprehensif, begitu sebutan nya yang populer saat itu. Inilah catatan saya tentang sepotong hari mengesankan di masa lalu tersebut :
Jumat, 8 Oktober 1982
09.30 - 10.30
Hari itu, saya bangun pagi, lebih pagi dari biasanya. Di rumah kost ini tak ada jam, patokan hanya radio. Sarapan pagi di warung tegal, mengelem sepatu dengan lem UHU, berangkat ke kampus Rawamangun naik bis kota - padahal biasanya jalan kaki.
Kutulis di pintu sebelum berangkat, "Aku harus lulus !" (8 Okt 1982 - HT).
Sampai di perpustakaan JIP, masih sepi. Sempat membaca UDC vs DDC. Lalu turun ke unit II Kampus FSUI, udah nunggu temen-temen. Pak AC Sungkono Hadi yang maju duluan, ati tentu kebat-kebit. Ia lulus lebih baik daripadaku.
Merokok terus aku, baju putih di saku potret Retno, celana abu-abu. Ia tadi lewat (berbaju) coklat. Aku sukar bersiul, tapi bersenandung lagu Lady-nya Anton Issoedibyo.
Dapat restu kuat dari temen-temen, jam 10.00 WIB aku masuk ruang Dekan, (tempat) ujian itu. Pak Royani, Pak Nurhadi Magetsari (dekan ?), Ibu Soma, Ibu Narti, semua itu dosen-dosenku.
"Aku dibuat senewen oleh pertanyaan Ibu Narti."
Tetapi cerah menjawab pertanyaan Ibu Soma - "bahasa indeks," "storage & information retrieval."
Aku bagai mau nangis, mata berkaca-kaca, menjabat tangan beliau dengan sentimentil ketika didengar berita - "Aku lulus !"
Alhamdullilah !
Tugas masih menghadang, skripsi, dan deg-deg-plas selama bulan Oktober ini tuntas sudah.
Ditulis : 8 Oktober 1982, Jam 19.40 WIB
Kost : Jl. Belimbing 24B, Jl. Balai Pustaka Timur, Rawamangun, Jakarta Timur.
PS : Sampai sore di rumah kost itu, aku ditemani teman akrabku : Bakhuri Jamaluddin.
Wonogiri, 31 Oktober 2010
Email : jip80fsui (at) gmail.com
September Ceria. Vina Panduwinata.
The Hunt for Red October. Sean Connery.
November Rain. Gun's N Roses.
Badai Bulan Desember. Ucok Harahap.
Pada bulan Oktober 1982, ramuan suasana dari judul-judul di atas ibarat masuk dalam mesin blender. Dan mesin itu menggerung serta berpusaran di dalam dada saya. Dalam hidup saya.
Di dalamnya teraduk badai rasa was-was. Gugup. Suasana ceria setelah semua badai itu lewat. Disambung hujan rasa syukur. Tetapi, sebelum kegembiraan mekar, haruslah melewati momen-momen yang cukup menegangkan.
Itulah momen ketika saya terjun dalam suasana perburuan di bulan Oktober 1982 tersebut. Perburuan untuk lulus ujian lisan sarjana. Ujian komprehensif, begitu sebutan nya yang populer saat itu. Inilah catatan saya tentang sepotong hari mengesankan di masa lalu tersebut :
Jumat, 8 Oktober 1982
09.30 - 10.30
Hari itu, saya bangun pagi, lebih pagi dari biasanya. Di rumah kost ini tak ada jam, patokan hanya radio. Sarapan pagi di warung tegal, mengelem sepatu dengan lem UHU, berangkat ke kampus Rawamangun naik bis kota - padahal biasanya jalan kaki.
Kutulis di pintu sebelum berangkat, "Aku harus lulus !" (8 Okt 1982 - HT).
Sampai di perpustakaan JIP, masih sepi. Sempat membaca UDC vs DDC. Lalu turun ke unit II Kampus FSUI, udah nunggu temen-temen. Pak AC Sungkono Hadi yang maju duluan, ati tentu kebat-kebit. Ia lulus lebih baik daripadaku.
Merokok terus aku, baju putih di saku potret Retno, celana abu-abu. Ia tadi lewat (berbaju) coklat. Aku sukar bersiul, tapi bersenandung lagu Lady-nya Anton Issoedibyo.
Dapat restu kuat dari temen-temen, jam 10.00 WIB aku masuk ruang Dekan, (tempat) ujian itu. Pak Royani, Pak Nurhadi Magetsari (dekan ?), Ibu Soma, Ibu Narti, semua itu dosen-dosenku.
"Aku dibuat senewen oleh pertanyaan Ibu Narti."
Tetapi cerah menjawab pertanyaan Ibu Soma - "bahasa indeks," "storage & information retrieval."
Aku bagai mau nangis, mata berkaca-kaca, menjabat tangan beliau dengan sentimentil ketika didengar berita - "Aku lulus !"
Alhamdullilah !
Tugas masih menghadang, skripsi, dan deg-deg-plas selama bulan Oktober ini tuntas sudah.
Ditulis : 8 Oktober 1982, Jam 19.40 WIB
Kost : Jl. Belimbing 24B, Jl. Balai Pustaka Timur, Rawamangun, Jakarta Timur.
PS : Sampai sore di rumah kost itu, aku ditemani teman akrabku : Bakhuri Jamaluddin.
Wonogiri, 31 Oktober 2010
Kamis, 28 Oktober 2010
Reuni JIP-FSUI 2008, Reuni Tiga Generasi
Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at ) gmail.com
"Setiap perpisahan," demikian teolog Amerika, Tryon Edwards (1809-1894), telah bilang, "merupakan bentuk dari kematian." Lalu ia lanjutkan : "Sebagaimana setiap reuni merupakan bentuk dari sorga."
Tahun 2008, suasana sorga itu menyapa.
Setelah hampir sekitar seperempat abad lebih berpisah, suatu berkah bahwa pertemuan keluarga besar sivitas akademika dari Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (JIP-FSUI), telah terjadi. Termasuk dihadiri oleh tiga rekan kuliah kita sesama Angkatan 1980 : Hartadi Wibowo, Rizal Saiful-haq dan Gustina Sofia.
Kini di tahun 2010, kita pantas bersyukur karena Hartadi Wibowo telah berbaik hati membuka-buka album fotonya. Kemudian rela membagikannya, me-reuni-kannya kepada kita semua lewat akun Facebooknya. Silakan simak foto dan cerita yang membahagiakan, juga mengharukan, di bawah ini. Demikian juga simaki pelbagai komentar yang mengiringinya.
Bakhuri Jamaluddin. Aduh, sedari dulu kalau menyesal itu belakangan ! Kenapa BJ berhalangan hadir kala itu. Keren banget deh, Hartadi (Si Kumis) dan Rizal (Si Jenggot) bisa mengapit Ibu Lily "Katalog" Somadikarta (dosen Katalogisasi, Klasifikasi, dan "Etsitera") Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI 1970-an hingga 2008-an.
Bambang Haryanto. Tks, mengharukan sekali. Usul : harusnya diberi data 5W+1 H (bukan "HW"), sehingga saya bisa ikut merasakan atmosfir dan suasana hati. Apa gadis cantik beryellow jacket itu putrinya Teddy yang juga mahasiswi JIP ? Kalau benar, saya kok ikut merasakan kebahagiaan reuni sebuah keluarga dengan penuh kesan. Tell me more, Teddy dan juga Rizal. Bukan hanya tentang (nyontek BJ) kumis atau pun jenggot yang menawan dari Anda berdua !
Hartadi Wibowo. Ya, itulah moment terakhir dng almh ibu kita Lily Somadikarta, di bulan Februari 2008 pd waktu acara Reuni Akbar JIP FSUI. Angkt 80 yang datang hanya saya dan bang RSH yang kini menjabat sbg Ketua JIP UIN Jakarta. Yang ber-yellow jacket ada...lah Tyaz, anak saya yang mengikuti jejak bapaknya belajar DDC dng segala facet-facetnya. Saya sempat bercanda dng bu Kalangie dan almh bu Soma, bahwa seharusnya anak saya memanggil "eyang dosen" kepada beliau.
Bu Kalangie juga berkomentar, "Teddy, anak you pintar lho, nilainya bagus-bagus. Saya jawab, " iya bu, nggak spt bapaknya ya,". Maklum, bapaknya dulu tidak ngejar nilai, tapi hanya ngejar lulus. Ketika bu Soma meninggal, saya tdk bisa datang melayad. Namun kenangan ttg almarhumah tdk akan hilang. Saat itu saya hanya bisa mendoakan dan berucap "Selamat jalan eyang dosen".
Sri Rumiati Atmakusumah. Iya, aku menyesal sekali gak bisa datang waktu itu, saya mesti keluar kota rasanya deh... Gak ada lagi deh kesempatan bertemu dan berfoto sama Ibu "Katalog" Somadikarta yang begitu mengesankan ...
Zul Herman. Yah sebagian besar kita tidak sempat hadir pada saat itu. Cuma Teddy dan Pak Rizal saja yang beruntung sempat datang dan mengabadikan momen penting itu.
Subagyo Ramelan. Mungkin karena aku sdh tidak berkecimpung di bidang perpustakaan/perbukuan, aku ketinggalan informasi tentang reuni ini. Yaaah, nanti kalo ada kesempatan lagi...
Hartadi Wibowo. Mbah Yo, sayapun sdh sejak th 1997 tidak lagi ngurusi perpustakaan. Namun rasa kangen ketemu teman-teman seperjuangan dan para kesepuhan (dosen), maka langkah kakipun sampai ke Depok.
Mudah-mudahan nanti kalau ada acara reuni lagi kita bisa kumpul. Mungkin tidak ada jeleknya kalau kita berpikir "siapa tahu ini kesempatan terakhir kita bertemu sahabat lama". Apalagi skrang kita sdh "dipertemukan" di dunia maya, akan lebih mempermudah komunikasi.
Selamat beraktifitas. Wassalam,
Kini sebagian dari dosen-dosen kita itu, juga beberapa teman kuliah, telah melakukan reuni agung dan abadi dengan Sang Pencipta. Seperti Teddy bilang, dan kita semua mengamininya, bahwa : ""Selamat jalan eyang dosen."
Wonogiri, 29/10/2010
P.S. : Saya tunggu cerita dan juga kiriman foto-foto berikutnya dari teman-teman sesama Angkatan 1980. Cerita apa saja yang menarik untuk dibagikan, untuk berbagi kegembiraan, kebahagiaan, dan nilai-nilai kehidupan.
Email : jip80fsui (at ) gmail.com
"Setiap perpisahan," demikian teolog Amerika, Tryon Edwards (1809-1894), telah bilang, "merupakan bentuk dari kematian." Lalu ia lanjutkan : "Sebagaimana setiap reuni merupakan bentuk dari sorga."
Tahun 2008, suasana sorga itu menyapa.
Setelah hampir sekitar seperempat abad lebih berpisah, suatu berkah bahwa pertemuan keluarga besar sivitas akademika dari Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (JIP-FSUI), telah terjadi. Termasuk dihadiri oleh tiga rekan kuliah kita sesama Angkatan 1980 : Hartadi Wibowo, Rizal Saiful-haq dan Gustina Sofia.
Kini di tahun 2010, kita pantas bersyukur karena Hartadi Wibowo telah berbaik hati membuka-buka album fotonya. Kemudian rela membagikannya, me-reuni-kannya kepada kita semua lewat akun Facebooknya. Silakan simak foto dan cerita yang membahagiakan, juga mengharukan, di bawah ini. Demikian juga simaki pelbagai komentar yang mengiringinya.
Bakhuri Jamaluddin. Aduh, sedari dulu kalau menyesal itu belakangan ! Kenapa BJ berhalangan hadir kala itu. Keren banget deh, Hartadi (Si Kumis) dan Rizal (Si Jenggot) bisa mengapit Ibu Lily "Katalog" Somadikarta (dosen Katalogisasi, Klasifikasi, dan "Etsitera") Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI 1970-an hingga 2008-an.
Bambang Haryanto. Tks, mengharukan sekali. Usul : harusnya diberi data 5W+1 H (bukan "HW"), sehingga saya bisa ikut merasakan atmosfir dan suasana hati. Apa gadis cantik beryellow jacket itu putrinya Teddy yang juga mahasiswi JIP ? Kalau benar, saya kok ikut merasakan kebahagiaan reuni sebuah keluarga dengan penuh kesan. Tell me more, Teddy dan juga Rizal. Bukan hanya tentang (nyontek BJ) kumis atau pun jenggot yang menawan dari Anda berdua !
Hartadi Wibowo. Ya, itulah moment terakhir dng almh ibu kita Lily Somadikarta, di bulan Februari 2008 pd waktu acara Reuni Akbar JIP FSUI. Angkt 80 yang datang hanya saya dan bang RSH yang kini menjabat sbg Ketua JIP UIN Jakarta. Yang ber-yellow jacket ada...lah Tyaz, anak saya yang mengikuti jejak bapaknya belajar DDC dng segala facet-facetnya. Saya sempat bercanda dng bu Kalangie dan almh bu Soma, bahwa seharusnya anak saya memanggil "eyang dosen" kepada beliau.
Bu Kalangie juga berkomentar, "Teddy, anak you pintar lho, nilainya bagus-bagus. Saya jawab, " iya bu, nggak spt bapaknya ya,". Maklum, bapaknya dulu tidak ngejar nilai, tapi hanya ngejar lulus. Ketika bu Soma meninggal, saya tdk bisa datang melayad. Namun kenangan ttg almarhumah tdk akan hilang. Saat itu saya hanya bisa mendoakan dan berucap "Selamat jalan eyang dosen".
Sri Rumiati Atmakusumah. Iya, aku menyesal sekali gak bisa datang waktu itu, saya mesti keluar kota rasanya deh... Gak ada lagi deh kesempatan bertemu dan berfoto sama Ibu "Katalog" Somadikarta yang begitu mengesankan ...
Zul Herman. Yah sebagian besar kita tidak sempat hadir pada saat itu. Cuma Teddy dan Pak Rizal saja yang beruntung sempat datang dan mengabadikan momen penting itu.
Subagyo Ramelan. Mungkin karena aku sdh tidak berkecimpung di bidang perpustakaan/perbukuan, aku ketinggalan informasi tentang reuni ini. Yaaah, nanti kalo ada kesempatan lagi...
Hartadi Wibowo. Mbah Yo, sayapun sdh sejak th 1997 tidak lagi ngurusi perpustakaan. Namun rasa kangen ketemu teman-teman seperjuangan dan para kesepuhan (dosen), maka langkah kakipun sampai ke Depok.
Mudah-mudahan nanti kalau ada acara reuni lagi kita bisa kumpul. Mungkin tidak ada jeleknya kalau kita berpikir "siapa tahu ini kesempatan terakhir kita bertemu sahabat lama". Apalagi skrang kita sdh "dipertemukan" di dunia maya, akan lebih mempermudah komunikasi.
Selamat beraktifitas. Wassalam,
Kini sebagian dari dosen-dosen kita itu, juga beberapa teman kuliah, telah melakukan reuni agung dan abadi dengan Sang Pencipta. Seperti Teddy bilang, dan kita semua mengamininya, bahwa : ""Selamat jalan eyang dosen."
Wonogiri, 29/10/2010
P.S. : Saya tunggu cerita dan juga kiriman foto-foto berikutnya dari teman-teman sesama Angkatan 1980. Cerita apa saja yang menarik untuk dibagikan, untuk berbagi kegembiraan, kebahagiaan, dan nilai-nilai kehidupan.
Rabu, 27 Oktober 2010
mBah Maridjan, Pustakawan 2.0. dan Pesta Yogya
Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Kaliurang.
Adakah sesuatu kenangan Anda pernah tertambat di sana ?
Kalau Tonny Bennet pernah terkenal dengan lagu indah, "I left my heart in San Francisco," mungkin hari-hari mendatang pencipta lagu kita harus menelorkan lagu untuk mengenang mBah Maridjan yang berdomisili di Kaliurang itu pula.
Sosok juru kunci Gunung Merapi, yang kemudian semakin terkenal sebagai bintang iklan minuman suplemen, telah ditemukan meninggal dunia sebagai salah satu di antara puluhan korban amukan gunung karismatis yang secara spiritual telah ia "jaga" selama ini.
Sugeng tindak, selamat jalan, mBah Maridjan.
Kalau orang Jawa punya semboyan sakral "sedumuk bathuk, senyari bumi ," cerminan tekad kukuh untuk mempertahankan tanah miliknya sampai titik darah penghabisan, yang konon membuat ide transmigrasi sulit disosialisasikan untuk penduduk etnis Jawa, mBah Maridjan mungkin menjadi ikon ideal untuk keyakinan itu.
Beliau meninggal dunia, di rumahnya. Dalam posisi bersujud. Posisi pasrah, merendahkan diri, ke hadapan Yang Maha Kuasa. Orang besar telah memilih cara kematian yang juga besar, yang mungkin baru dalam jangka waktu yang lama betapa momen heroik, tetapi juga sekaligus tragis itu, akan bisa kita lupakan.
Presentasi wong cilik. Sebagai penulis surat pembaca, saya pernah menulis tentang dirinya. Judulnya, "mBah Maridjan" yang dimuat di harian Suara Merdeka (Sabtu, 27 Oktober 2007). Isinya :
Seorang mantan gubernur yang pagi-pagi sudah kluruk, berkokok, ingin maju sebagai calon Presiden di Pilpres 2009, telah mengunjungi mBah Maridjan. Bagi saya ini seperti sebuah déjà vu, pemutaran kembali adegan yang mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh pemerintahan Orde Baru.
Mereka-mereka ini paling lihai dalam berpropaganda untuk merebut hati rakyat. Antara lain dengan teknik yang disebut sebagai berpura-pura sebagai orang kecil.
Ada cerita tentang mantan menteri penerangan dan ketua partai pro-pemerintah saat itu, ketika melakukan kampanye terselubung di Solo. Ia melakukan aksi atraktif, yaitu menggendong seorang tukang becak Solo. Dengan aksinya itu dirinya membangun citra bahwa dia merakyat dan dirinya merupakan bagian tak terpisahkan dari rakyat kecil.
Menurut Sunu Wasono, Dosen Sastra Indonesia FIB-UI dalam bukunya Sastra Propaganda (2007), lewat aksi itu ingin ia tunjukkan bahwa program partai bersangkutan adalah juga program rakyat kecil. Partai itu kemudian bisa mengaku berasal dari rakyat, untuk rakyat, siap pula berjuang untuk rakyat. Kita semua tahu akhir dari cerita ini semua.
Bercermin dari teknik propaganda di atas, warga Jawa Tengah kini seyogyanya dapat mulai mengasah ketajaman nalarnya bila kelak terpusar dalam atmosfir kampanye pemilihan Gubernur Jawa Tengah yang mulai menghangat. Juga dalam pilpres mendatang. Intinya, Anda jangan sampai terbeli musang dalam karung ketika menetapkan pilihan Anda kelak.
Bambang Haryanto
Wonogiri 57612
mBah Maridjan di media sosial. Sebagai blogger pustakawan, pagi ini (28/10/2010) mengirim SMS untuk Ahmad Subhan di Yogya :
"Ikut berduka atas wafatnya mBah Maridjan yg heroik. Btw, kira2 adakah perpus/situs perpus yg memajang daftar buku, publikasi, foto2 sd kenangan og2 ttg beliau ?" (Kamis, 28/10/2010 : 07.23.18).
Jawaban Subhan : "Smpe hari ini foto beliau, asli maupun modifikasi, sdh trsebar di fb. Kmaren komentar ttg mb marijan ckp panjang di bwh status Gus Muh, bs jd hari ini lbh rame." (Kamis, 28/10/2010 :07.31.27).
Jawaban saya : "Tks Subhan. Power utk menyebarkan sd mmodifikasi info, kini ditangan user. Power itu hrsnya bs diajak msk perpus ut bikin 'pesta' a la marketspace disana:-)" (Kamis, 28/10/2010 : 07.40.48).
Obrolan masih berlanjut. Hanya pindah kapling
di sini. Atau copy/paste di peramban Anda :http://tinyurl.com/2bvmge5
Terima kasih.
Wonogiri, 28 Oktober 2010
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Kaliurang.
Adakah sesuatu kenangan Anda pernah tertambat di sana ?
Kalau Tonny Bennet pernah terkenal dengan lagu indah, "I left my heart in San Francisco," mungkin hari-hari mendatang pencipta lagu kita harus menelorkan lagu untuk mengenang mBah Maridjan yang berdomisili di Kaliurang itu pula.
Sosok juru kunci Gunung Merapi, yang kemudian semakin terkenal sebagai bintang iklan minuman suplemen, telah ditemukan meninggal dunia sebagai salah satu di antara puluhan korban amukan gunung karismatis yang secara spiritual telah ia "jaga" selama ini.
Sugeng tindak, selamat jalan, mBah Maridjan.
Kalau orang Jawa punya semboyan sakral "sedumuk bathuk, senyari bumi ," cerminan tekad kukuh untuk mempertahankan tanah miliknya sampai titik darah penghabisan, yang konon membuat ide transmigrasi sulit disosialisasikan untuk penduduk etnis Jawa, mBah Maridjan mungkin menjadi ikon ideal untuk keyakinan itu.
Beliau meninggal dunia, di rumahnya. Dalam posisi bersujud. Posisi pasrah, merendahkan diri, ke hadapan Yang Maha Kuasa. Orang besar telah memilih cara kematian yang juga besar, yang mungkin baru dalam jangka waktu yang lama betapa momen heroik, tetapi juga sekaligus tragis itu, akan bisa kita lupakan.
Presentasi wong cilik. Sebagai penulis surat pembaca, saya pernah menulis tentang dirinya. Judulnya, "mBah Maridjan" yang dimuat di harian Suara Merdeka (Sabtu, 27 Oktober 2007). Isinya :
Seorang mantan gubernur yang pagi-pagi sudah kluruk, berkokok, ingin maju sebagai calon Presiden di Pilpres 2009, telah mengunjungi mBah Maridjan. Bagi saya ini seperti sebuah déjà vu, pemutaran kembali adegan yang mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh pemerintahan Orde Baru.
Mereka-mereka ini paling lihai dalam berpropaganda untuk merebut hati rakyat. Antara lain dengan teknik yang disebut sebagai berpura-pura sebagai orang kecil.
Ada cerita tentang mantan menteri penerangan dan ketua partai pro-pemerintah saat itu, ketika melakukan kampanye terselubung di Solo. Ia melakukan aksi atraktif, yaitu menggendong seorang tukang becak Solo. Dengan aksinya itu dirinya membangun citra bahwa dia merakyat dan dirinya merupakan bagian tak terpisahkan dari rakyat kecil.
Menurut Sunu Wasono, Dosen Sastra Indonesia FIB-UI dalam bukunya Sastra Propaganda (2007), lewat aksi itu ingin ia tunjukkan bahwa program partai bersangkutan adalah juga program rakyat kecil. Partai itu kemudian bisa mengaku berasal dari rakyat, untuk rakyat, siap pula berjuang untuk rakyat. Kita semua tahu akhir dari cerita ini semua.
Bercermin dari teknik propaganda di atas, warga Jawa Tengah kini seyogyanya dapat mulai mengasah ketajaman nalarnya bila kelak terpusar dalam atmosfir kampanye pemilihan Gubernur Jawa Tengah yang mulai menghangat. Juga dalam pilpres mendatang. Intinya, Anda jangan sampai terbeli musang dalam karung ketika menetapkan pilihan Anda kelak.
Bambang Haryanto
Wonogiri 57612
mBah Maridjan di media sosial. Sebagai blogger pustakawan, pagi ini (28/10/2010) mengirim SMS untuk Ahmad Subhan di Yogya :
"Ikut berduka atas wafatnya mBah Maridjan yg heroik. Btw, kira2 adakah perpus/situs perpus yg memajang daftar buku, publikasi, foto2 sd kenangan og2 ttg beliau ?" (Kamis, 28/10/2010 : 07.23.18).
Jawaban Subhan : "Smpe hari ini foto beliau, asli maupun modifikasi, sdh trsebar di fb. Kmaren komentar ttg mb marijan ckp panjang di bwh status Gus Muh, bs jd hari ini lbh rame." (Kamis, 28/10/2010 :07.31.27).
Jawaban saya : "Tks Subhan. Power utk menyebarkan sd mmodifikasi info, kini ditangan user. Power itu hrsnya bs diajak msk perpus ut bikin 'pesta' a la marketspace disana:-)" (Kamis, 28/10/2010 : 07.40.48).
Obrolan masih berlanjut. Hanya pindah kapling
di sini. Atau copy/paste di peramban Anda :http://tinyurl.com/2bvmge5
Terima kasih.
Wonogiri, 28 Oktober 2010
Label:
ahmad subhan,
bambang haryanto,
erik qualman,
hendro wicaksono,
maridjan,
marketspace,
media sosial,
perpustakaan,
pustakawan,
senayan,
widiaji
Minggu, 24 Oktober 2010
Ajaran Ibu Soma,Gus Doerr dan Katalog Yang Menari
Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Kinokuniya.
Mencari-cari buku di sana saya merasa seperti sedang berlatih karate di dalamnya.
Biang keroknya adalah fasilitas antarmuka dari anjungan elektronik yang disediakan toko buku itu. Dengan alat itu konsumen dibantu untuk menemukan buku-buku yang mereka cari di toko buku bersangkutan.
Layanan serupa bisa kita temui di pelbagai toko buku terkenal di Indonesia, berupa komputer, sementara di Kinokuniya itu wujudnya seperti kios ATM.
Ini bukan toko buku Kinokuniya yang berada di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Ini toko buku jaringan yang sama tetapi luasnya hampir sebesar lapangan sepakbola. Hamparan belukar buku yang menggairahkan itu membuat saya harus mengandalkan anjungan tadi untuk menemukan buku yang saya incar. Buku tentang manajemen ilmu pengetahuan.
Muncul masalah. Keypad-nya kurang begitu ramah. Ketika telunjuk menekan terlalu lemah, huruf tidak muncul. Tetapi ketika tekanan ditingkatkan ekstra, huruf yang muncul menjadi dobel. Saya membayangkan sedang berlatih karate, melakukan exercise guna memperkuat daya tohok jari-jemari saya.
Jadi sungguh perjuangan tersendiri untuk bisa menuliskan lema yang kita cari. Baik nama pengarang, judul atau subjek buku. Sementara pengguna lain dari toko buku megah di bilangan Orchard Road, Singapura itu, sudah pula nampak mengantri.
Buku yang saya cari itu, tidak saya temukan. Saya berandai-andai, alangkah menariknya bila terminal itu bisa agak "bercanda" dengan saya. Misalnya, bila buku itu tidak ada, ia dapat menyarankan saya untuk mengunjungi toko buku terdekat yang masih menyediakannya. Bahkan melalui Internet, sambungan itu bisa bercakupan dunia pula.
Jadi antar toko buku itu data koleksinya tersambung secara elektronik, 24/7. Diperkaya pula sambungannya dengan penerbit buku dan pengarang buku bersangkutan. Bahkan terintegrasi dengan data para pembaca buku tersebut, genap dengan segala komentar yang mereka tuliskan. Mengambil jargon dari ranah ilmu perpustakaan, ijinkanlah saya menyebut gambaran itu sebagai panorama tentang katalog yang menari.
Diagram kambing. Mengilas balik ke tahun 1980, mata kuliah tentang katalog, dengan label katalogisasi dan klasifikasi, bukan mata kuliah yang saya sukai. Pengampunya adalah Ibu Lily K. Somadikarta, yang saat itu adalah juga ketua jurusan Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Beliau telah wafat,Sabtu, 18 April 2009 sekitar pukul 01.00 di RSCM Jakarta Pusat.
Cara mengajar Ibu Soma yang tegas dan direct, membuat kami yang belum mengenal akrab beliau menjadi cepat-cepat ciut nyali. Apalagi ini mata kuliah yang menentukan, apakah di tahun pertama kami langsung drop out atau berlanjut. Kuis atau tes pertama untuk mata kuliah ini saya mendapatkan nilai nyaris mendekati ambang batas kegagalan : 62.
Saat kuis, saya memang tidak menyangka diagram tentang alur proses penyimpanan dan penemuan kembali bahan pustaka itu muncul di kertas ulangan. Rupanya saya telah meremehkan jantung alur kerja perpustakaan ini. Sebab ketika mencatatnya saya telah membingkai diagram tersebut dengan garis kontur berwujud binatang kambing.
Teman sekelas saya, Subagyo Ramelan, tertawa-tawa melihat "diagram kambing" buatan saya itu.Bahkan ia mengomentari, "itu cara mencatat yang jenius." Ia yang kini membuka gerai "Safir Andaru" dan bergerak dalam bisnis batu mulia di Ciledug, Tangerang, ketika menjadi book officer di Asia Foundation pernah membantu saya memperoleh hibah puluhan buku-buku bermutu terbitan manca negara. Terima kasih, Bag.
Saya bayangkan, ke dalam mulut kambing itu masuk satu judul buku. Buku itu dikunyah, untuk diekstraksi. Wujud fisiknya disimpan di rak tertentu. Kalau jumlahnya puluhan atau ratusan, mungkin ingatan kita masih kuat mengingat sampul atau tempatnya untuk bisa ditemukan kembali ketika dibutuhkan. Tetapi ingatan manusia ada batasnya. Bila jumlah buku itu sudah mencapai ribuan, masalah muncul. Menyimpan sih gampang, tetapi saat untuk menemukan kembali, secara cepat dan akurat ?
Solusinya, data buku itu harus dicatat. Secara sistematis. Ada ilmunya. Dalam buku besar, ia dicatat berdasarkan nomor urut, tanggal pembelian/hadiah, dan sumber buku tersebut. Ini untuk administrasi internal. Sedang untuk layanan bagi pemakai perpustakaan, isi buku dianalisis dulu, diklasifikasikan menurut subjek atau perihal, dengan merujuk panduan yang baku, seperti tabel DDC, Dewey Decimal Classification dan sarana bantu lainnya.
Kemudian tergabung di dalamnya pernak-pernik data buku lainnya, yang disajikan secara sistematis dalam bentuk kartu-kartu katalog. Pengunjung dapat mengakses koleksi perpustakaan melalui bantuan katalog tersebut berdasarkan nama abjad pengarang, judul buku, sampai subjek buku.
Tetapi pemahaman publik terhadap katalog sebagai sarana temu kembali bahan pustaka di perpustakaan, bukan hal yang otomatis. Bahkan juga di kalangan intelektual. Di kolom surat pembaca majalah Tempo (16/1/1982), saya pernah mengomentari isi acara "Dunia Pustaka" di TVRI (29/11/1981). Saat itu hadir bintang tamu seperti Harsja W. Bachtiar, Tuti Indra Malaon dan Toeti Adhitama.
Protes saya adalah : mahasiswa dan juga dosen (!) harus dilatih agar mampu memahami fungsi katalog dan mahir memanfaatkannya dalam menemukan informasi yang relevan. Keterampilan serupa sekarang ini yang juga harus dilatih pada mereka, adalah pemanfaatan mesin pencari Google di Internet. Semua orang bisa menggunakan, tetapi tetap ada perbedaan signifikan antara mereka yang tidak terlatih vs mereka yang berpengetahuan tentangnya !
Konsumen adalah matahari. Itulah teori dasar dan praksis pengelolaan bahan pustaka yang jadul, yang saya pelajari di dekade awal 1980-an. Kini katalog-katalog kertas itu semakin banyak digantikan dengan sinyal-sinyal elektronik. Otomasi. Komputerisasi.
Tetapi sebagai seorang renegade, yang terciprat DNA ilmu perpustakaan tetapi tidak pernah bekerja sebagai pustakawan sejak 1985, saya tidak tahu seberapa jauh, juga seberapa sukses otomasi itu telah berjalan di pelbagai perpustakaan dunia dan Indonesia.
Kisah ini akan berlanjut di blog saya yang lainnya. Blog Esai Epistoholica. Antara lain melanjutkan raba-raba saya tentang peranti lunak Senayan Library Automation yang telah memenangkan kategori Open Source System dalam Indonesia ICT Awards 2009 yang baru lalu.
Pengembangnya, Hendro Wicaksono, alumnus JIP-FSUI 1992 (foto : baju kuning). Dalam foto ia bersama Yossy Suparyo dari Combine Resource Institution yang saya potret setelah bisa saling kenal dalam momen tak terduga.Di Jogja National Museum, 23 Juli 2010.
Jangan lupa, simak pula nasehat Gus Doerr dari Lembah Silikon tentang revolusi media sosial yang kini hot terjadi. Juga pengaruhnya terhadap masa depan Anda.
Silakan saja klik di sini atau copy/paste url ini di peramban Anda : http://tinyurl.com/262ztjd.
Terima kasih.
Wonogiri, 24-25 Oktober 2010
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Kinokuniya.
Mencari-cari buku di sana saya merasa seperti sedang berlatih karate di dalamnya.
Biang keroknya adalah fasilitas antarmuka dari anjungan elektronik yang disediakan toko buku itu. Dengan alat itu konsumen dibantu untuk menemukan buku-buku yang mereka cari di toko buku bersangkutan.
Layanan serupa bisa kita temui di pelbagai toko buku terkenal di Indonesia, berupa komputer, sementara di Kinokuniya itu wujudnya seperti kios ATM.
Ini bukan toko buku Kinokuniya yang berada di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Ini toko buku jaringan yang sama tetapi luasnya hampir sebesar lapangan sepakbola. Hamparan belukar buku yang menggairahkan itu membuat saya harus mengandalkan anjungan tadi untuk menemukan buku yang saya incar. Buku tentang manajemen ilmu pengetahuan.
Muncul masalah. Keypad-nya kurang begitu ramah. Ketika telunjuk menekan terlalu lemah, huruf tidak muncul. Tetapi ketika tekanan ditingkatkan ekstra, huruf yang muncul menjadi dobel. Saya membayangkan sedang berlatih karate, melakukan exercise guna memperkuat daya tohok jari-jemari saya.
Jadi sungguh perjuangan tersendiri untuk bisa menuliskan lema yang kita cari. Baik nama pengarang, judul atau subjek buku. Sementara pengguna lain dari toko buku megah di bilangan Orchard Road, Singapura itu, sudah pula nampak mengantri.
Buku yang saya cari itu, tidak saya temukan. Saya berandai-andai, alangkah menariknya bila terminal itu bisa agak "bercanda" dengan saya. Misalnya, bila buku itu tidak ada, ia dapat menyarankan saya untuk mengunjungi toko buku terdekat yang masih menyediakannya. Bahkan melalui Internet, sambungan itu bisa bercakupan dunia pula.
Jadi antar toko buku itu data koleksinya tersambung secara elektronik, 24/7. Diperkaya pula sambungannya dengan penerbit buku dan pengarang buku bersangkutan. Bahkan terintegrasi dengan data para pembaca buku tersebut, genap dengan segala komentar yang mereka tuliskan. Mengambil jargon dari ranah ilmu perpustakaan, ijinkanlah saya menyebut gambaran itu sebagai panorama tentang katalog yang menari.
Diagram kambing. Mengilas balik ke tahun 1980, mata kuliah tentang katalog, dengan label katalogisasi dan klasifikasi, bukan mata kuliah yang saya sukai. Pengampunya adalah Ibu Lily K. Somadikarta, yang saat itu adalah juga ketua jurusan Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Beliau telah wafat,Sabtu, 18 April 2009 sekitar pukul 01.00 di RSCM Jakarta Pusat.
Cara mengajar Ibu Soma yang tegas dan direct, membuat kami yang belum mengenal akrab beliau menjadi cepat-cepat ciut nyali. Apalagi ini mata kuliah yang menentukan, apakah di tahun pertama kami langsung drop out atau berlanjut. Kuis atau tes pertama untuk mata kuliah ini saya mendapatkan nilai nyaris mendekati ambang batas kegagalan : 62.
Saat kuis, saya memang tidak menyangka diagram tentang alur proses penyimpanan dan penemuan kembali bahan pustaka itu muncul di kertas ulangan. Rupanya saya telah meremehkan jantung alur kerja perpustakaan ini. Sebab ketika mencatatnya saya telah membingkai diagram tersebut dengan garis kontur berwujud binatang kambing.
Teman sekelas saya, Subagyo Ramelan, tertawa-tawa melihat "diagram kambing" buatan saya itu.Bahkan ia mengomentari, "itu cara mencatat yang jenius." Ia yang kini membuka gerai "Safir Andaru" dan bergerak dalam bisnis batu mulia di Ciledug, Tangerang, ketika menjadi book officer di Asia Foundation pernah membantu saya memperoleh hibah puluhan buku-buku bermutu terbitan manca negara. Terima kasih, Bag.
Saya bayangkan, ke dalam mulut kambing itu masuk satu judul buku. Buku itu dikunyah, untuk diekstraksi. Wujud fisiknya disimpan di rak tertentu. Kalau jumlahnya puluhan atau ratusan, mungkin ingatan kita masih kuat mengingat sampul atau tempatnya untuk bisa ditemukan kembali ketika dibutuhkan. Tetapi ingatan manusia ada batasnya. Bila jumlah buku itu sudah mencapai ribuan, masalah muncul. Menyimpan sih gampang, tetapi saat untuk menemukan kembali, secara cepat dan akurat ?
Solusinya, data buku itu harus dicatat. Secara sistematis. Ada ilmunya. Dalam buku besar, ia dicatat berdasarkan nomor urut, tanggal pembelian/hadiah, dan sumber buku tersebut. Ini untuk administrasi internal. Sedang untuk layanan bagi pemakai perpustakaan, isi buku dianalisis dulu, diklasifikasikan menurut subjek atau perihal, dengan merujuk panduan yang baku, seperti tabel DDC, Dewey Decimal Classification dan sarana bantu lainnya.
Kemudian tergabung di dalamnya pernak-pernik data buku lainnya, yang disajikan secara sistematis dalam bentuk kartu-kartu katalog. Pengunjung dapat mengakses koleksi perpustakaan melalui bantuan katalog tersebut berdasarkan nama abjad pengarang, judul buku, sampai subjek buku.
Tetapi pemahaman publik terhadap katalog sebagai sarana temu kembali bahan pustaka di perpustakaan, bukan hal yang otomatis. Bahkan juga di kalangan intelektual. Di kolom surat pembaca majalah Tempo (16/1/1982), saya pernah mengomentari isi acara "Dunia Pustaka" di TVRI (29/11/1981). Saat itu hadir bintang tamu seperti Harsja W. Bachtiar, Tuti Indra Malaon dan Toeti Adhitama.
Protes saya adalah : mahasiswa dan juga dosen (!) harus dilatih agar mampu memahami fungsi katalog dan mahir memanfaatkannya dalam menemukan informasi yang relevan. Keterampilan serupa sekarang ini yang juga harus dilatih pada mereka, adalah pemanfaatan mesin pencari Google di Internet. Semua orang bisa menggunakan, tetapi tetap ada perbedaan signifikan antara mereka yang tidak terlatih vs mereka yang berpengetahuan tentangnya !
Konsumen adalah matahari. Itulah teori dasar dan praksis pengelolaan bahan pustaka yang jadul, yang saya pelajari di dekade awal 1980-an. Kini katalog-katalog kertas itu semakin banyak digantikan dengan sinyal-sinyal elektronik. Otomasi. Komputerisasi.
Tetapi sebagai seorang renegade, yang terciprat DNA ilmu perpustakaan tetapi tidak pernah bekerja sebagai pustakawan sejak 1985, saya tidak tahu seberapa jauh, juga seberapa sukses otomasi itu telah berjalan di pelbagai perpustakaan dunia dan Indonesia.
Kisah ini akan berlanjut di blog saya yang lainnya. Blog Esai Epistoholica. Antara lain melanjutkan raba-raba saya tentang peranti lunak Senayan Library Automation yang telah memenangkan kategori Open Source System dalam Indonesia ICT Awards 2009 yang baru lalu.
Pengembangnya, Hendro Wicaksono, alumnus JIP-FSUI 1992 (foto : baju kuning). Dalam foto ia bersama Yossy Suparyo dari Combine Resource Institution yang saya potret setelah bisa saling kenal dalam momen tak terduga.Di Jogja National Museum, 23 Juli 2010.
Jangan lupa, simak pula nasehat Gus Doerr dari Lembah Silikon tentang revolusi media sosial yang kini hot terjadi. Juga pengaruhnya terhadap masa depan Anda.
Silakan saja klik di sini atau copy/paste url ini di peramban Anda : http://tinyurl.com/262ztjd.
Terima kasih.
Wonogiri, 24-25 Oktober 2010
Kamis, 21 Oktober 2010
Dosen JIP Gadungan Beraksi di UNDIP Semarang
Oleh : Bambang Haryanto
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Robert T. Kiyosaki sudah berpesan wanti-wanti.
Kalau Anda ingin mempelajari sesuatu, fahamilah dulu istilah-istilahnya.
Sayang, nasehat itu baru saya baca tahun 2001.
Tentu saja dari buku serialnya Rich Dad, Poor Dad yang terkenal itu.
Hemat saya, seharusnya nasehat tersebut sudah saya fahami di tahun 1980, saat memasuki tahun pertama berkuliah di Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (JIP-FSUI). Tanpa bekal acuan itu, jelas membuat tahun awal perkuliahan menjadi perjalanan mendaki yang terasa lebih berat.
Karena memahami istilah-istilah baru itu bukan pula hal mudah. Belum lagi dihantui konsekuensi yang ada : bila nilai-nilai Anda jeblok di tahun pertama, maka pintu drop-out terbuka dan menganga untuk Anda.
Istilah menunjukkan profesi.
Bahasa rahasia.
Juga simbol otoritas.
Saya ingat kata-kata linguis Deborah Tannen dalam bukunya You Just Don't Understand: Men and Women in Conversation (1990). Buku ini saya pinjam dari perpustakaan American Cultural Center, di Wisma Metropolitan 2, Jakarta. Kepala perpustakaannya juga dosen saya untuk mata kuliah Pengolahan Data, Ibu Siti Aisjah Anwar (Ies Prayogo).
Tannen mengatakan bahwa pola komunikasi (utamanya) kaum pria itu cerminan perebutan posisi atas dan menghindari posisi bawah dengan lawan bicara. Maka menurutnya, pemakaian istilah-istilah khusus itu merupakan senjata untuk memperoleh kemenangan dalam kompetisi bersangkutan. Kalau mitra bicara Anda tiba-tiba mengeluarkan istilah yang tidak Anda mengerti, maka dia akan merasa menang, dan Anda di matanya berada pada posisi fihak yang kalah.
Tetapi kemaruk istilah, juga tidak produktif. Itu tanda kesombongan semu yang membendung komunikasi. Dalam ranah komunikasi bisnis, bila penyampaian pesan Anda semata berorientasi kepada diri Anda sendiri dan menegasikan kepentingan konsumen, ibaratnya Anda sedang melakukan bunuh diri.
Hal itu pernah terjadi.
Di restoran masakan Cina, "Yunyam" di Semarang.
Tetapi pelaku aksi "bunuh diri" tersebut bukan sang pemilik restoran. Juga bukan tukang masaknya, misalnya dengan membuat bocor tabung gas elpji. Atau berenang dalam wajan. Pelaku "bunuh diri" itu diri saya. Pasalnya, pencantuman nama-nama asing yang serba Mandarin dalam daftar menunya telah mendorong saya melakukan aksi fatal ketika memesan makanan.
Restoran Semarang. Saya bersama mas supir dari Undip sedang bersiap menyantap makanan yang dipilih berdasar intuisi, puitis atau tidaknya nama masakan bersangkutan. Perkara cocok atau tidak dengan lidah asal tidak beracun, semuanya beres adanya.Nampak di latar depan kanan, Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak.
"Kamu pesan masakan apa, mBang ?" demikian tanya mBak Ining. Saya hanya bisa meringis. Angkat bahu. Di meja lain Ibu Lily K. Somadikarta, Ibu Rusina Syahrial Pamoentjak dan Ibu Soenarti Soebadio nampak berdiskusi secara fasih dalam memilih dari daftar menu. mBak Ining yang berbaik hati lalu mengunjungi meja saya. Mungkin saat itu saya nampak kebingungan di matanya.
Saat itu saya, di meja terpisah, hanya ditemani sopir dari Undip. Mas sopir itu, sebelumnya, ketika saya tanya mau pesan masakan apa, ia menyatakan makmum dengan pilihan saya. Undip ikut UI sajalah. Maka saya segera pede memilih masakan Cina berdasarkan kaidah-kaidah "aliran Rawamangun," kaidah-kaidah sastra. Memilih yang judulnya terdengar eksotis dan puitis.
Tetapi kepada mBak Ining itu saya katakan sejujurnya : "Trial and error, mBak."
Trio dosen saya 1980.Dari kiri : Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak, Ibu Soenarti Soebadio dan Ibu Lily K. Somadikarta. Ketiganya saya potret bulan Oktober 1982, menjelang peringatan 30 Tahun Pendidikan Perpustakaan Indonesia di mana foto-foto para pengajar sejak tahun 1950-an dipamerkan.
Flashback : 1984. Kejadian di atas berlangsung hari Senin, 26 Maret 1984, malam. Paginya, sekitar jam 05.00, kami berlima tiba di hotel, Jl. Pemuda 23, Semarang. Empat pengajar JIP-FSUI dan saya yang masih berstatus mahasiswa dengan skripsi tak selesai-selesai, didaulat menjadi nara sumber dalam Lokakarya "Pengintegrasian Program Pengembangan Perpustakaan Dengan Program Pendidikan Universitas" di Perpustakaan Pusat Universitas Diponegoro, 27-28 Maret 1984.
Berangkat naik kereta api, Minggu sore, 25 Maret 1984, dari Stasiun Senen. Di perjalanan saya ditraktir mBak Ining, nasi rames (Rp. 950,00) dan minuman soda gembira (Rp.800,00). Sempat menghabiskan bab pertama buku Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Juga melalui headphone mendengarkan lagunya duo America : "I Need You" dan juga "A Horse With No Name." Harusnya lagu dari Paul, Peter & Mary , "Five Hundred Miles" :
If you miss the train I'm on
You'll know that I'm gone
You can hear the whistle blow
A hundred miles.
"Ini sejarah," tulis saya di buku harian. Antara lain, seperti saya laporkan di majalah KJIP, karena "kami berlima segera menjadi anak buah Prabu Menakjinggo. Hotel yang kami tempati bernama Blambangan." Saya menempati kamar nomor 24. Terdapat 3 tiga tempat tidur.
Acara pertama : menulis surat untuk Bakhuri Jamaluddin. Saya lupa menulis untuk Hartadi Wibowo, teman mengobrol hari-hari sebelum berangkat ke Semarang. Kemudian tidur-tidur ayam sampai jam 08.30.
Untuk sarapan, saya diberi minuman jus dan roti oleh Ibu Soenarti. Lumayan. Terima kasih, Ibu. Lalu keluar hotel, mencari kantor pos, untuk memposkan surat ke priyayi berambut rapi asal Suruh Salatiga, yang pustakawan perpustakaan Akademi Gizi, Hang Jebat, Kebayoran Baru.
Balik dari kantorpos, kembali menulis surat. Untuk Cut Fachmaida Amien. Mahasiswi ASMI Banda Aceh. Juga Niken Chandrawati, putri Jl. Bangka yang mahasiswi ASMI, Pulomas. Siangnya, mengunjungi Perpustakaan UNDIP. Disambut Pak Gunardo dan juga Ibu Kadarsih. Makan siang di "Nglaras Roso," dan dari Ibu Soma yang asli (?) Semarang saya dapat info : "tahun 1965 restoran ini masih berdinding bambu, dan 15 tahun kemudian bergedung megah."
Saat di hotel sempat ada tamu. Ibu Soma mengenalkan tamunya, Bapak Koeshartono. Kakak beliau (info dari mBak Lini Ashdown, putri Ibu Soma,24/1/2012,almarhum Bapak Koeshartono ternyata adalah adik dari Ibu Soma). Setelah istirahat, sorenya mengunjungi Gedung Batu. Ini monumen peringatan datangnya pasukan Laksamana Cheng Ho dari China. Dilanjutkan naik ke Gombel, menikmati panorama lautan lampu kota Semarang yang dilihat menakjubkan dari atas. "San Francisco," komentar Ibu Soma. Perjalanan malam itu dipungkasi di rumah makan "Yunyam" tadi.
Sungguh kebetulan, di meja lain nampak sosok yang familier bagi saya. Pematung dan seniman serba bisa Hajar "Totok" Satoto dari Solo. Dirinya yang pernah ikut melawat ke Perancis bersama penari Sardono W. Kusumo ditemani kartunis terkenal dari Harian Kompas, GM Sudarta. Juga teman seniman lainnya.
Saya sambangi mereka, lalu mengobrol beberapa saat. Ketika kembali ke meja ibu-ibu dosen, saya katakan bahwa salah satu dari mereka adalah kartunis GM Sudarta. Ibu Soma kemudian menimpali, "istri GM Sudarta itu juga pustakawan."
Voila !
Jualan manfaat otak kanan. Ibarat seorang salesman, saya sedang beraksi menjual gaya hidup pentingnya eksploitasi otak kanan bagi kalangan pustakawan perguruan tinggi di Semarang. Tetapi status sebagai "dosen gadungan" membuat saya gugup sendiri,sebagai suatu show boleh dibilang tidak begitu sukses.
Kompas dan Cameron Diaz. Ketika hari loka karya tiba, saya diperkenalkan kepada peserta sebagai "drs" ilmu perpustakaan, yang mengajar di JIP-FSUI. Dosen super gadungan. Posisi "mendua" ini yang kiranya, antara lain, membuat saya gugup. Sehingga presentasi saya pada hari kedua, saya rasa kok kurang begitu sukses.
Padahal ketika di hotel saya sudah di-doping Ibu Soma dengan sebutan "pemuda baru." Tampil beda. Berbaju lengan panjang. Juga mengenakan dasi. Kayak bankir :-). Rada bikin kejutan. Karena selama ini saya suka pakai kaos, bahkan menjadi topik obrolan saat kami makan malam (27/3/1984) di Restoran Oen yang legendaris.
Ibu Soma merujuk kepada putranya Dedi Achdiat Somadikarta (meninggal dunia 18 Januari 1985) yang pernah mengajari angkatan saya introduksi pengolahan data memakai komputer Commodore atau Atari, yang juga suka berkaos sehari-harinya. Di restoran itu, kalau mengenang, saya harus malu besar. Karena saya benar-benar over acting, laku lajak, karena minum-minum bir di tengah ibu-ibu dosen saya.
Dasi yang saya kenakan ternyata tak mampu menyelamatkan kondisi presentasi saya, yang pengin cerita banyak itu. Bertele-tele. Dari Marshall McLuhan, Daniel Bell sampai Alvin Toffler. Kurang humor, juga miskin dramatika. Saya tahu kekurangan besar itu ketika mendengarkannya kembali dari rekaman kaset yang ada.
Syukurlah di akhir presentasi, yang antara lain saya bercerita tentang pentingnya visual literacy selain information literacy dan media literacy, saya disalami Prof. Slamet Rahardjo yang budayawan itu. Beliau rupanya terkesan dengan dongengan mengenai split brain theory yang dikembangkan Roger Wolcott Sperry (1913-1994) sehingga dirinya memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran 1981.
Merujuk teori itu dan pengalaman empiris, kalangan pustakawan nampak lebih banyak menggunakan otak kiri, dengan ciri keteraturan, logis, eksak, linier, stabilitas dan "di dalam kotak." Sementara kreativitas, fuzzy, berfikir lateral dan aksi mengguncang-guncang perahu yang menjadi ranah dominan otak kanan nampaknya banyak terabaikan.
Seorang peserta yang mengaku dosen FISIP Undip menyambangi, ia berminat memfotokopi transparansi saya. Lalu ada pula dosen Fakultas Kedokteran Undip bilang hal tak terduga. Katanya, "saya pernah kuliah audio-visual di Illinois, tetapi presentasi Anda tadi ck.ck.ck.." Terima kasih. Sebagai nara sumber itu saya memperoleh honor Rp.40.000,00.
Sayang, saat break saya tak sempat mengobrol dengan mbak Ir. Dewi E. Ramali, peserta dari Universitas Soegiyopranoto (kalau tak salah). Umpama artis Hollywood, kilau dirinya saat itu bisa disejajarkan dengan Cameron Diaz saat ini.
Berita tentang loka karya itu kemudian muncul di harian Kompas 30 Maret 1984. Sebagian besar merujuk kepada isi makalahnya Ibu Soenarti Soebadio dan mBak Siti Sumarningsih, yang menyoroti belum maksimalnya layanan referensi di perpustakaan.
Akibatnya, perpustakaan ibarat hutan gelap yang tidak mampu dijelajahi harta karunnya oleh para penggunanya. Saya ikut kecipratan rasa bangga atas publikasi yang menarik ini.
Pulang kampung nih. Rabu malam, 28 Maret 1984, rombongan akan kembali ke Jakarta. Saya mohon diri kepada Ibu Soma, minta ijin akan pulang kampung dulu ke Wonogiri. Pelbagai perangkat keras yang saya bawa, saya minta tolong kepada Pak Gunardo untuk mengirimkannya kemudian ke Rawamangun.
Sampai di rumah Wonogiri jam 21.45. Lalu mendengarkan kembali rekaman presentasiku, uh, sampai jam 2 dini hari. Esoknya (29/3/1984) pergi ke Toko Baru, membeli tiga potong kain lurik, memenuhi pesanan mBak Ining. Saya pilihkan salah satunya yang ada benang emasnya.
Ketika kembali ke Jakarta, ternyata pilihan ini rada bermasalah. mBak Ining rada protes karena adanya unsur glitter dari lurik itu, yang berkesan genit, yang mungkin kurang sreg dengan kepribadian beliau yang selalu rendah hati itu.
Comedy of Error. Terakhir kali, kalau tak salah, saya ketemu mBak Ining tahun 1997. Di Perpustakaan American Cultural Center. Di tempat yang sama, saya juga pernah ketemu rekan seangkatan saya, Sri Mulungsih Gedong Roekmi. Tentu saja ketemu Ibu Ies Prayogo, kepala perpustakaannya, yang kadang bertanya : "Kapan menikah ?"
Melalui Google, baru-baru saja ini, ketika saya mencari gambar atau foto dengan memasukkan kata kunci "lily k. somadikarta," yang muncul antara lain malah fotonya mBak Ining bersama para mahasiswanya (klik di sini). Tidak banyak perubahan dari beliau. Bahkan nampak lebih putih.
Entah karena kini ruang kerjanya terus ber-AC atau sisa hawa dingin dari kampus Universitas Wales yang berdiri tahun 1872 di Aberystwyth, Wales, masih belum luntur pada dirinya. Masih banyak cerita tentang mBak Ining dan dosen-dosen lainnya di album kenangan saya.
Terakhir : kembali ke Robert T. Kiyosaki lagi. Walau ia punya pesan wanti-wanti agar kita mempelajari dulu istilah-istilah sebelum memahami sesuatu disiplin ilmu, ternyata saya tidak melakukan hal penting tersebut ketika langsung berada di meja makan restoran "Yunyam" Semarang saat itu.
Sehingga ketika beranjak keluar dari restoran, mBak Ining kok ya masih sempat bertanya kepada saya : "Gimana mBang, trial and error-nya ?" Wah, saya hanya bisa menjawab pendek :
"Error,mBak."
Itu kejadian 26 tahun lampau.
Kini saya berandai-andai : apabila saya ditanya mengapa sejak selesai belajar tahun 1985 tetapi kemudian saya tidak dekat-dekat amat dengan dunia ilmu perpustakaan, apakah saya harus menjawab bahwa pilihan hidup saya itu merupakan hal yang "error" pula ?
Wonogiri, 21 Oktober 2010
Email : jip80fsui (at) gmail.com
Robert T. Kiyosaki sudah berpesan wanti-wanti.
Kalau Anda ingin mempelajari sesuatu, fahamilah dulu istilah-istilahnya.
Sayang, nasehat itu baru saya baca tahun 2001.
Tentu saja dari buku serialnya Rich Dad, Poor Dad yang terkenal itu.
Hemat saya, seharusnya nasehat tersebut sudah saya fahami di tahun 1980, saat memasuki tahun pertama berkuliah di Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (JIP-FSUI). Tanpa bekal acuan itu, jelas membuat tahun awal perkuliahan menjadi perjalanan mendaki yang terasa lebih berat.
Karena memahami istilah-istilah baru itu bukan pula hal mudah. Belum lagi dihantui konsekuensi yang ada : bila nilai-nilai Anda jeblok di tahun pertama, maka pintu drop-out terbuka dan menganga untuk Anda.
Istilah menunjukkan profesi.
Bahasa rahasia.
Juga simbol otoritas.
Saya ingat kata-kata linguis Deborah Tannen dalam bukunya You Just Don't Understand: Men and Women in Conversation (1990). Buku ini saya pinjam dari perpustakaan American Cultural Center, di Wisma Metropolitan 2, Jakarta. Kepala perpustakaannya juga dosen saya untuk mata kuliah Pengolahan Data, Ibu Siti Aisjah Anwar (Ies Prayogo).
Tannen mengatakan bahwa pola komunikasi (utamanya) kaum pria itu cerminan perebutan posisi atas dan menghindari posisi bawah dengan lawan bicara. Maka menurutnya, pemakaian istilah-istilah khusus itu merupakan senjata untuk memperoleh kemenangan dalam kompetisi bersangkutan. Kalau mitra bicara Anda tiba-tiba mengeluarkan istilah yang tidak Anda mengerti, maka dia akan merasa menang, dan Anda di matanya berada pada posisi fihak yang kalah.
Tetapi kemaruk istilah, juga tidak produktif. Itu tanda kesombongan semu yang membendung komunikasi. Dalam ranah komunikasi bisnis, bila penyampaian pesan Anda semata berorientasi kepada diri Anda sendiri dan menegasikan kepentingan konsumen, ibaratnya Anda sedang melakukan bunuh diri.
Hal itu pernah terjadi.
Di restoran masakan Cina, "Yunyam" di Semarang.
Tetapi pelaku aksi "bunuh diri" tersebut bukan sang pemilik restoran. Juga bukan tukang masaknya, misalnya dengan membuat bocor tabung gas elpji. Atau berenang dalam wajan. Pelaku "bunuh diri" itu diri saya. Pasalnya, pencantuman nama-nama asing yang serba Mandarin dalam daftar menunya telah mendorong saya melakukan aksi fatal ketika memesan makanan.
Restoran Semarang. Saya bersama mas supir dari Undip sedang bersiap menyantap makanan yang dipilih berdasar intuisi, puitis atau tidaknya nama masakan bersangkutan. Perkara cocok atau tidak dengan lidah asal tidak beracun, semuanya beres adanya.Nampak di latar depan kanan, Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak.
"Kamu pesan masakan apa, mBang ?" demikian tanya mBak Ining. Saya hanya bisa meringis. Angkat bahu. Di meja lain Ibu Lily K. Somadikarta, Ibu Rusina Syahrial Pamoentjak dan Ibu Soenarti Soebadio nampak berdiskusi secara fasih dalam memilih dari daftar menu. mBak Ining yang berbaik hati lalu mengunjungi meja saya. Mungkin saat itu saya nampak kebingungan di matanya.
Saat itu saya, di meja terpisah, hanya ditemani sopir dari Undip. Mas sopir itu, sebelumnya, ketika saya tanya mau pesan masakan apa, ia menyatakan makmum dengan pilihan saya. Undip ikut UI sajalah. Maka saya segera pede memilih masakan Cina berdasarkan kaidah-kaidah "aliran Rawamangun," kaidah-kaidah sastra. Memilih yang judulnya terdengar eksotis dan puitis.
Tetapi kepada mBak Ining itu saya katakan sejujurnya : "Trial and error, mBak."
Trio dosen saya 1980.Dari kiri : Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak, Ibu Soenarti Soebadio dan Ibu Lily K. Somadikarta. Ketiganya saya potret bulan Oktober 1982, menjelang peringatan 30 Tahun Pendidikan Perpustakaan Indonesia di mana foto-foto para pengajar sejak tahun 1950-an dipamerkan.
Flashback : 1984. Kejadian di atas berlangsung hari Senin, 26 Maret 1984, malam. Paginya, sekitar jam 05.00, kami berlima tiba di hotel, Jl. Pemuda 23, Semarang. Empat pengajar JIP-FSUI dan saya yang masih berstatus mahasiswa dengan skripsi tak selesai-selesai, didaulat menjadi nara sumber dalam Lokakarya "Pengintegrasian Program Pengembangan Perpustakaan Dengan Program Pendidikan Universitas" di Perpustakaan Pusat Universitas Diponegoro, 27-28 Maret 1984.
Berangkat naik kereta api, Minggu sore, 25 Maret 1984, dari Stasiun Senen. Di perjalanan saya ditraktir mBak Ining, nasi rames (Rp. 950,00) dan minuman soda gembira (Rp.800,00). Sempat menghabiskan bab pertama buku Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Juga melalui headphone mendengarkan lagunya duo America : "I Need You" dan juga "A Horse With No Name." Harusnya lagu dari Paul, Peter & Mary , "Five Hundred Miles" :
If you miss the train I'm on
You'll know that I'm gone
You can hear the whistle blow
A hundred miles.
"Ini sejarah," tulis saya di buku harian. Antara lain, seperti saya laporkan di majalah KJIP, karena "kami berlima segera menjadi anak buah Prabu Menakjinggo. Hotel yang kami tempati bernama Blambangan." Saya menempati kamar nomor 24. Terdapat 3 tiga tempat tidur.
Acara pertama : menulis surat untuk Bakhuri Jamaluddin. Saya lupa menulis untuk Hartadi Wibowo, teman mengobrol hari-hari sebelum berangkat ke Semarang. Kemudian tidur-tidur ayam sampai jam 08.30.
Untuk sarapan, saya diberi minuman jus dan roti oleh Ibu Soenarti. Lumayan. Terima kasih, Ibu. Lalu keluar hotel, mencari kantor pos, untuk memposkan surat ke priyayi berambut rapi asal Suruh Salatiga, yang pustakawan perpustakaan Akademi Gizi, Hang Jebat, Kebayoran Baru.
Balik dari kantorpos, kembali menulis surat. Untuk Cut Fachmaida Amien. Mahasiswi ASMI Banda Aceh. Juga Niken Chandrawati, putri Jl. Bangka yang mahasiswi ASMI, Pulomas. Siangnya, mengunjungi Perpustakaan UNDIP. Disambut Pak Gunardo dan juga Ibu Kadarsih. Makan siang di "Nglaras Roso," dan dari Ibu Soma yang asli (?) Semarang saya dapat info : "tahun 1965 restoran ini masih berdinding bambu, dan 15 tahun kemudian bergedung megah."
Saat di hotel sempat ada tamu. Ibu Soma mengenalkan tamunya, Bapak Koeshartono. Kakak beliau (info dari mBak Lini Ashdown, putri Ibu Soma,24/1/2012,almarhum Bapak Koeshartono ternyata adalah adik dari Ibu Soma). Setelah istirahat, sorenya mengunjungi Gedung Batu. Ini monumen peringatan datangnya pasukan Laksamana Cheng Ho dari China. Dilanjutkan naik ke Gombel, menikmati panorama lautan lampu kota Semarang yang dilihat menakjubkan dari atas. "San Francisco," komentar Ibu Soma. Perjalanan malam itu dipungkasi di rumah makan "Yunyam" tadi.
Sungguh kebetulan, di meja lain nampak sosok yang familier bagi saya. Pematung dan seniman serba bisa Hajar "Totok" Satoto dari Solo. Dirinya yang pernah ikut melawat ke Perancis bersama penari Sardono W. Kusumo ditemani kartunis terkenal dari Harian Kompas, GM Sudarta. Juga teman seniman lainnya.
Saya sambangi mereka, lalu mengobrol beberapa saat. Ketika kembali ke meja ibu-ibu dosen, saya katakan bahwa salah satu dari mereka adalah kartunis GM Sudarta. Ibu Soma kemudian menimpali, "istri GM Sudarta itu juga pustakawan."
Voila !
Jualan manfaat otak kanan. Ibarat seorang salesman, saya sedang beraksi menjual gaya hidup pentingnya eksploitasi otak kanan bagi kalangan pustakawan perguruan tinggi di Semarang. Tetapi status sebagai "dosen gadungan" membuat saya gugup sendiri,sebagai suatu show boleh dibilang tidak begitu sukses.
Kompas dan Cameron Diaz. Ketika hari loka karya tiba, saya diperkenalkan kepada peserta sebagai "drs" ilmu perpustakaan, yang mengajar di JIP-FSUI. Dosen super gadungan. Posisi "mendua" ini yang kiranya, antara lain, membuat saya gugup. Sehingga presentasi saya pada hari kedua, saya rasa kok kurang begitu sukses.
Padahal ketika di hotel saya sudah di-doping Ibu Soma dengan sebutan "pemuda baru." Tampil beda. Berbaju lengan panjang. Juga mengenakan dasi. Kayak bankir :-). Rada bikin kejutan. Karena selama ini saya suka pakai kaos, bahkan menjadi topik obrolan saat kami makan malam (27/3/1984) di Restoran Oen yang legendaris.
Ibu Soma merujuk kepada putranya Dedi Achdiat Somadikarta (meninggal dunia 18 Januari 1985) yang pernah mengajari angkatan saya introduksi pengolahan data memakai komputer Commodore atau Atari, yang juga suka berkaos sehari-harinya. Di restoran itu, kalau mengenang, saya harus malu besar. Karena saya benar-benar over acting, laku lajak, karena minum-minum bir di tengah ibu-ibu dosen saya.
Dasi yang saya kenakan ternyata tak mampu menyelamatkan kondisi presentasi saya, yang pengin cerita banyak itu. Bertele-tele. Dari Marshall McLuhan, Daniel Bell sampai Alvin Toffler. Kurang humor, juga miskin dramatika. Saya tahu kekurangan besar itu ketika mendengarkannya kembali dari rekaman kaset yang ada.
Syukurlah di akhir presentasi, yang antara lain saya bercerita tentang pentingnya visual literacy selain information literacy dan media literacy, saya disalami Prof. Slamet Rahardjo yang budayawan itu. Beliau rupanya terkesan dengan dongengan mengenai split brain theory yang dikembangkan Roger Wolcott Sperry (1913-1994) sehingga dirinya memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran 1981.
Merujuk teori itu dan pengalaman empiris, kalangan pustakawan nampak lebih banyak menggunakan otak kiri, dengan ciri keteraturan, logis, eksak, linier, stabilitas dan "di dalam kotak." Sementara kreativitas, fuzzy, berfikir lateral dan aksi mengguncang-guncang perahu yang menjadi ranah dominan otak kanan nampaknya banyak terabaikan.
Seorang peserta yang mengaku dosen FISIP Undip menyambangi, ia berminat memfotokopi transparansi saya. Lalu ada pula dosen Fakultas Kedokteran Undip bilang hal tak terduga. Katanya, "saya pernah kuliah audio-visual di Illinois, tetapi presentasi Anda tadi ck.ck.ck.." Terima kasih. Sebagai nara sumber itu saya memperoleh honor Rp.40.000,00.
Sayang, saat break saya tak sempat mengobrol dengan mbak Ir. Dewi E. Ramali, peserta dari Universitas Soegiyopranoto (kalau tak salah). Umpama artis Hollywood, kilau dirinya saat itu bisa disejajarkan dengan Cameron Diaz saat ini.
Berita tentang loka karya itu kemudian muncul di harian Kompas 30 Maret 1984. Sebagian besar merujuk kepada isi makalahnya Ibu Soenarti Soebadio dan mBak Siti Sumarningsih, yang menyoroti belum maksimalnya layanan referensi di perpustakaan.
Akibatnya, perpustakaan ibarat hutan gelap yang tidak mampu dijelajahi harta karunnya oleh para penggunanya. Saya ikut kecipratan rasa bangga atas publikasi yang menarik ini.
Pulang kampung nih. Rabu malam, 28 Maret 1984, rombongan akan kembali ke Jakarta. Saya mohon diri kepada Ibu Soma, minta ijin akan pulang kampung dulu ke Wonogiri. Pelbagai perangkat keras yang saya bawa, saya minta tolong kepada Pak Gunardo untuk mengirimkannya kemudian ke Rawamangun.
Sampai di rumah Wonogiri jam 21.45. Lalu mendengarkan kembali rekaman presentasiku, uh, sampai jam 2 dini hari. Esoknya (29/3/1984) pergi ke Toko Baru, membeli tiga potong kain lurik, memenuhi pesanan mBak Ining. Saya pilihkan salah satunya yang ada benang emasnya.
Ketika kembali ke Jakarta, ternyata pilihan ini rada bermasalah. mBak Ining rada protes karena adanya unsur glitter dari lurik itu, yang berkesan genit, yang mungkin kurang sreg dengan kepribadian beliau yang selalu rendah hati itu.
Comedy of Error. Terakhir kali, kalau tak salah, saya ketemu mBak Ining tahun 1997. Di Perpustakaan American Cultural Center. Di tempat yang sama, saya juga pernah ketemu rekan seangkatan saya, Sri Mulungsih Gedong Roekmi. Tentu saja ketemu Ibu Ies Prayogo, kepala perpustakaannya, yang kadang bertanya : "Kapan menikah ?"
Melalui Google, baru-baru saja ini, ketika saya mencari gambar atau foto dengan memasukkan kata kunci "lily k. somadikarta," yang muncul antara lain malah fotonya mBak Ining bersama para mahasiswanya (klik di sini). Tidak banyak perubahan dari beliau. Bahkan nampak lebih putih.
Entah karena kini ruang kerjanya terus ber-AC atau sisa hawa dingin dari kampus Universitas Wales yang berdiri tahun 1872 di Aberystwyth, Wales, masih belum luntur pada dirinya. Masih banyak cerita tentang mBak Ining dan dosen-dosen lainnya di album kenangan saya.
Terakhir : kembali ke Robert T. Kiyosaki lagi. Walau ia punya pesan wanti-wanti agar kita mempelajari dulu istilah-istilah sebelum memahami sesuatu disiplin ilmu, ternyata saya tidak melakukan hal penting tersebut ketika langsung berada di meja makan restoran "Yunyam" Semarang saat itu.
Sehingga ketika beranjak keluar dari restoran, mBak Ining kok ya masih sempat bertanya kepada saya : "Gimana mBang, trial and error-nya ?" Wah, saya hanya bisa menjawab pendek :
"Error,mBak."
Itu kejadian 26 tahun lampau.
Kini saya berandai-andai : apabila saya ditanya mengapa sejak selesai belajar tahun 1985 tetapi kemudian saya tidak dekat-dekat amat dengan dunia ilmu perpustakaan, apakah saya harus menjawab bahwa pilihan hidup saya itu merupakan hal yang "error" pula ?
Wonogiri, 21 Oktober 2010
Label:
28 maret 1984,
bambang haryanto,
dewi e. ramali,
gunardo,
jip-fsui,
lily k. somadikarta,
perpustakaan,
rusina syahrial-pamoentjak,
siti sumarningsih,
soenarti soebadio,
ui,
undip
Langganan:
Postingan (Atom)